IJON ialah pembelian padi dan sebagainya sebelum masak, dan
diambil oleh pembeli sesudah masak. Begitu definisi W.J.S.
Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976) dan juga
dalam bukunya Baoesastra Djawa (1939).
Alasannya cukup jelas. Penjualnya ngebet, lantaran kebutullan
uang sudah sangat mendesak. Dijual dengan harga miring, yang
memberikan keuntungan lumayan kepada pemberi uang, yang
mengijon.
Sistem transaksi tersebut dicaci maki oleh bangsa Indonesia dari
aman ke zaman. Transaksi yang keparat. Lintah darat menyedot
darah petani miskin tanpa belas kasihan. Ia harus enyah dari
bumi Indonesia yang gairah tolong-menolong, bergotong-royong dan
ber-tepa slira. Harus enyah dari masyarakat ndonesia yang
gairah akan keadilan dan kemakmuran yang merata. Dan bukankah
menurut Undang-undang Pokok Agraria tanah mempunyai fungsi
sosial?
Apakah yang kita tahu tentang ijon? Ternyata sedikit sekali.
Begitu keterangall Dr. Ace Partadiredja, yang bersama
seperangkat antrololog muda rnengadakan penelitian tentang
topik yang penting itu. Mengapa sedikit? Kata Dr. Ace: soalnya,
para ekonomi tidak tertarik pada pendekatan antropologi
sebaliknya, para antropolog, setidaknya di Indonesia, belum
tertarik pada penelitian ekonomi.
Persoalannya berpangkal pada kebutuhan kredit. Orang desa
memerlukan uang untuk pelbagai keperluan: pengobatan, upacara
perkawinan, penguburan, makanan selama paceklik, ongkos
pendidikan anak, dan lain-lain. Untuk itu diperlukan uang yang
mudah, murah, cepat dan tepat.
Orang-orang yang kepepct itu jangan dihadapkan pada persyaratan
yang memusingkan mereka tujuh keliling, misalnya pengisian
formulir rangkap sekian, stempel di sini stempel di sana, surat
keterangan dan surat ini itu, dan saksi yang cukup meyakinkan
pihak bank.
Lantaran sudah ngebet, uangnya perlu tersedia pada waktu
diperlukan. Jangan ditunda sampai minggu depan lalu ia mendapat
peringatan pula: "Tukijo, ternyata surat-suratmu belum lengkap
formulir ini masih perlu diisi dan seminggu lagi barangkali
uangnya sudah keluar." Tukijo akan menjadi lemas menghadapi
instruksi dan penundaan seperti itu. Jumlah uangnya juga perlu
sesuai dengan yang diminta. Jangan cuma 80 persen atau 70 persen
dari kebutuhan karena alasan ini itu.
Di kampung prosedurnya sederhana. Tukijo bisa mendapatkannya
dari tetangga, tiga rumah sebelah selatan rumahnya. Kalau perlu
betul, pukul 10 malam bisa didatangi. Tanpa jam buka, tanpa
formulir, tanpa stempel, tanpa saksi. tanpa menghadap sana-sini.
Praktis dan efisien.
Di dalam buku Dr. Ace (editor), Ijon di Jawa Tengah, Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur (1973), disajikan kasus-kasus
ijon di 11 desa. Di samping padi tentunya, pelbagai tanaman dan
buah-buahan yang belum matang diijonkan. Ketela pohon dan tebu
diijonkan di Desa Nglegok, Kabupaten Blitar. Di Desa Pingit,
Kabupaten Temanggung, di samping pohon klengkeng, juga diijonkan
pohon jeruk, langsat dan duku. Di Desa Wonomerto, Kabupaten
Batang, diijonkan pohon petai, di samping pohon jeruk dan pohon
randu.
Kredit tidak cuma diberikan dalam wujud uang tapi mungkin pula
dalam bentuk alat-alat dapur, umpamanya ember atau panci,
alat-alat pertanian atau barang konsumsi, seperti tekstil.
Terdapat variasi yang sangat besar dalam besarnya bunga bulanan,
terendah 8,5 persen dan tertinggi 60 persen sebulan.
Pada tanggal 24 September yang lalu, Undang-undang Pokok Agraria
(UUPA) berusia genap 22 tahun. Isi UUPA teramat penting untuk
dilewatkan begitu saja. oleh siapa saja, karena di sini
diletakkan dasar-dasar pokok daripada hukum agraria yang baru di
negara kita.
Tepatlah kalau pada awal enampuluhan Prof. Gouwgioksiong (dalam
bukunya Tafsirat Undang-undang Pokok Agraria, 1963) menghimbau:
"Isi dari pada UUPA tersebut patut diketahui oleh setiap orang
yang berada di negeri ini. Bukan saja para sarjana hukum, setiap
pelaksanaan hukum, setiap pejabat pemerintahan, bahkan rakyat
jelata dalam kehidupan sehari-hari akan berhadapan dengan
peraturan baru tentang hukum agraria ini."
Apa kata UUPA perihal ijon? Pembaca yang budiman, UUPA dengan
tandas melarang ijon. "Pembayaran oleh siapa pun, termasuk
pemilik dan penggarap, kepada penggarap aiaupun pemilik juga
yang mempunyai unsur-unsur ijon, dilarang." Begitu tercantum
dengan jelas dalam Bab Vl Undang-undang No. 2 Tahun 1960 Tentang
Perjanjian Bagi Hasil.
Kiranya ini salah satu contoh dokumen hukum yang tidak lebih
dari pada dokumen hukum. Ia dianggap sesuatu yang penting dalam
dunia hukum untuk dipelajari, tetapi tidak bisa dilaksanakan.
Anjing menggonggong, "lintah darat" lalu. Walah... walah ...,
malahan anjing pun tidak menggonggong lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini