Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Khusus untuk kepco

Kontrak penandatanganan jual beli gas alam cair antara pertamina dengan korea electric power corporation (kepco). pengirimnya berdasarkan cif. (eb)

20 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK begitu salah kalau ada yang mengatakan bahwa orang Korea itu lebih lihay dari Jepang. Coba saja lihat apa yang terjadi dalam kontrak penandatanganan jual-beli LNG, alias gas alam cair, antara Pertamina dengan Korea Electric Power Corporation, Kepco, Jumat lalu, di lantai 21 gedung Pertamina, Jakarta. Dalam kontrak yang ditandatangani Direktur Utama Pertamina Joedo Sumbono dan direktur utama merangkap presiden dari Kepco Park Jung-Ki, antara lain disebutkan bahwa Kepco, mulai 1986, akan membeli dua juta ton LNG setahun dari sumur Arun, Aceh, selama jangka 20 tahun. Dan pengirimannya berdasarkan CIF (cost, insurance andfreight). Artinya, seluruh biaya pengapalan dan asuransi dari Indonesia ke pelabuhan tujuan Korea Selatan menjadi tanggungan Pertamina, selama jangka 20 tahun itu. Tidak cuma itu. Untuk mengangkut dua juta ton LNG setiap tahun itu, Pertamina juga harus menyediakan dua tanker. Dalam keterangannya kepada TEMPO, Direktur Utama Joedo Sumbono mengatakan bahwa "pengapalan dilakukan dengan kapal kita karena LNG yang kita jual dalam bentuk CIF." Dan, katanya lagi, "penjualan dalam bentuk CIF itu agar terjadi alih teknologi dalam bidang transportasi." Keputusan Pertamina untuk memilih kontrak dengan CIF, mungkin memang penting untuk belajar bagaimana mengangkut ekspor yang satu ini. Meskipun, tentu saja, ongkosnya cukup besar di masa uang sulit sekarang. Lebih lagi karena pihak Kepco tak ikut membiayai rencana membangun pusat pengolahan (train) LNG ke-6 di Arun itu. Sebuah sumber TEMPO beranggapan rada sulit untuk meminta pihak Korea untuk ikut menanggung semua itu, karena keadaan ekonomi negeri itu memang tak sebaik dulu. Yang masih ditunggu ialah sejauh mana Indonesia akan tetap berpaling ke Jepang untuk menjual lebih banyak LNG-nya. "Sekalipun minyak Indonesia berkurang pamornya di Jepang, mereka masih tetap menyukai LNG kita," kata sumber itu. Kontrak yang terjadi antara Pertamina dengan Kepco itu memang berbeda dengan yang terjadi sekitar dua setengah tahun siram di Tokyo. Ketika itu, di saat penerimaan dari minyak sedang gemuk, telah berlangsung penandatanganan serupa dengan Jilco (Japan Indonesia LNG Co.) yang mewakili lima pembeli di Jepang. Selain bersedia membeli LNG dari lapangan Badak di Kalimantan Timur, dan Arun untuk jangka 20 tahun, pengangkutannya juga dilakukan berdasarkan FOB (free on board): Pertamina hanya bertanggung jawab mengangkut LNG sampai di kapal pembeli. Pihak Jepang ketika itu juga menyetujui untuk membiayai pembangunan tambahan dua train, menelan US$ 900 juta, untuk melengkapi dua train yang sudah ada. Kini Pertamina memiliki sembilan train, empat di Badak dan lima di Arun. Dan di tahun 1986 akan genap menjadi sepuluh, kalau yang khusus dibangun untuk kebutuhan Kepco di Arun itu selesai. Pembangunan train ke-6 itu, menurut kontrak, akan menjadi tanggungan Pertamina, dan kabarnya akan diraksanakan oleh kontraktor Mobil Oil (AS). Berapa biayanya tak disebutkan. Tapi menurut Direktur Utama Joedo, "sudah akan kembali uangnya dalam tempo empat tahun setelah selesai dibangun." Adapun perundingan denan pihak Kepco, seperti dikatakan oleh Koordinator LNG Pertamina, Soedarmo Martosewojo, sudah dimulai sejak awal Juni 1981. Akhir tabun itu, hampir tercapai persetujuan antara kedua pihak. Tapi di awal 1982 perundingan yang hampir matang itu mendadak mentah lagi. Menurut Soedarmo yang menjadi gara-gara adalah itu resesi, tapi Joedo bilang, hambatannya berkisar pada soal harga dan "permintaan ini-itu dari pihak Korea." Direktur Utama Joedo, yang rapi dengan setelan jas biru-tua hari itu, tak bersedia menjelaskan lebih jauh. Menteri Pertambanan dan Energi Subroto nampak gembira dihari penandatanganan kontrak dengan Kepco. "Kita harus bangga karena dalam waktu yang relatif singkat, sepuluh tahun, Indonesia mampu menjadi eksportir LNG yang terbesar di dunia." Kelihatan banyak tertawa, seperti biasa, Menteri Subroto juga mengingatkan agar Indonesia yang kaya LNG itu tidak terlampau lama menepuk dada.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus