TAK begitu salah kalau ada yang mengatakan bahwa orang Korea itu
lebih lihay dari Jepang. Coba saja lihat apa yang terjadi dalam
kontrak penandatanganan jual-beli LNG, alias gas alam cair,
antara Pertamina dengan Korea Electric Power Corporation, Kepco,
Jumat lalu, di lantai 21 gedung Pertamina, Jakarta.
Dalam kontrak yang ditandatangani Direktur Utama Pertamina Joedo
Sumbono dan direktur utama merangkap presiden dari Kepco Park
Jung-Ki, antara lain disebutkan bahwa Kepco, mulai 1986, akan
membeli dua juta ton LNG setahun dari sumur Arun, Aceh, selama
jangka 20 tahun. Dan pengirimannya berdasarkan CIF (cost,
insurance andfreight). Artinya, seluruh biaya pengapalan dan
asuransi dari Indonesia ke pelabuhan tujuan Korea Selatan
menjadi tanggungan Pertamina, selama jangka 20 tahun itu.
Tidak cuma itu. Untuk mengangkut dua juta ton LNG setiap tahun
itu, Pertamina juga harus menyediakan dua tanker. Dalam
keterangannya kepada TEMPO, Direktur Utama Joedo Sumbono
mengatakan bahwa "pengapalan dilakukan dengan kapal kita karena
LNG yang kita jual dalam bentuk CIF." Dan, katanya lagi,
"penjualan dalam bentuk CIF itu agar terjadi alih teknologi
dalam bidang transportasi."
Keputusan Pertamina untuk memilih kontrak dengan CIF, mungkin
memang penting untuk belajar bagaimana mengangkut ekspor yang
satu ini. Meskipun, tentu saja, ongkosnya cukup besar di masa
uang sulit sekarang.
Lebih lagi karena pihak Kepco tak ikut membiayai rencana
membangun pusat pengolahan (train) LNG ke-6 di Arun itu.
Sebuah sumber TEMPO beranggapan rada sulit untuk meminta pihak
Korea untuk ikut menanggung semua itu, karena keadaan ekonomi
negeri itu memang tak sebaik dulu. Yang masih ditunggu ialah
sejauh mana Indonesia akan tetap berpaling ke Jepang untuk
menjual lebih banyak LNG-nya. "Sekalipun minyak Indonesia
berkurang pamornya di Jepang, mereka masih tetap menyukai LNG
kita," kata sumber itu.
Kontrak yang terjadi antara Pertamina dengan Kepco itu memang
berbeda dengan yang terjadi sekitar dua setengah tahun siram di
Tokyo. Ketika itu, di saat penerimaan dari minyak sedang gemuk,
telah berlangsung penandatanganan serupa dengan Jilco (Japan
Indonesia LNG Co.) yang mewakili lima pembeli di Jepang. Selain
bersedia membeli LNG dari lapangan Badak di Kalimantan Timur,
dan Arun untuk jangka 20 tahun, pengangkutannya juga dilakukan
berdasarkan FOB (free on board): Pertamina hanya bertanggung
jawab mengangkut LNG sampai di kapal pembeli.
Pihak Jepang ketika itu juga menyetujui untuk membiayai
pembangunan tambahan dua train, menelan US$ 900 juta, untuk
melengkapi dua train yang sudah ada. Kini Pertamina memiliki
sembilan train, empat di Badak dan lima di Arun. Dan di tahun
1986 akan genap menjadi sepuluh, kalau yang khusus dibangun
untuk kebutuhan Kepco di Arun itu selesai.
Pembangunan train ke-6 itu, menurut kontrak, akan menjadi
tanggungan Pertamina, dan kabarnya akan diraksanakan oleh
kontraktor Mobil Oil (AS). Berapa biayanya tak disebutkan. Tapi
menurut Direktur Utama Joedo, "sudah akan kembali uangnya dalam
tempo empat tahun setelah selesai dibangun."
Adapun perundingan denan pihak Kepco, seperti dikatakan oleh
Koordinator LNG Pertamina, Soedarmo Martosewojo, sudah dimulai
sejak awal Juni 1981. Akhir tabun itu, hampir tercapai
persetujuan antara kedua pihak. Tapi di awal 1982 perundingan
yang hampir matang itu mendadak mentah lagi.
Menurut Soedarmo yang menjadi gara-gara adalah itu resesi, tapi
Joedo bilang, hambatannya berkisar pada soal harga dan
"permintaan ini-itu dari pihak Korea." Direktur Utama Joedo,
yang rapi dengan setelan jas biru-tua hari itu, tak bersedia
menjelaskan lebih jauh.
Menteri Pertambanan dan Energi Subroto nampak gembira dihari
penandatanganan kontrak dengan Kepco. "Kita harus bangga karena
dalam waktu yang relatif singkat, sepuluh tahun, Indonesia mampu
menjadi eksportir LNG yang terbesar di dunia." Kelihatan banyak
tertawa, seperti biasa, Menteri Subroto juga mengingatkan agar
Indonesia yang kaya LNG itu tidak terlampau lama menepuk dada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini