Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Menerima gelar bangsawan abdi dalem yang berdasi

Karena pengabdiannya kepada kraton (yogya), ia mendapat gelar bangsawan dan diangkat menjadi ketua tim hukum keraton yogya. hampir 20 tahun menjadi walikota yogya. (tk)

20 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA lahir di luar tembok keraton. Karena itu tidak berdarah biru. Tapi putra seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta ini hampir 20 tahun menjadi Walikota Yogyakarta. Dan karena pengabdiannya kepada keraton, Soedarisman mendapat gelar K.R.T. (Kanjeng Raden Tumenggung) dengan nama Poerwokoesoemo. Tahun 1978 gelarnya naik menjadi Kanjeng Pangeran Haryo (K.P.H.). Tapi ia pun diangkat menjadi ketua Tim Hukum Keraton Yogyakarta. Salah satu tugasnya adalah menertibkan tanah milik keraton yang luas tapi ruwet itu. Mengurus tanah milik Keraton Yogya memang bukan masalah gampang. Menurut Poerwokoesoemo, 70 tahun, karena masalahnya saling berkait dengan tanah di luar benteng keraton, bahkan meliputi beberapa areal di wilayah hukum Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebelum 1915 para abdi dalem Keraton Yogya mendapat gaji dari hasil sawah dan tanah perkebunan yang dikuasakan keraton kepada mereka. Tapi sesudah tahun itu, para pengabdi itu digaji keraton dengan uang. Tanah-tanah yang dikuasakan kepada mereka tadi, ada yang dijual, dihibahkan, dikuasakan lagi kepada orang lain -- dan kemudian tak sedikit yang terkena Undang-undang Landreform. "Jadi sekarang ini yang bisa dipetik dari tanah keraton hampir tidak ada lagi," ungkap Soedarisman yang sudah beberapa kali tampil di pengadilan untuk membela Keraton Yogya dalam soal-soal tanah. Karena beberapa kasus di pengadilan itulah Sultan Hamengkubuwono IX membentuk tim hukum yang diketuai Soedarisman. Perjalanan Soedarisman Poerwokoesoemo hingga mencapai jenjang cukup tinggi dilingkungan "pemerintahan" Keraton Yogyakarta ditempuh amat panjang. Ayahnya, Hardjokoero, seorang jaksa abdi dalem yang sudah puluhan tahun bertugas. Anak pertama dari istri kelima ini amat dimanjakan ayahnya. Sejak usia 5 tahun, ia dibawa ke keraton dan diperkenalkan dengan lingkungan itu. Bahkan didaftar sebagai abdi dalem -- suatu hal yang tak lazim bagi anak sekecil itu. Hardjokoero yang punya 5 istri itu, rupanya memang menyiapkan Soedarisman sebagai orang yang tahu seluk-beluk keraton dan segala kaitan yang menyangkut sejarah budayanya. Dalam usia 5 tahun itu pula, si bocah sudah dibelikan satu kotak wayang kulit. Setiap malam, si bocah dikeloni dengan tembang yang berisi pelajaran budi pekerti. Petuah dalam tembang itu yang sampai kini dikenangnya antara lain: Ojo gelem dadi bature londho, beno bayarane sithik, dadiyo bature Kanjeng Sinuhun -- jangan mau jadi antek Belanda, walau gaji sedikit jadilah pengabdi keraton. Ketika di MULO pengagum Bung Karno ini mendirikan Mardi Budhi Prajogo, organisasi khusus untuk murid-murid MULO di Yogya. Waktu itu (1930) ia juga aktif di organisasi Indonesia Muda, juga sebagai anggota Jong Java. Soedarisman juga pernah menjadi ketua Sangkara Muda organisasi yang anggotanya putra-putri keturunan Hamengkubuwono I dan abdi dalem. Ia memprakarsai penerbitan majalah Ngayogyakarto, dan menjadi pemimpin redaksi. Ketika majalah ini mengutip salah satu karangan Douwes Dekker, Soedarisman dipanggil ke PID (staf intel polisi Belanda). Ia diperiksa. "Sejak itu nama saya mulai dikenal luas," kenangnya. Ketika lulus AMS (SLTA) ia melanjutkan di Rechs-Hoogescholl, Jakarta. Dalam usia 23 tahun, ia mengantungi gelar sarjana hukum dengan skripsi yang membahas masalah kontrak tanah sejak Hamengkubuwono VII sampai Hamengkubuwono IX. Di zaman pendudukan Jepang, praktis Soedarisman mempertajam kariernya di Jakarta. "Saya berkenalan dengan Bung Hatta tahun 1942," katanya. Dari perkenalannya ini, Soedarisman mendapatkan pekerjaan di Balai Penerangan Gunsei-Kanbu sebagai pegawai tinggi juru penerang. Seangkatan dengan dia adalah Mr. Assaat, Mr. Wilopo, Mr. Datuk Djamin, dan Sulaeman Binol. Tak lama ia bekerja di Jakarta, beberapa bulan sebelum kemerdekaan, Sri Sultan Hamengkubuwono IX memanggil dia ke Yogya. Di kota kelahirannya ini ia diangkat sebagai kepala Bagian Penerangan Pniradiyo Racana Pencarwara (Jawatan Penerangan dan Propaganda Keraton). Jabatan ini setingkat bupati, karena itu Soedarisman bergelar Kanjeng Raden Tumenggung dengan nama baru Poerwokoesoemo. Indonesia merdeka. Soedarisman Poerwokoesoemo -- kedua nama itu ia gandengkan sampai sekarang -- memimpin Kantor Penerangan Yogyakarta. Setahun setelah kemerdekaan, ia mendampingi Sultan Hamengkubuwono sebagai sekretaris Dewan Pertahanan Daerah. "Di sinilah saya berkenalan dengan Pak Harto, karena ia waktu itu berpangkat Letkol, salah seorang anggota dewan," ujar Soedarisman. Memimpin Kantor Penerangan itu pun tak lama. Sejak 22 Juli 1947 ia diangkat menjadi Walikota Yogyakarta. Dalam sejarah Yogyakarta, Soedarisman disebut-sebut sebagai Walikota Yogya pertama. Padahal tidak. "Saya menggantikan Moch Enoch yang menjadi walikota satu setengah bulan," katanya. Tidak dijelaskan, mengapa Moch Enoch diganti begitu cepat. Jabatan walikota dipegangnya cukup paniang, sampai tahun 1966. Di tengah kesibukannya itu, ia masih sempat mendirikan Universitas Janabadra tahun 1958 dan menjabat Rektor hingga sekarang. Universitas ini cukup terpandang di Yogya dan sekarang mempunyai 3 fakultas: Hukum, Teknik, dan Ekonomi. Mahasiswanya lebih dari 1.000 orang. Ayah delapan putra yang semuanya telah berkeluarga ini, mengaku tak ada kasus yang cukup berarti yang terjadi selama masa jabatannya sebagai walikota. Malahan, setelah meninggalkan jabatan itu, ia merasa terpukul. "Saya diisukan korupsi, dituduh makan aspal," kenangnya tanpa menjelaskan asal tuduhan itu. Kenangan pahit ini bertambah sakit, ketika ia harus meninggalkan rumah dinas walikota. "Ternyata saya tak punya rumah pribadi -- akhirnya terpaksa menumpang di rumah mertua," kenan Soedarisman. "Benar-benar seperti jatuh dari menara," sambung istrinya, Soekatirah, yang dinikahi 1939. Selepas dari jabatan walikota, Soedarisman lebih banyak melibatkan diri di universitas yang dipimpinnya, meskipun untuk beberapa tahun tetap sebagai Degawai di Pemerintah Daerah DIY. Sekarang, katanya, "Saya mendapat dua pensiunan sekaligus, sebagai bekas walikota dan bekas pegawai pemerintah daerah." Gelar Kanjeng Pangeran Haryo yang diperolehnya karena berjasa pada keraton dalam hal hukum, tak pernah menempel di nama Soedarisman. Ia selalu memakai gelar kesarjanaannya, Mr. Di hari menjelang senja ini, kakek 16 cucu yang banyak merokok ini tinggal dengan tenang di rumahnya, Jalan Cik Di Tiro, Yogya, yang ia sebut "Wisma Janabadra". Tanah itu pemberian pemerintah daerah, rumahnya dibangun bertahap. Penuh dengan buku-buku. Juga benda-benda antik, seperti, keris, tombak, batu akik. "Pusaka ini peninggalan orangtua dan teman seperjuangan. Jadi harus dirawat," katanya menunjuk beberapa bilah keris antik. Di rumah itu juga ada satu lemari berisi 75 buah dasi, tergantung dengan rapi, dari model tahun 1960-an sampai masa kini. "Sejak kecil saya berdasi, kebiasaan ini tak pernah hilang," kata Rektor Universitas Janabadra yang gemar memakai jas putih. Memang, setiap ada undangan, kecuali di keraton, Soedarisman Poerwokoesoemo selalu memakai dasi. Tak peduli panas, apalagi dingin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus