Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menyulap Komoditas Jadi Obligasi Bodong

Bank CIC diketahui menyalahgunakan penyaluran dana pinjaman dari Amerika Serikat. Kredit untuk membiayai impor bahan pangan malah dibelanjakan untuk surat berharga. Sebagian bodong.

11 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SABAR Anton Tarihoran tampak gelagepan diberondong pertanyaan anggota Panitia Khusus Angket Bank Century Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa malam pekan lalu. Bekas Direktur Pengawasan Bank I Bank Indonesia ini ”digugat” lantaran tidak mengambil langkah hukum atas tindak pidana perbankan yang terjadi di Bank CIC, sebelum bergabung dengan Bank Pikko dan Bank Danpac menjadi Bank Century.

Si ”penggugat”, Ahmad Yani dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. Ia menuduh mantan pejabat bank sentral itu membiarkan pelanggaran. Sabar menjawab lirih, ”Saya tidak ingat.” Grrr, tiga puluhan anggota Panitia Khusus tertawa. Yani jengkel. Ia menyebut, jawaban tidak tahu atau lupa sebagai ”jimat” ilmu bodoh.

Hari itu Dewan meminta keterangan Sabar sebagai saksi kasus penyelamatan Bank Century. Selama sekitar lima jam hingga pukul 21.00, ia dihujani pertanyaan seputar proses mer­ger dan kondisi sebelum penggabungan. Paginya, pada hari yang sama, Panitia Khusus juga memanggil bekas Deputi Gubernur BI Bidang Pengawasan Bank, Aulia Pohan.

Menurut catatan pengawasan Bank Indonesia, PT Bank CIC Internatio­nal yang dikendalikan Robert Tantular banyak melakukan patgulipat. Salah satunya dalam program General Sales Marketing alias GSM 102 dari USDA—Departemen Pertanian Amerika Serikat (AS). Fasilitas kredit lunak ini diberikan Commodity Credit Corporation (CCC), badan di bawah USDA, untuk mendorong ekspor komoditas pertanian dan peternakan ke AS. ”Bantuan” ditujukan ke negara-negara yang mengalami krisis pangan.

Pada 1999 Indonesia kebagian fasilitas tersebut. Perjanjian pinjaman diteken Menteri Pertanian AS dan Menteri Keuangan RI saat itu, Daniel Robert Glickman dan Bambang Subianto. Berbunga 4 persen per tahun, dalam tempo 3 tahun, pinjaman ini dikembalikan dalam 12 kali cicilan, tiap 6 bulan.

Pemerintah menunjuk bank pelaksana untuk menampung dana pinjaman itu. Bank Indonesia merekomendasikan 14 bank yang layak. Salah satunya, CIC. Pemerintah lalu memilih CIC dan menerbitkan contra guarantee agreement. Maksudnya, bila terjadi gagal bayar, negara yang akan menombok.

Penunjukan Bank CIC sebagai penampung dana ini disorot Dewan. Anggota Panitia Khusus dari Fraksi Partai Golkar Ade Komarudin menduga bank sentrallah yang merekomendasikan CIC kepada pemerintah. Sabar Anton membantah. Menurut Sabar, program GSM 102 merupakan kerja sama antarpemerintah. Jadi, penunjukan bank dilakukan pemerintah. Saat itu Departemen Keuangan meminta daftar bank devisa yang sehat dan bagus dalam menangani letter of credit (L/C) ”Sortirnya di sana, bagaimana menunjuknya, kami nggak tahu,” kata Sabar.

Mantan Direktur Jenderal Perbenda­haraan Negara Departemen ­Keuang­an, Mulia Nasution, mengatakan penun­juk­an CIC berdasarkan permintaan bank pengelola di AS—Chase ­Manhattan Bank-JP Morgan—yang memiliki line L/C impor dengan bank tersebut. ”Jadi, bukan pemerintah yang menunjuk.”

Menurut Sabar, Bank CIC kecipratan sekitar US$ 600 juta dana GSM 102. Tapi, seorang sumber berbisik, ”jatah” bank ini lebih gede lagi, US$ 900-an juta. Ini jelas rezeki nomplok buat bank yang sedang kembang-kempis dihajar krisis moneter 1998 itu.

Kredit komoditas ini mestinya hanya disalurkan kepada importir produk pertanian seperti Induk Koperasi Unit Desa (Inkud), Induk Koperasi Tempe Tahu Indonesia (Inkopti), dan Induk Koperasi Kesejahteraan Umat (IKKU), atau koperasi lain. Mekanismenya, ko­perasi mengajukan kredit fasilitas GSM kepada bank lokal. Bank di Amerika yang membiayai pengadaan barang tersebut. Setelah L/C dibuka, baru barang didatangkan. Selanjutnya, ko­perasi itu mencicil melalui bank lokal

Nyatanya CIC tak menyalurkan dana GSM 102 secara benar. Ini dibuktikan tim on site supervision presence (OSP) yang dibentuk Bank Indonesia pada April 2002—setelah CIC masuk daftar pengawasan khusus. Misalnya, pengucuran kredit ke PT Karunia Alam Sentosa, perusahaan yang terafiliasi dengan Robert Tantular, US$ 9 juta lebih.

Tim mengendus ketidakwajaran proses pemberian pinjaman. Sebab, tidak ada gambaran lengkap tentang debitor—termasuk jenis usaha yang dilakukan, dan tanpa analisis memadai. Bank juga tak memantau stok kedelai sama sekali. Mestinya, bank yang ”mendanai” impor, ketat mengawasi pengeluaran barang dan siapa pembelinya.

Duit hasil penjualan kedelai pun tidak dikontrol. Rekening nasabah di CIC tidak aktif alias mati suri. Tapi tak ada upaya bank meminta konfirmasi. Celakanya lagi, pas jatuh tempo cicilan pertama, debitor tak sanggup membayar. Alhasil, piutang tersebut dikonversi menjadi fasilitas tagihan dokumen impor. Per 30 Juni 2002, outstanding pinjaman PT Karunia Alam Sentosa berupa tagihan akseptasi dan tagihan dokumen impor masing-masing sebesar US$ 6,81 juta dan US$ 2,37 juta. Ujung-ujungnya, kredit itu macet.

Usut punya usut, Karunia Alam Sentosa masih ”berbau” Robert. Ada tiga pengait. Pertama, ketika L/C dibuka, pengurus perusahaan adalah Budi Kurniawan dan Frendy Antonius. Keduanya staf accounting dan staf gudang PT Paramitra Langgeng Sejahtera. Pada 24 Desember 2001 terjadi jual-beli saham. Direktur dan pemilik baru Karunia Alam adalah Hartawan Aluwi, suami dari adik ipar Robert.

Kedua, alamat debitor di Jalan Bandengan Utara B1/B20 merupakan alamat PT Paramitra Langgeng Sejahtera (milik Dudy Hariadi) dan PT Paramitra Langgeng Sentosa (milik Robert). Pe­ngurus perusahaan kepada tim Bank Indonesia mengatakan, Karunia Alam milik Robert dan Hartawan Aluwi. Tapi tidak ada kaitannya dengan Paramitra Langgeng, kendati alamatnya sama.

Sumber Tempo mengatakan, Para­mitra Langgeng Sejahtera dan Parami­tra Langgeng Sentosa adalah perusahaan atas nama Dudy Hariadi. Tapi Langgeng Sentosa dipinjam Robert. Tak ada bukti otentik bahwa Robert berada di balik layar. ”Tapi Pak Dudy selalu transfer uang (kepada Robert),” kata dia. Langgeng Sentosa termasuk yang menerima bantuan GSM Rp 169 miliar dan kredit lainnya Rp 376,5 juta. Hasil penjualan kedelai impor pun di­setor ke rekening pribadi Robert.

Bukan itu saja. Sumber menambahkan, mayoritas dana GSM 102 diputar secara agresif ke berbagai instrumen investasi yang penuh risiko. Misalnya, dua surat berharga Credit Links Notes Republic of Indonesia (CLN-ROI), masing-masing bernilai US$ 25 juta. Jenis notes ini terkait dengan tagihan utang luar negeri pemerintah Indonesia. Penerbitnya, Mizuho International Plc. dan Bayerische Hypo und Vereinsbank.

Pembelian dilakukan melalui Chin­kara Capital Ltd., pada 24 November 2001, menggunakan surat berharga pula senilai US$ 41 juta dan tunai US$ 9 juta. Chinkara merupakan perusahaan investasi yang didirikan di Kepulauan Bahama pada 1999—persis di tahun ketika CIC mulai digerojoki dana GSM. Chinkara pun masih ”berbau” Robert. Direktur utamanya, Ravat Ali Rizvi, juga duduk sebagai Komisaris Utama CIC.

Apes, CLN-ROI tersebut fiktif. Kedua perusahaan mengaku tidak pernah menerbitkan surat berharga tersebut. Hal itu diketahui setelah perwakilan Bank Indonesia di Singapura meminta konfirmasi kepada Bayerische. Hal yang sama dilakukan perwakilan Bank Indonesia di London kepada Mizuho. Bank sentral menyimpulkan dosa CIC bukan cuma pemberian kredit yang melanggar batas maksimum pemberian kredit kepada Chinkara, tapi juga penempatan dana yang tidak pruden.

Direktur Pengawasan Bank I Bank Indonesia, Sabar Anton, usai rapat Panitia Khusus meyakinkan tak ada penyelewengan penggunaan fasilitas GSM 102. ”Seingat saya tidak ada penyimpangan.” Sedangkan Robert, hingga Jumat malam pekan lalu, belum bisa diminta konfirmasi. Surat permintaan wawancara yang dikirimkan Tempo melalui pengacaranya, Bambang Kartono dari kantor advokat Denny Kailimang, belum berbalas. ”Sudah saya sampaikan, tapi belum tahu kapan akan dijawab,” kata Bambang.

Badan Pemeriksa Keuangan mencatat penyelesaian kewajiban GSM 102 oleh Bank CIC sempat tersendat. Hasil pemeriksaan investigasi badan ini atas kasus Bank Century menyebutkan, per 11 Maret 2004 masih ada kekurangan Rp 500 miliar. Ini menjadi salah satu alasan CIC masuk pengawasan intensif. Belakangan, seorang bekas pegawai CIC memastikan, kewajiban GSM 102 telah beres. Bank telah melunasinya menjelang akhir tahun anggaran 2004. ”Sekitar September-Oktober,” katanya.

Tapi, bagi Dewan, itu tak cukup. Anggota Panitia Khusus dari Fraksi Partai Amanat Nasional Chandra Tirta Wijaya mengatakan, CIC telah memakai dana pinjaman untuk membeli surat-surat berharga. ”Ini moral hazard,” kata dia. Kini surat berharga bodong itu membebani Century yang di-bail out pemerintah. Ahmad Yani pun meminta Panitia Khusus mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi lebih cepat memproses penyelidikan kasus ini.

Retno Sulistyowati, Yandrie Arvian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus