IA lahir di luar tembok keraton. Karena itu tidak berdarah biru.
Tapi putra seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta ini hampir 20
tahun menjadi Walikota Yogyakarta. Dan karena pengabdiannya
kepada keraton, Soedarisman mendapat gelar K.R.T. (Kanjeng Raden
Tumenggung) dengan nama Poerwokoesoemo. Tahun 1978 gelarnya naik
menjadi Kanjeng Pangeran Haryo (K.P.H.). Tapi ia pun diangkat
menjadi ketua Tim Hukum Keraton Yogyakarta. Salah satu tugasnya
adalah menertibkan tanah milik keraton yang luas tapi ruwet itu.
Mengurus tanah milik Keraton Yogya memang bukan masalah gampang.
Menurut Poerwokoesoemo, 70 tahun, karena masalahnya saling
berkait dengan tanah di luar benteng keraton, bahkan meliputi
beberapa areal di wilayah hukum Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sebelum 1915 para abdi dalem Keraton Yogya mendapat gaji dari
hasil sawah dan tanah perkebunan yang dikuasakan keraton kepada
mereka. Tapi sesudah tahun itu, para pengabdi itu digaji keraton
dengan uang. Tanah-tanah yang dikuasakan kepada mereka tadi, ada
yang dijual, dihibahkan, dikuasakan lagi kepada orang lain --
dan kemudian tak sedikit yang terkena Undang-undang Landreform.
"Jadi sekarang ini yang bisa dipetik dari tanah keraton hampir
tidak ada lagi," ungkap Soedarisman yang sudah beberapa kali
tampil di pengadilan untuk membela Keraton Yogya dalam soal-soal
tanah. Karena beberapa kasus di pengadilan itulah Sultan
Hamengkubuwono IX membentuk tim hukum yang diketuai Soedarisman.
Perjalanan Soedarisman Poerwokoesoemo hingga mencapai jenjang
cukup tinggi dilingkungan "pemerintahan" Keraton Yogyakarta
ditempuh amat panjang. Ayahnya, Hardjokoero, seorang jaksa abdi
dalem yang sudah puluhan tahun bertugas. Anak pertama dari istri
kelima ini amat dimanjakan ayahnya. Sejak usia 5 tahun, ia
dibawa ke keraton dan diperkenalkan dengan lingkungan itu.
Bahkan didaftar sebagai abdi dalem -- suatu hal yang tak lazim
bagi anak sekecil itu.
Hardjokoero yang punya 5 istri itu, rupanya memang menyiapkan
Soedarisman sebagai orang yang tahu seluk-beluk keraton dan
segala kaitan yang menyangkut sejarah budayanya. Dalam usia 5
tahun itu pula, si bocah sudah dibelikan satu kotak wayang
kulit. Setiap malam, si bocah dikeloni dengan tembang yang
berisi pelajaran budi pekerti. Petuah dalam tembang itu yang
sampai kini dikenangnya antara lain: Ojo gelem dadi bature
londho, beno bayarane sithik, dadiyo bature Kanjeng Sinuhun --
jangan mau jadi antek Belanda, walau gaji sedikit jadilah
pengabdi keraton.
Ketika di MULO pengagum Bung Karno ini mendirikan Mardi Budhi
Prajogo, organisasi khusus untuk murid-murid MULO di Yogya.
Waktu itu (1930) ia juga aktif di organisasi Indonesia Muda,
juga sebagai anggota Jong Java.
Soedarisman juga pernah menjadi ketua Sangkara Muda organisasi
yang anggotanya putra-putri keturunan Hamengkubuwono I dan abdi
dalem. Ia memprakarsai penerbitan majalah Ngayogyakarto, dan
menjadi pemimpin redaksi. Ketika majalah ini mengutip salah satu
karangan Douwes Dekker, Soedarisman dipanggil ke PID (staf intel
polisi Belanda). Ia diperiksa. "Sejak itu nama saya mulai
dikenal luas," kenangnya.
Ketika lulus AMS (SLTA) ia melanjutkan di Rechs-Hoogescholl,
Jakarta. Dalam usia 23 tahun, ia mengantungi gelar sarjana hukum
dengan skripsi yang membahas masalah kontrak tanah sejak
Hamengkubuwono VII sampai Hamengkubuwono IX.
Di zaman pendudukan Jepang, praktis Soedarisman mempertajam
kariernya di Jakarta. "Saya berkenalan dengan Bung Hatta tahun
1942," katanya. Dari perkenalannya ini, Soedarisman mendapatkan
pekerjaan di Balai Penerangan Gunsei-Kanbu sebagai pegawai
tinggi juru penerang. Seangkatan dengan dia adalah Mr. Assaat,
Mr. Wilopo, Mr. Datuk Djamin, dan Sulaeman Binol. Tak lama ia
bekerja di Jakarta, beberapa bulan sebelum kemerdekaan, Sri
Sultan Hamengkubuwono IX memanggil dia ke Yogya. Di kota
kelahirannya ini ia diangkat sebagai kepala Bagian Penerangan
Pniradiyo Racana Pencarwara (Jawatan Penerangan dan Propaganda
Keraton). Jabatan ini setingkat bupati, karena itu Soedarisman
bergelar Kanjeng Raden Tumenggung dengan nama baru
Poerwokoesoemo.
Indonesia merdeka. Soedarisman Poerwokoesoemo -- kedua nama itu
ia gandengkan sampai sekarang -- memimpin Kantor Penerangan
Yogyakarta. Setahun setelah kemerdekaan, ia mendampingi Sultan
Hamengkubuwono sebagai sekretaris Dewan Pertahanan Daerah. "Di
sinilah saya berkenalan dengan Pak Harto, karena ia waktu itu
berpangkat Letkol, salah seorang anggota dewan," ujar
Soedarisman.
Memimpin Kantor Penerangan itu pun tak lama. Sejak 22 Juli 1947
ia diangkat menjadi Walikota Yogyakarta. Dalam sejarah
Yogyakarta, Soedarisman disebut-sebut sebagai Walikota Yogya
pertama. Padahal tidak. "Saya menggantikan Moch Enoch yang
menjadi walikota satu setengah bulan," katanya. Tidak
dijelaskan, mengapa Moch Enoch diganti begitu cepat.
Jabatan walikota dipegangnya cukup paniang, sampai tahun 1966.
Di tengah kesibukannya itu, ia masih sempat mendirikan
Universitas Janabadra tahun 1958 dan menjabat Rektor hingga
sekarang. Universitas ini cukup terpandang di Yogya dan
sekarang mempunyai 3 fakultas: Hukum, Teknik, dan Ekonomi.
Mahasiswanya lebih dari 1.000 orang.
Ayah delapan putra yang semuanya telah berkeluarga ini, mengaku
tak ada kasus yang cukup berarti yang terjadi selama masa
jabatannya sebagai walikota. Malahan, setelah meninggalkan
jabatan itu, ia merasa terpukul. "Saya diisukan korupsi, dituduh
makan aspal," kenangnya tanpa menjelaskan asal tuduhan itu.
Kenangan pahit ini bertambah sakit, ketika ia harus meninggalkan
rumah dinas walikota. "Ternyata saya tak punya rumah pribadi --
akhirnya terpaksa menumpang di rumah mertua," kenan
Soedarisman. "Benar-benar seperti jatuh dari menara," sambung
istrinya, Soekatirah, yang dinikahi 1939.
Selepas dari jabatan walikota, Soedarisman lebih banyak
melibatkan diri di universitas yang dipimpinnya, meskipun untuk
beberapa tahun tetap sebagai Degawai di Pemerintah Daerah DIY.
Sekarang, katanya, "Saya mendapat dua pensiunan sekaligus,
sebagai bekas walikota dan bekas pegawai pemerintah daerah."
Gelar Kanjeng Pangeran Haryo yang diperolehnya karena berjasa
pada keraton dalam hal hukum, tak pernah menempel di nama
Soedarisman. Ia selalu memakai gelar kesarjanaannya, Mr.
Di hari menjelang senja ini, kakek 16 cucu yang banyak merokok
ini tinggal dengan tenang di rumahnya, Jalan Cik Di Tiro, Yogya,
yang ia sebut "Wisma Janabadra". Tanah itu pemberian pemerintah
daerah, rumahnya dibangun bertahap. Penuh dengan buku-buku. Juga
benda-benda antik, seperti, keris, tombak, batu akik. "Pusaka
ini peninggalan orangtua dan teman seperjuangan. Jadi harus
dirawat," katanya menunjuk beberapa bilah keris antik.
Di rumah itu juga ada satu lemari berisi 75 buah dasi,
tergantung dengan rapi, dari model tahun 1960-an sampai masa
kini. "Sejak kecil saya berdasi, kebiasaan ini tak pernah
hilang," kata Rektor Universitas Janabadra yang gemar memakai
jas putih. Memang, setiap ada undangan, kecuali di keraton,
Soedarisman Poerwokoesoemo selalu memakai dasi. Tak peduli
panas, apalagi dingin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini