Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Membeku di Laci Bank Sentral

11 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH Bank CIC Internasional masuk daftar pengawasan khusus dan dibatasi kegiatan operasionalnya (cease and desist order), Bank Indonesia membentuk tim on-site supervisory presence (OSP). Tim yang dibentuk April 2002 ini bertugas mengawasi perbaikan kinerja Bank CIC, termasuk semua kegiatan yang bisa menurunkan kualitas aset yang berpotensi menggerus modal.

Targetnya, setelah masa pengawasan khusus berakhir pada akhir 2002, bank ini harus memiliki rasio kecukupan modal minimal 8 persen. Bukan kerja mudah mengingat rasio kecukupan modal CIC merah menyala: minus 60,07 persen per Februari 2002. Bila tidak terpenuhi, riwayat bank langsung tamat.

Bukan perbaikan yang ditemui, tim ini malah mencium borok baru. CIC melakukan transaksi perbankan yang kebanyakan mengalir buat kepentingan Robert Tantular, pengendali CIC. Kolektabilitasnya macet US$ 59,426 juta plus Rp 120,973 miliar. Berbagai akrobat itu belum terungkap saat bank ditetapkan masuk pengawasan khusus Maret 2002.

Ironisnya, hasil pemeriksaan tidak pernah dipakai untuk memperhitungkan kembali rasio kecukupan modal Bank CIC. Padahal temuan ini diketahui oleh Deputi Gubernur Aulia Pohan, Direktur Pengawasan Bank 1 Aris Anwari, dan Deputi Direktur Pengawasan Bank 1 Sabar Anton Tarihoran. Tim itu malah ditarik dari CIC pada Agustus 2002. Hasil pemeriksaan seolah-olah mengendap di laci para pejabat bank sentral. Inilah beberapa temuan mencurigakan itu, yang salinannya diperoleh Tempo.

Yandhrie Arvian Kredit buat Robert Tantular

26 Oktober 2001

Memberikan dua fasilitas surat kredit impor kepada PT Sinar Central Sandang, perusahaan terkait Robert Tantular, masing-masing US$ 3,12 juta (L/C 1863) dan US$ 1,72 juta (L/C 1864).

Ketidakwajaran:

L/C 1863

  • Usaha Sinar Central adalah spinning mills, bukan komoditas hasil bumi.
  • Menurut dokumen surat kredit (L/C), barang yang diimpor Thai Corn Grade A, tapi dalam dokumen bill of lading (B/L) barang yang dikirim Thai Maize Grade A.
  • Tanggal pengapalan terakhir 3 November 2001, tapi dalam dokumen B/L barang diberangkatkan 8 November 2001.
  • Dalam dokumen L/C, pelabuhan tujuan Tanjung Priok. Tapi, menurut dokumen B/L, diberangkatkan ke Pelabuhan Belawan, Medan, dan Tanjung Mas, Semarang. Pihak-pihak dalam dokumen L/C berbeda dengan pihak dalam dokumen B/L.

    L/C 1864

  • Surat kredit dibuka pada tanggal yang sama dengan pengiriman barang.
  • Dalam dokumen L/C, barang yang diimpor Chinese Yellow Corn, sedangkan menurut dokumen B/L, Chinese Yellow Maize in Bulk.
  • Pihak-pihak dalam L/C tidak sama dengan pihak-pihak dalam dokumen B/L.

    Hasil penelusuran:
    Direktur Internasional Bank CIC Mahtesa Sembiring mengakui kedua fasilitas tersebut rekayasa.

    Status:

    Kolektabilitas macet. Setelah diset off dengan margin deposit, outstanding US$ 2,45 juta dan US$ 1,375 juta.

    6 dan 11 November 2001

    CIC menerbitkan dua surat kredit impor usance atas permintaan PT Buana Nusa Jaya Sakti, masing-masing US$ 2,975 juta (L/C 1874) dan US$ 2,532 juta (L/C 1875).

    Ketidakwajaran:

  • Surat kredit dibuka setelah barang dikirim (B/L) sebulan sebelumnya.
  • Surat kredit tidak ada hubungan dengan bukti transaksi karena pihak yang tertera dalam surat kredit berbeda dengan nama yang tertera dalam dokumen saat barang tiba.
  • Eksportir adalah perusahaan Singapura yang namanya sering digunakan sebagai beneficiary untuk transaksi rekayasa keuangan/perdagangan di Bank CIC.

    Hasil penelusuran:

  • Alamat Buana Nusa ternyata rumah petak kecil tempat berjualan barang kebutuhan pokok.
  • Buana Nusa tak lain perusahaan abal-abal terkait dengan Robert Tantular. Berdasarkan pengakuan Bambang Sukendo Iskandar, pemilik dan pengurus Buana Nusa, Jarot Prajogi tak lain adik Bambang yang namanya kerap dipakai Robert Tantular.

    Status:
    Kolektabilitas macet US$ 2,293 juta.

    8 November 2001

    Menerbitkan surat kredit impor di bawah program GSM-102 senilai US$ 9,1 juta kepada PT Karunia Alam Sentosa.

    Ketidakwajaran:

  • Pemberian kredit tidak menunjukkan gambaran lengkap debitor, tidak ada penjelasan tentang usaha debitor.
  • Bank sama sekali tidak memantau stok kedelai.
  • Dana hasil penjualan stok kedelai tak terkontrol.
  • Rekening nasabah tidak aktif di Bank CIC. Tidak ditemukan upaya dari bank untuk mempertanyakan hal itu.

    Hasil penelusuran:

  • Semula pemilik dan pengurus Karunia Alam Sentosa adalah Budi Kurniawan dan Frandy Antonius. Pada 24 Desember 2001 terjadi jual-beli saham. Direktur dan pemilik saham (60 persen) Karunia Alam yang baru adalah Hartawan Aluwi, suami adik ipar Robert Tantular.
  • Alamat debitor sama dengan alamat PT Paramitra Langgeng Sejahtera dan PT Paramitra Langgeng Sentosa (masih terkait dengan Robert Tantular). Menurut salah satu pengurus PT PL Sejahtera, Karunia Alam tak lain milik Robert Tantular dan Hartawan Aluwi.
  • Surat mengeluarkan barang dari gudang diteken Ie Boen Hian, orang dekat Robert Tantular.

    Status:
    Kolektabilitas macet. Per 30 Juni 2002, outstanding pinjaman berupa tagihan akseptasi dan tagihan dokumen impor US$ 6,813 juta dan US$ 2,371 juta.

    12 Maret 2002

    Kredit Rp 45 miliar kepada PT Dwiputra Mandiri Perkasa, perusahaan terkait Robert Tantular. Dana ditujukan untuk membeli persediaan kedelai dari PT Indonusa Baru Investama.

    Ketidakwajaran:

  • Kontrak antara pembeli dan penjual diwakili oleh Dick Suwarno dan I Gusti Ngurah Wisnawa. Nama Dick sering digunakan dalam perusahaan yang terkait dengan Robert, semisal PT Karunia Alam Sentosa. Adapun I Gusti Ngurah tak lain pengacara yang dekat dengan Robert, yang namanya sering dipakai sebagai pemilik dana siaga untuk right issue.
  • Rekening koran debitor baru dibuka di Bank CIC sehari sebelum kredit dicairkan. Setelah itu, tidak aktif sama sekali layaknya rekening milik perusahaan bisnis.
  • Setelah didrop ke rekening nasabah pada 12 Maret 2002, dana ditransfer ke rekening PT Indonusa di BCA. Dari situ, Rp 3,5 miliar dipindahkan ke rekening Theng San Giok di BCA. Adapun Rp 40 miliar ditarik lewat kliring di Bank Victoria untuk rekening Victoria Sekuritas. Dari Victoria dana ditransfer ke Bank Panin untuk dibelikan dolar senilai US$ 4 juta, lalu dikirim ke UFJ Bank Hong Kong atas nama rekening Fulli Rich Venture Ltd.

    Status:
    Kolektabilitas macet Rp 45 miliar. Belum dibayar hingga lewat jatuh tempo 11 Juni 2002 sehingga harus dibentuk provisi yang akan diperhitungkan dalam perhitungan modal bank.

    Wesel Ekspor Non-L/C

    Pada 8 Januari, 4 Februari, dan 25 Februari 2002, Sungai Budi Group—melalui PT Tunas Baru Lampung—memperoleh fasilitas negosiasi wesel ekspor non-L/C sebanyak enam dokumen bernilai US$ 6,698 juta.

    Status:

    Kolektabilitas macet US$ 6,698 juta. Bank harus membentuk provisi yang dimasukkan dalam perhitungan modal bank.

    Pendapatan Divisi Trade Finance Tidak Riil

    Membukukan pendapatan tagihan dokumen impor (TDI) dengan tingkat bunga tidak wajar. Sebesar 30-36 persen untuk TDI valas dan 60 persen untuk TDI rupiah. Tagihan ternyata tidak pernah dibayar nasabah.

    Status:

    Kolektabilitas macet. Per 31 Mei 2002, pendapatan bunga TDI valas dan rupiah yang belum dibayar nasabah US$ 4,252 juta dan Rp 24,373 miliar.

    Kredit buat Chinkara melalui CLN Fiktif

    Pada 24 November 2001, CIC menyerahkan surat berharga nominal US$ 41 juta plus uang tunai US$ 9 juta kepada Chinkara Capital Ltd. Chinkara lalu menyerahkan 2 CLN-ROI masing-masing bernilai US$ 25 juta, yang jatuh tempo 2004. CLN-ROI diterbitkan Mizuho International Plc. dan Bayerische Hypo und Vereinsbank. CLN diduga fiktif karena kepada bank sentral, dua perusahaan itu mengaku tidak pernah menerbitkan surat berharga jenis CLN.

    Status:

    Kolektabilitas macet US$ 25 juta (yang dihitung CLN-ROI yang diterbitkan Mizuho karena yang diterbitkan Bayerische telah diperhitungkan untuk CAR posisi Desember 2001).

    Kredit kepada PT Kanisatex

    Fasilitas preshipment buat Kanisatex berdasarkan sales contract dan surat kredit yang sudah habis masa berlakunya. Hasil penelusuran, Kanisatex jarang melakukan ekspor dan kualitas barangnya tidak memenuhi syarat kontrak sehingga ditolak pembeli.

    Status:

    Kolektabilitas macet US$ 416 ribu.

    Transfer ke Rekening Chinkara Capital di Morgan Stanley

    Terdapat tujuh kali aliran dana dari rekening giro valas PT Bank Pikko Tbk. di Bank CIC ke rekening Chinkara Capital di Morgan Stanley. Chinkara tak lain pemegang mayoritas saham Pikko dan CIC. Disinyalir dana itu disedot dari Bank CIC untuk memenuhi setoran modal Chinkara di Bank CIC.

    Obligasi di Antaboga Deltasekuritas Indonesia

    Ditemukan surat berharga Bank CIC yang dipindahkan ke PT Antaboga Deltasekuritas Indonesia Rp 184 miliar. Diduga surat berharga itu sudah tidak ada atau dijaminkan ke pihak lain.

    Sumber: Temuan pemeriksaan OSP posisi 30 Juni 2002

    Tujuh aliran dana selama 2002 (US$)

    11 April2.062.291,67
    16 April13.000,00
    16 April1.000.000,00
    17 April37.500,00
    17 April12.000,00
    6 Mei1.024.064,58
    7 Mei556.041,67
    Total4.714.897,92
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus