DI tengah berkurangnya penerimaan dari uang minyak, pemerintah
tampaknya tidak mau tanggung-tanggung membenahi pemasukan duit
pajak. Akhir Juli lalu Menteri Keuangan Radius Prawiro
mengeluarkan suatu beleid pengaturan kembali Pajak Penjualan
(PPn) dan Menghitung Pajak Orang (MPO) atas beberapa komoditi
pertanian. Sejak dikeluarkannya beleid itu, biji kacang kedelai,
singkong, kacang hijau, dan ubi kayu dalam kelompok
palawija ditarik pungutan MPO.
Bulog yang selama ini bertanggung jawab membeli dan memasarkan
kembali komoditi itu ditunjuk sebagai wajib pungut atas pajak
itu. Sesungguhnya, sejak 1971 Bulog seizin Direktorat Jenderal
Pajak juga telah memungut MPO atas beras, tepung terigu, gabah,
dan jagung. Dari komoditi strategis ini Bulog tahun 1980
menyetor Rp 6,5 milyar, lalu tahun 1981 Rp 6,2 milyar dan 1982
Rp 6,1 milyar. Sedang untuk tahun ini setoran MPO itu, sesudah
palawija dihadang pajak, diharapkan akan naik jadi Rp 6,8
milyar.
Kenaikan besar setoran MPO tentu saja akan terjadi jika Bulog
lebih banyak lagi menjual pelbagai komoditi itu, terutama beras,
untuk menekan harga di pasar bebas. Sebagai stabilisator harga,
Bulog, demikian Fauzan Mansur, kepala biro keuangan instansi
itu, sudah memperkirakan bahwa pungutan MPO baru atas palawija
sebesar 2% tadi akan mempengaruhi harga jual komoditi itu di
pasar.
Berapa besar pungutan palawija itu akan menaikkan penerimaan
total MPO belum jelas benar. Tahun anggaran lalu penerimaan
pajak jenis ini hanya Rp 641,9 milyar dari sasaran Rp 680
milyar. Untuk tahun anggaran sekarang pemerintah merencanakan
penerimaan MPO bisa mencapai Rp 741,5 milyar. Sasaran setinggi
itu tampaknya sulit dicapai mengingat dunia usaha diperkirakan
masih akan lesu.
Pada hakikatnya memang MPO merupakan bagian darl Pajak Perseroan
(PPs), dan Pajak Penjualan (PPn) yang dibayar di muka. Jika
penghitungan PPs baru bisa dilakukan sesudah akhir tahun buku
(Desember), maka MPO biasanya dikutip bersamaan dengan saat
penyerahan barang atau saat transaksi dilakukan. Jadi jika di
akhir takun pembayaran MPO suatu perusahaan diperhitungkan lebih
besar daripada kewajiban membayar PPs-nya, maka wajib pajak
bisa meminta restitusi.
Tapi berdasar pengalaman, permintaan kembali restitusi itu
sering mengalami hambatan. CV Salamander, pemborong bangunan
dari Surabaya misalnya, mengaku sulit menagih restitusi itu
karena petugas pajak minta agar pemeriksaan neraca untuk
menentukan besarnya PPs harus dilakukan oleh akuntan publik. Dan
biaya untuk itu dibebankan pada wajib pajak. "Kalau kantor pajak
tak percaya, mestinya merekalah yang menyewa akuntan publik
untuk memeriksa neraca itu," kata Djawahir dari Salamander, yang
tahun lalu membayar MPO Rp 15 juta ke kantor pajak setempat.
Toh ada juga pengusaha yang tak begitu mempedulikan soal
pengambilan restitusi. Kolonel (Purn) M.U. Sirait, yang membuka
bengkel CV Tekun di Medan merelakan restitusi itu diambil
negara. Maklum, jumlah MPO yang dibayarnya tahun lalu Rp 70
ribu, sedang 1981 cuma Rp 60 ribu. Belum jelas benar apakah
Sirait kelak akan mengeluh jika pungutan PPn sebesar 2,5% untuk
usaha bengkel semacam itu benar-benar dilaksanakan seperti
instruksi Menteri Keuangan Radius.
Yang pasti T.R. Nawawi, pengusaha bengkel Timur Barat di Gunung
Sahari, Jakarta, mengimbau agar pemerintah juga secara intensif
mengutip PPn dari bengkel pinggir jalan. Bengkel yang tiap hari
menservis sekitar 30 kendaraan ini mulai merasa tersaingi oleh
bengkel pinggir jalan yang menurut Nawawi tak bayar pajak.
Sasaran penerimaan dari usaha intensifikasi PPn itu, diharapkan
bisa mencapai sasaran Rp 487 milyar untuk tahun anggaran ini.
Tahun anggaran lalu dari sasaran Rp 442 milyar, pemerintah
berhasil mengumpulkan Rp 476,6 milyar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini