Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ijon Dan UUPA

Undang-undang pokok agraria dengan tandas melarang ijon. ini merupakan lebih dari sekadar dokumen hukum. ia sangat penting untuk dipelajari, tapi tidak untuk dilaksanakan. ijon tetap merajalela.

9 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IJON ialah pembelian padi dan sebagainya sebelum masak, dan diambil oleh pembeli sesudah masak. Begitu definisi W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976) dan juga dalam bukunya Baoesastra Djawa (1939). Alasannya cukup jelas. Penjualnya ngebet, lantaran kebutullan uang sudah sangat mendesak. Dijual dengan harga miring, yang memberikan keuntungan lumayan kepada pemberi uang, yang mengijon. Sistem transaksi tersebut dicaci maki oleh bangsa Indonesia dari aman ke zaman. Transaksi yang keparat. Lintah darat menyedot darah petani miskin tanpa belas kasihan. Ia harus enyah dari bumi Indonesia yang gairah tolong-menolong, bergotong-royong dan ber-tepa slira. Harus enyah dari masyarakat ndonesia yang gairah akan keadilan dan kemakmuran yang merata. Dan bukankah menurut Undang-undang Pokok Agraria tanah mempunyai fungsi sosial? Apakah yang kita tahu tentang ijon? Ternyata sedikit sekali. Begitu keterangall Dr. Ace Partadiredja, yang bersama seperangkat antrololog muda rnengadakan penelitian tentang topik yang penting itu. Mengapa sedikit? Kata Dr. Ace: soalnya, para ekonomi tidak tertarik pada pendekatan antropologi sebaliknya, para antropolog, setidaknya di Indonesia, belum tertarik pada penelitian ekonomi. Persoalannya berpangkal pada kebutuhan kredit. Orang desa memerlukan uang untuk pelbagai keperluan: pengobatan, upacara perkawinan, penguburan, makanan selama paceklik, ongkos pendidikan anak, dan lain-lain. Untuk itu diperlukan uang yang mudah, murah, cepat dan tepat. Orang-orang yang kepepct itu jangan dihadapkan pada persyaratan yang memusingkan mereka tujuh keliling, misalnya pengisian formulir rangkap sekian, stempel di sini stempel di sana, surat keterangan dan surat ini itu, dan saksi yang cukup meyakinkan pihak bank. Lantaran sudah ngebet, uangnya perlu tersedia pada waktu diperlukan. Jangan ditunda sampai minggu depan lalu ia mendapat peringatan pula: "Tukijo, ternyata surat-suratmu belum lengkap formulir ini masih perlu diisi dan seminggu lagi barangkali uangnya sudah keluar." Tukijo akan menjadi lemas menghadapi instruksi dan penundaan seperti itu. Jumlah uangnya juga perlu sesuai dengan yang diminta. Jangan cuma 80 persen atau 70 persen dari kebutuhan karena alasan ini itu. Di kampung prosedurnya sederhana. Tukijo bisa mendapatkannya dari tetangga, tiga rumah sebelah selatan rumahnya. Kalau perlu betul, pukul 10 malam bisa didatangi. Tanpa jam buka, tanpa formulir, tanpa stempel, tanpa saksi. tanpa menghadap sana-sini. Praktis dan efisien. Di dalam buku Dr. Ace (editor), Ijon di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur (1973), disajikan kasus-kasus ijon di 11 desa. Di samping padi tentunya, pelbagai tanaman dan buah-buahan yang belum matang diijonkan. Ketela pohon dan tebu diijonkan di Desa Nglegok, Kabupaten Blitar. Di Desa Pingit, Kabupaten Temanggung, di samping pohon klengkeng, juga diijonkan pohon jeruk, langsat dan duku. Di Desa Wonomerto, Kabupaten Batang, diijonkan pohon petai, di samping pohon jeruk dan pohon randu. Kredit tidak cuma diberikan dalam wujud uang tapi mungkin pula dalam bentuk alat-alat dapur, umpamanya ember atau panci, alat-alat pertanian atau barang konsumsi, seperti tekstil. Terdapat variasi yang sangat besar dalam besarnya bunga bulanan, terendah 8,5 persen dan tertinggi 60 persen sebulan. Pada tanggal 24 September yang lalu, Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) berusia genap 22 tahun. Isi UUPA teramat penting untuk dilewatkan begitu saja. oleh siapa saja, karena di sini diletakkan dasar-dasar pokok daripada hukum agraria yang baru di negara kita. Tepatlah kalau pada awal enampuluhan Prof. Gouwgioksiong (dalam bukunya Tafsirat Undang-undang Pokok Agraria, 1963) menghimbau: "Isi dari pada UUPA tersebut patut diketahui oleh setiap orang yang berada di negeri ini. Bukan saja para sarjana hukum, setiap pelaksanaan hukum, setiap pejabat pemerintahan, bahkan rakyat jelata dalam kehidupan sehari-hari akan berhadapan dengan peraturan baru tentang hukum agraria ini." Apa kata UUPA perihal ijon? Pembaca yang budiman, UUPA dengan tandas melarang ijon. "Pembayaran oleh siapa pun, termasuk pemilik dan penggarap, kepada penggarap aiaupun pemilik juga yang mempunyai unsur-unsur ijon, dilarang." Begitu tercantum dengan jelas dalam Bab Vl Undang-undang No. 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil. Kiranya ini salah satu contoh dokumen hukum yang tidak lebih dari pada dokumen hukum. Ia dianggap sesuatu yang penting dalam dunia hukum untuk dipelajari, tetapi tidak bisa dilaksanakan. Anjing menggonggong, "lintah darat" lalu. Walah... walah ..., malahan anjing pun tidak menggonggong lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus