Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Maklon hong kong buat bwi

Pengusaha pakaian jadi di BWI diduga melakukan manipulasi. PT Djagarin (yang terbakar) diduga ikut terlibat. (eb)

20 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PABRIK pakaian jadi di BWI (Bonded Warehouse Indonesia) sudah untung kalau tidak muntah darah," kata Abdulalim, ketua umum Pengusaha Industri di BWI. Sejumlah 14 pengusaha pakaian jadi di situ, menurut Abdul Halim yang juga memimpin industri pakaian jadi PT Indo Hinson, hakikatnya "tak lebih dari tukang jahit besar. Tugas mereka ini biasanya hanya mengerjakan jahitan pakaian setengah jadi, yang disain, corak, potongan, dan kualitasnya, berasal dari pemesan -- kebanyakan pengusaha Hong Kong, pemegang kuota pakaian jadi terbesar saat ini. Karena tugasnya hanya merakit, penghasilan pengusaha pakaian jadi itu tentu saja kecil. Mengingat belanja pegawai, rekening listrik, dan telepon cukup besar pula, hasil kecil tadi jadi sering tidak memadai lagi. Di kawasan BWI Tanjung Priok Jakarta itu, karyawan pun setiap hari harus bayar pas pelabuhan jika akan masuk kerja. Rekening listrik dikenakan 25% di atas tarif pabrik biasa. Tarif telepon pun 10% di atas rata-rata harga yang dibayar kebanyakan konsumen. Rekening telepon ini jelas jadi terasa sangat berat mengingat para penjahit itu harus sering melakukan kontaknya dengan pemesannya di luar negeri sono. Sewa gedung BWI (1.000 meter persegi) yang naik dari Rp 2,7 juta jadi Rp 5,7 juta per bulan sejak tahun lalu tak lagi mampu dibayar oleh mereka. "Karena utang pada BWI sudah membengkak, itu sebabnya barangkali sebagian pengusaha kemudian mengambil jalan pintas melakukan bisnis menipulasi," tutur Halim. Manipulasi? Tim khusus dari Direktorat Pemberantasan Penyelundupan Bea Cukai (P2BC) pekan lalu rupanya menaruh curiga pada tujuh industri pakaian jadi di BWI yang dianggap melakukan manipulasi. Pada mulanya tim menemukan ribuan lusin pakaian setengah jadi eks Hong Kong yang di dokumen dinyatakan sebagai tekstil yang dimuat dalam peti kemas. Dan awal bulan ini tim menemukan pula puluhan ribu meter tekstil halus eks impor yang diduga akan dilempar ke pasar. Jika tekstil dan pakaian setengah jadi yang tak bayar bea masuk dan MPO impor itu benar dilego ke pasar lokal, demikian koran Sinar Harapan mengutip sumber Direktorat Jenderal Bea Cukai, negara bakal dirugikan Rp 4 milyar. Pengusahanya sendiri akan memperoleh keuntungan dari tiga jurusan: pertama, tak bayar bea masuk dan MPO impor kedua, bakal dapat fulus dari sertifikat ekspor, dan ketiga bakal mendapat keuntungan dari penjualan tekstil halus yang tak bayar bea masuk tadi. Sudah sejak lama sesungguhnya Departemen Perdagangan yang membawahkan BWI Priok mencium praktek semacam itu. Pada mulanya memang, para pengusaha pakaian jadi di BWI ini diperbolehkan mengimpor pakaian setengah jadi hingga 1979. Dari sini pakaian yang sudah selesai dirakit tadi, kadang malah diimpor dari Hong Kong dalam bentuk jadi, kemudian dibubuhi label "Made in Indonesia" untuk diekspor. Tapi sejak sekitar tiga tahun lalu itulah, di saat Hong Kong, Korea Selatan, dan Taiwan muncul sebagai eksportir pakaian jadi terkemuka, pemerintah baru meminta pengusaha di sini melakukan usaha full manufacturing. Tapi para Importlr dl Eropa Barat, Kanada, dan AS yang sejak 1950-an terbiasa mengimpor pakaian jadi dari Hong Kong agaknya belum percaya Indonesia sudah mampu menghasilkan barang itu. Karena itulah peranan pengusaha Hong Kong atas industri pakalan jadi di BWI sangat besar. "Merekalah yang memberikan maklon (upah menjahit), dan mereka pula yang jual," kata Abdul Halim. "Kalau kami sendiri yang cari bahan, bikin, dan jual, bisa dapat tambahan 6 sampai 7 dollar per lusin." Kata dia, tanpa mau menyebut nama, ada perusahaan pakaian jadi di BWI yang 100% dikendalikan dari luar. Mengingat banyaknya lubang itu, Halim menduga sangat mungkin sejumlah pengusaha pakaian jadi di BWI terlibat manipulasi. Tapi untuk membuktikan terjadinya manipulasi itu, pihak Bea Cukai dikabarkan sulit melakukannya mengingat "BWI tidak terkena peraturan pabean" yang mengharuskan aparat instansi itu aktif meneliti arus keluar-masuk barang. Kendati demikian, sudah setahun lalu Bea Cukai berusaha mengumpulkan data-data "untuk membuktikan adanya manipulasi," kata sebuah sumber kepada TEMPO. Dalam kaitan itu tim P2BC dikabarkan telah menemukan sejumlah bukti-bukti bahwa PT Djagarin terlibat dalam tindak pidana itu. Tapi entah mengapa, sesudah pagi 1 Agustus sejumlah bukti ditemukan di situ, sore harinya pabrik tadi terbakar lumat. Kalau toh benar manipulasi itu terjadi, demikian Imam Soedarwo, direktur pabrik pakaian jadi PT Karwell Indonesia di BWI, tak mungkin dilakukan sendiri. Ini tinggal diselidiki atau tidak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus