PABRIK pakaian jadi di BWI (Bonded Warehouse Indonesia) sudah
untung kalau tidak muntah darah," kata Abdulalim, ketua umum
Pengusaha Industri di BWI. Sejumlah 14 pengusaha pakaian jadi di
situ, menurut Abdul Halim yang juga memimpin industri pakaian
jadi PT Indo Hinson, hakikatnya "tak lebih dari tukang jahit
besar.
Tugas mereka ini biasanya hanya mengerjakan jahitan pakaian
setengah jadi, yang disain, corak, potongan, dan kualitasnya,
berasal dari pemesan -- kebanyakan pengusaha Hong Kong, pemegang
kuota pakaian jadi terbesar saat ini. Karena tugasnya hanya
merakit, penghasilan pengusaha pakaian jadi itu tentu saja
kecil. Mengingat belanja pegawai, rekening listrik, dan telepon
cukup besar pula, hasil kecil tadi jadi sering tidak memadai
lagi.
Di kawasan BWI Tanjung Priok Jakarta itu, karyawan pun setiap
hari harus bayar pas pelabuhan jika akan masuk kerja. Rekening
listrik dikenakan 25% di atas tarif pabrik biasa. Tarif telepon
pun 10% di atas rata-rata harga yang dibayar kebanyakan
konsumen. Rekening telepon ini jelas jadi terasa sangat berat
mengingat para penjahit itu harus sering melakukan kontaknya
dengan pemesannya di luar negeri sono. Sewa gedung BWI (1.000
meter persegi) yang naik dari Rp 2,7 juta jadi Rp 5,7 juta per
bulan sejak tahun lalu tak lagi mampu dibayar oleh mereka.
"Karena utang pada BWI sudah membengkak, itu sebabnya barangkali
sebagian pengusaha kemudian mengambil jalan pintas melakukan
bisnis menipulasi," tutur Halim.
Manipulasi? Tim khusus dari Direktorat Pemberantasan
Penyelundupan Bea Cukai (P2BC) pekan lalu rupanya menaruh curiga
pada tujuh industri pakaian jadi di BWI yang dianggap melakukan
manipulasi. Pada mulanya tim menemukan ribuan lusin pakaian
setengah jadi eks Hong Kong yang di dokumen dinyatakan sebagai
tekstil yang dimuat dalam peti kemas. Dan awal bulan ini tim
menemukan pula puluhan ribu meter tekstil halus eks impor yang
diduga akan dilempar ke pasar.
Jika tekstil dan pakaian setengah jadi yang tak bayar bea masuk
dan MPO impor itu benar dilego ke pasar lokal, demikian koran
Sinar Harapan mengutip sumber Direktorat Jenderal Bea Cukai,
negara bakal dirugikan Rp 4 milyar. Pengusahanya sendiri akan
memperoleh keuntungan dari tiga jurusan: pertama, tak bayar bea
masuk dan MPO impor kedua, bakal dapat fulus dari sertifikat
ekspor, dan ketiga bakal mendapat keuntungan dari penjualan
tekstil halus yang tak bayar bea masuk tadi.
Sudah sejak lama sesungguhnya Departemen Perdagangan yang
membawahkan BWI Priok mencium praktek semacam itu. Pada mulanya
memang, para pengusaha pakaian jadi di BWI ini diperbolehkan
mengimpor pakaian setengah jadi hingga 1979. Dari sini pakaian
yang sudah selesai dirakit tadi, kadang malah diimpor dari Hong
Kong dalam bentuk jadi, kemudian dibubuhi label "Made in
Indonesia" untuk diekspor. Tapi sejak sekitar tiga tahun lalu
itulah, di saat Hong Kong, Korea Selatan, dan Taiwan muncul
sebagai eksportir pakaian jadi terkemuka, pemerintah baru
meminta pengusaha di sini melakukan usaha full manufacturing.
Tapi para Importlr dl Eropa Barat, Kanada, dan AS yang sejak
1950-an terbiasa mengimpor pakaian jadi dari Hong Kong agaknya
belum percaya Indonesia sudah mampu menghasilkan barang itu.
Karena itulah peranan pengusaha Hong Kong atas industri pakalan
jadi di BWI sangat besar. "Merekalah yang memberikan maklon
(upah menjahit), dan mereka pula yang jual," kata Abdul Halim.
"Kalau kami sendiri yang cari bahan, bikin, dan jual, bisa dapat
tambahan 6 sampai 7 dollar per lusin." Kata dia, tanpa mau
menyebut nama, ada perusahaan pakaian jadi di BWI yang 100%
dikendalikan dari luar.
Mengingat banyaknya lubang itu, Halim menduga sangat mungkin
sejumlah pengusaha pakaian jadi di BWI terlibat manipulasi. Tapi
untuk membuktikan terjadinya manipulasi itu, pihak Bea Cukai
dikabarkan sulit melakukannya mengingat "BWI tidak terkena
peraturan pabean" yang mengharuskan aparat instansi itu aktif
meneliti arus keluar-masuk barang. Kendati demikian, sudah
setahun lalu Bea Cukai berusaha mengumpulkan data-data "untuk
membuktikan adanya manipulasi," kata sebuah sumber kepada TEMPO.
Dalam kaitan itu tim P2BC dikabarkan telah menemukan sejumlah
bukti-bukti bahwa PT Djagarin terlibat dalam tindak pidana itu.
Tapi entah mengapa, sesudah pagi 1 Agustus sejumlah bukti
ditemukan di situ, sore harinya pabrik tadi terbakar lumat.
Kalau toh benar manipulasi itu terjadi, demikian Imam Soedarwo,
direktur pabrik pakaian jadi PT Karwell Indonesia di BWI, tak
mungkin dilakukan sendiri.
Ini tinggal diselidiki atau tidak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini