Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mampir ke singkong

Beberapa komoditi pertanian dikenakan pajak mpo. bulog ditunjuk sebagai wajib pungut atas pajak tersebut. (eb)

20 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tengah berkurangnya penerimaan dari uang minyak, pemerintah tampaknya tidak mau tanggung-tanggung membenahi pemasukan duit pajak. Akhir Juli lalu Menteri Keuangan Radius Prawiro mengeluarkan suatu beleid pengaturan kembali Pajak Penjualan (PPn) dan Menghitung Pajak Orang (MPO) atas beberapa komoditi pertanian. Sejak dikeluarkannya beleid itu, biji kacang kedelai, singkong, kacang hijau, dan ubi kayu dalam kelompok palawija ditarik pungutan MPO. Bulog yang selama ini bertanggung jawab membeli dan memasarkan kembali komoditi itu ditunjuk sebagai wajib pungut atas pajak itu. Sesungguhnya, sejak 1971 Bulog seizin Direktorat Jenderal Pajak juga telah memungut MPO atas beras, tepung terigu, gabah, dan jagung. Dari komoditi strategis ini Bulog tahun 1980 menyetor Rp 6,5 milyar, lalu tahun 1981 Rp 6,2 milyar dan 1982 Rp 6,1 milyar. Sedang untuk tahun ini setoran MPO itu, sesudah palawija dihadang pajak, diharapkan akan naik jadi Rp 6,8 milyar. Kenaikan besar setoran MPO tentu saja akan terjadi jika Bulog lebih banyak lagi menjual pelbagai komoditi itu, terutama beras, untuk menekan harga di pasar bebas. Sebagai stabilisator harga, Bulog, demikian Fauzan Mansur, kepala biro keuangan instansi itu, sudah memperkirakan bahwa pungutan MPO baru atas palawija sebesar 2% tadi akan mempengaruhi harga jual komoditi itu di pasar. Berapa besar pungutan palawija itu akan menaikkan penerimaan total MPO belum jelas benar. Tahun anggaran lalu penerimaan pajak jenis ini hanya Rp 641,9 milyar dari sasaran Rp 680 milyar. Untuk tahun anggaran sekarang pemerintah merencanakan penerimaan MPO bisa mencapai Rp 741,5 milyar. Sasaran setinggi itu tampaknya sulit dicapai mengingat dunia usaha diperkirakan masih akan lesu. Pada hakikatnya memang MPO merupakan bagian darl Pajak Perseroan (PPs), dan Pajak Penjualan (PPn) yang dibayar di muka. Jika penghitungan PPs baru bisa dilakukan sesudah akhir tahun buku (Desember), maka MPO biasanya dikutip bersamaan dengan saat penyerahan barang atau saat transaksi dilakukan. Jadi jika di akhir takun pembayaran MPO suatu perusahaan diperhitungkan lebih besar daripada kewajiban membayar PPs-nya, maka wajib pajak bisa meminta restitusi. Tapi berdasar pengalaman, permintaan kembali restitusi itu sering mengalami hambatan. CV Salamander, pemborong bangunan dari Surabaya misalnya, mengaku sulit menagih restitusi itu karena petugas pajak minta agar pemeriksaan neraca untuk menentukan besarnya PPs harus dilakukan oleh akuntan publik. Dan biaya untuk itu dibebankan pada wajib pajak. "Kalau kantor pajak tak percaya, mestinya merekalah yang menyewa akuntan publik untuk memeriksa neraca itu," kata Djawahir dari Salamander, yang tahun lalu membayar MPO Rp 15 juta ke kantor pajak setempat. Toh ada juga pengusaha yang tak begitu mempedulikan soal pengambilan restitusi. Kolonel (Purn) M.U. Sirait, yang membuka bengkel CV Tekun di Medan merelakan restitusi itu diambil negara. Maklum, jumlah MPO yang dibayarnya tahun lalu Rp 70 ribu, sedang 1981 cuma Rp 60 ribu. Belum jelas benar apakah Sirait kelak akan mengeluh jika pungutan PPn sebesar 2,5% untuk usaha bengkel semacam itu benar-benar dilaksanakan seperti instruksi Menteri Keuangan Radius. Yang pasti T.R. Nawawi, pengusaha bengkel Timur Barat di Gunung Sahari, Jakarta, mengimbau agar pemerintah juga secara intensif mengutip PPn dari bengkel pinggir jalan. Bengkel yang tiap hari menservis sekitar 30 kendaraan ini mulai merasa tersaingi oleh bengkel pinggir jalan yang menurut Nawawi tak bayar pajak. Sasaran penerimaan dari usaha intensifikasi PPn itu, diharapkan bisa mencapai sasaran Rp 487 milyar untuk tahun anggaran ini. Tahun anggaran lalu dari sasaran Rp 442 milyar, pemerintah berhasil mengumpulkan Rp 476,6 milyar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus