LANGKAH investasi (swasta) telah berlangsung lamban di tahun
1977. Gejala ini dirasakan mulai 1975. Terdapat rintangan
birokrasi dan biaya bisnis yang tinggi untuk iklim investasi
yang menjemukan.
Kesan di atas sudah umum diketahui, tapi dijumpai lagi dalam
suatu laporan tahunan IMF (Dana Moneter Internasional yang
disiapkannya menjelang sidang IGGI ke-21 (22-23 Mei) di
Amsterdam. Dalam kaitan itu kalangan bisnis tertarik pada adanya
LEKNAS-LIPI dan bertanya: Apakah mungkin bagi lembaga itu
melakukan survai tentang kelambanan investasi? Hasil survai itu
dianggap akan dapat membantu berbagai pihak yang berkepentingan,
termasuk BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal).
Kebetulan minggu lalu Ketua BKPM Barli Halim dalam Komisi VI DPR
menyebut kebutuhan akan investasi swasta sebesar Rp 400 milyar
untuk tahun 1978/1979. Angka itu hampir sebanding dengan satu
milyar dollar AS. Sungguh hebat jika harapan itu bisa terkabul,
tapi tentu bila iklim investasi mendadak berobah menjadi
menggairahkan.
LEKNAS, yang dianggap bisa mengerahkan banyak ahli, diketahui
masih belum dimanfaatkan sepenuhnya. Mungkin juga itu karena
ketiadaan biaya. Namun kebutuhan akan survai LEKNAS, khusus
mengenai iklim investasi swasta, sudah dan akan meningkat.
Japan External Trade Organization (JETRO) sudah membuka jalan
dengan menganjurkan supaya LEKNAS mensurvai pengaruh PMA Jepang
di Indonesia. Tidak diragukan lagi bahwa pilihannya pada LEKNAS
karena lembaga ini akan dianggap serius oleh instansi resmi
maupun golongan swasta. LEKNAS menyelesaikan survai itu pada
akhir 1977, bekerjasama dengan IDE, satu institut di Tokyo. Dan
JETRO membantu pelaksanaannya. Survai itu, menurut penilaian
JETRO sendiri, belum bisa disebut sebagai memuaskan. Hanya 20%
dari semua 150 perusahaan Jepang yang aktif di Indonesia,
misalnya, telah memberi jawaban atas angket yang dimajukan.
Namun hasil survai itu, sudah bisa dijadikan pegangan. Tadinya,
orang meraba-raba jika berbicara tentang investasi Jepang.
Orang di sini juga selalu meraba-raba tentang kenapa terjadi
kelambanan investasi. Ada anggapan itu akibat resesi ekonomi
dunia. Atau karena birokrasi dan biaya tinggi. Tapi yang pasti
diperlukan pegangan konkrit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini