Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menutup Borok Sebelum Merger

Di tengah pengawasan khusus, Bank CIC melakukan berbagai rekayasa. Bank sentral tidak pernah menindaklanjuti hasil temuan itu. Semestinya ditutup pada akhir 2002.

11 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAPAT di ruangan Aulia Pohan berlangsung pagi itu. Di lantai 23 gedung B Bank Indonesia, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Aulia—ketika itu Deputi Gubernur Bank Indonesia—memanggil tim pemeriksa Bank CIC Internasional, pejabat Direktorat Pengawasan Intern, dan Direktorat Pengawasan Bank I. Agenda utama­nya menelisik kebocoran laporan hasil pemeriksaan Bank CIC. Dalam pertemuan itu dibicarakan pula kondisi ­mu­takhir bank yang menjadi cikal bakal Bank Century itu.

”Pak Aulia menanyakan perkembangan terakhir Bank CIC kepada masing-masing tim,” kata sumber yang hadir dalam pertemuan itu, Kamis pekan lalu. Aris Anwari (ketika itu Direktur Pengawasan Bank I), Sabar Anton Tarihoran (De­puti Direktur Pengawasan Bank I, dan I.G.M. Darmawa (Deputi Direktur Pemeriksaan Bank I) termasuk yang hadir dalam pertemuan itu.

Pada Jumat, 23 Agustus 2002, itulah tim on-site supervisory presence (OSP) yang dibentuk Direktorat Pengawasan menyampaikan temuan terbaru ihwal Bank CIC kepada Aulia Pohan. Hasil pemeriksaan, bank yang dikendalikan Robert Tantular itu memiliki utang macet US$ 59,426 juta plus Rp 120,97 miliar. Kebanyakan berupa penyaluran kredit buat perusahaan yang terkait dengan Robert Tantular. Beberapa kopi dokumen hasil pemeriksaan setebal tujuh lembar itu dibagikan dalam pertemuan tersebut.

Namun Aulia Pohan tidak banyak menaruh perhatian terhadap temuan penting itu. Di depan Aulia, Aris Anwari dan Anton Tarihoran tampak ka­get dan mengaku belum pernah menerima laporan. Anton Tarihoran lalu menyimpan hasil temuan yang sudah disusun rapi itu setelah pertemuan bubar.

Seorang sumber heran atas sikap Anton Tarihoran. Sebab, perkembangan temuan tim on-site supervisory ­presence selalu disampaikan kepada pejabat Direktorat Pengawasan, baik lisan maupun dalam bentuk disket. Apalagi hampir tiap minggu, selalu ada temuan baru. Dan sejak ditempatkan dalam pengawasan khusus serta dikenai status cease and desist order (pe­rintah kepada bank melakukan kegiatan usaha tertentu dan tidak boleh melakukan kegiatan usaha tertentu), Anton Tarihoran dan tim OSP bertemu dengan direksi CIC untuk memantau kinerja bank tersebut dua pekan sekali.

Anehnya, pemeriksaan tim on-site supervisory presence tidak ditindaklanjuti. Temuan itu tidak pernah dipakai untuk memperhitungkan kembali rasio modal Bank CIC. Padahal, kata sumber Tempo, bila borok itu diperhitungkan, rasio modal CIC masih minus 27 persen. CIC juga punya biaya perkara Rp 72 miliar dan diduga melakukan rekayasa pendapatan dari penyaluran General Sales Marketing 102—fasilitas pinjaman dari Departemen Pertanian Amerika Serikat kepada importir komoditas di Indonesia—Rp 204 miliar.

”Bank CIC mestinya sudah KO (knock out),” kata sumber di Bank Indonesia, pekan lalu. Sebab, bila modal bank masih di bawah 8 persen hingga masa pengawasan khusus usai, bank dapat ditutup. Ketentuan ini sesuai Peraturan Bank Indonesia No 3/25/PBI/2001 tentang penetapan status bank dan pe­nyerahan bank kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Apalagi masa pengawasan khusus sudah diperpanjang satu kali. Semestinya tidak ada cerita bank ini bisa merger dengan Bank Danpac dan Bank Pikko menjadi Bank Century.

Namun, karena ketiga hal tadi tidak diperhitungkan, rasio modal CIC bisa positif 8,79 persen per akhir Agustus 2002. Angka itu cuma memperhitungkan penyelesaian kredit bermasalah Rp 1,087 triliun per 30 Juni 2002, dan setoran US$ 50 juta dari total komitmen US$ 75 juta seperti tertuang dalam ca­pital restoration plan.

Kini, tujuh tahun berselang, proses merger Bank CIC dengan Bank Danpac dan Bank Pikko—menjadi Bank Century—jadi sorotan. Audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan mencium beragam kejanggalan itu. Oleh Badan Pemeriksa, bank sentral dinilai meloloskan merger dengan menutup-nutupi rasio modal CIC selama masuk pengawasan khusus. Proses merger belakangan menjadi fokus pemeriksaan Panitia Khusus Hak Angket Bank Century Dewan Perwakilan Rakyat. Aulia Pohan dan Sabar Anton Tarihoran dipanggil Panitia Khusus sehubungan dengan hal ini, Selasa pekan lalu.

Dimintai konfirmasi soal ini, Aulia Pohan—usai dipanggil Panitia Khusus Hak Angket—hanya melengos. Anton Tarihoran mengaku tak pernah menerima hasil laporan resmi. Yang dilaporkan tim, kata dia, hanya oret-oretan. ”Apakah itu dianggap laporan dan bisa ditindaklanjuti?” katanya

Seolah melempar bola, Anton Tari­horan mengatakan laporan resmi diterima Aris Anwari, Direktur Pengawasan ketika itu. Sedangkan posisi Deputi Direktur tidak berwenang menindaklanjuti isi laporan. Apa saja temuan tim yang sempat ia dengar dan ketahui ketika itu, Sabar Anton mengaku lupa.

lll

FEBRUARI 2002. Aulia Pohan mengadakan rapat dengan manajemen Bank CIC di kantor Bank Indonesia, Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Di ruang rapat lantai 23 itu, pejabat bank sentral itu menetapkan CIC dalam pengawasan khusus dan dikenai status cease and desist order. Keputusan itu tidak diumumkan di web site Bank Indonesia, sebagaimana lazimnya pada bank-bank lain bila masuk pengawasan khusus.

Tatkala keputusan itu diambil, rasio kecukupan modal bank tersebut negatif 60,07 persen. Modal segar yang dibutuhkan Rp 1,88 triliun. Hitung-hitungan ini berdasarkan hasil pemeriksaan periode Juli-akhir November 2001. Penentuan status diberikan setelah melewati tiga exit meeting antara tim pemeriksa bank sentral dan manajemen CIC. Bank ini resmi masuk pengawasan khusus pada 26 Maret 2002.

Peraturan Bank Indonesia No. 3/25/201, mengatur, bank sentral akan memantau perbaikan kondisi bank melalui penempatan pengawas dan pemeriksa pada bank (on-site supervisory presence). Itu sebabnya, Bank Indonesia membentuk tim on-site supervisory presence pada 8 April 2002.

Di depan manajemen Bank CIC, Sabar Anton Tarihoran menjelaskan kewenangan tim. Salah satunya memantau pelaksanaan cease and desist order tentang kegiatan usaha apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan Bank CIC. Bila mau menyalurkan fasilitas kredit, harus mendapat persetujuan dari tim.

Tim ini juga memantau seluruh penyelesaian yang harus dikerjakan CIC. Mulai dari memperbaiki kualitas aktiva produktif hingga menyuntikkan duit US$ 75 juta seperti tertuang dalam ca­pital restoration plan. Kualitas aktiva produktif diperbaiki dengan menyelesaikan kredit bermasalah. Targetnya, setelah masa pengawasan khusus berakhir—semula September 2002, diperpanjang ke Desember 2002—modal CIC positif 8 persen.

Tiap Selasa dan Kamis, tim ini datang ke CIC. Setelah masuk pada 18 April, tim menemukan rekayasa baru di Bank CIC. ”Ditemukan pelanggaran terhadap apa yang tidak boleh dilakukan selama bank dikenai CDO,” kata sumber di bank sentral. Bank ini malah jor-­joran memberikan fasilitas kredit bagi kepentingan Robert Tantular. Total dana yang macet, ya itu tadi, US$ 59,426 juta plus Rp 120,97 miliar.

Bukannya ditindaklanjuti, bank sentral malah menarik tim itu dari Bank CIC pada Agustus 2002. Pada bulan itu, Anton Tarihoran mempertemukan tim OSP dengan Heryanto alias Didong, dari kantor akuntan publik yang biasa memeriksa laporan keuangan Bank CIC. Didong berkukuh CLN-ROI US$ 50 juta yang dimiliki Bank CIC tidak fiktif (baca Membeku di Laci Bank Sentral). Tim OSP berpendapat sebaliknya. Dalam pertemuan itu tim juga menyampaikan obligasi rekap Rp 100 miliar yang diduga fiktif. Obligasi itu tidak disimpan di bank kustodian, melainkan di PT Antaboga Deltasekuritas Indonesia--yang sudah dicurigai jadi kendaraan Robert mengeruk fulus CIC.

Entah kenapa, saat dimintai keterangan oleh Badan Pemeriksa Ke­uangan, keberadaan tim ini awalnya dibantah Anton Tarihoran. Tapi Hizbullah, salah satu anggota tim, mengingatkan dia tentang tim ini. Anton lalu mengatakan, tim ditarik dari Bank CIC karena pedoman kerja (term of refe­rence) kegiatan pengawasan belum ada. Menanggapi audit investigasi Badan Pemeriksa, bank sentral mengatakan, meski tim ini ditarik, fungsinya tetap dilaksanakan melalui pengawasan rutin (off-site supervision).

Keberadaan dan penarikan tim di tengah penugasan ditegaskan oleh wawancara Badan Pemeriksa dengan Jai Kumar, salah satu anggota tim. Menurut dia, meski pedoman kerja tak ada, tugas tim mengacu pada pelaksanaan apa yang boleh dan tak boleh dilakukan bank serta pemenuhan capital restoration plan yang harus dilakukan .

Sumber Tempo mengatakan, Anton Tarihoran lalu membuat pedoman kerja tim. Salah satu poinnya: tugas tim ini tidak melakukan pemeriksaan sebagaimana pemeriksaan oleh Direktorat Pemeriksaan Bank I. Pedoman ini dibuat pada 3 September 2002, namun dimundurkan penanggalannya menjadi 8 April 2002. ”Sehingga terkesan pedoman disusun sebelum tim masuk ke CIC,” kata dia. Anton Tarihoran dan Anggar B. Nuraini (ketika itu pengawas bank senior) menandatangani pedoman tersebut.

Jai Kumar, dalam keterangannya kepada Badan Pemeriksa, menyatakan, gara-gara poin tadi, temuan tim on-site supervisory presence tidak ditindaklanjuti karena dinilai sudah melampaui kewenangan yang diatur dalam pedoman. Status pengawasan khusus serta cease and desist order dicabut dari Bank CIC pada Oktober 2002 karena rasio modal bank sudah 8 persen.

Kepada Hendrawan Supratikno, anggota Panitia Khusus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Aulia Pohan mengaku capek mengawasi polah nakal CIC. Tapi kenapa tetap bisa mer­ger? Aulia beralasan, pemegang saham pengendali Bank CIC, Danpac, dan Pikko orang yang sama. Bila satu bank ditutup, bisa tutup semua. ”Ini yang berusaha kami cegah,” kata dia. ”CIC dan Pikko kami paksa tambah modal.”

lll

HOTEL Excelsior, Singapura, Mei 2001. Di hotel yang terletak di Coleman Street itu, Budi Mulya, yang datang ke Negeri Singa itu untuk urusan seminar, menunggu tamu penting. Sabtu malam itu, Robert Tantular berjanji menjemput Budi (ketika itu Direktur Bank Exim). Mengendari Mercy E-Class krem, mereka makan malam di kawasan Orchard.

Saat itulah, kata seorang sumber, Robert menyampaikan unek-uneknya. Ia merasa, pemeriksaan bank sentral terhadap Bank CIC tendensius dan selalu mengarah kepada dirinya. Sejak April 2001, Bank CIC dikenai status cease and desist order. Robert mempersoalkan status itu. Ia juga melobi agar punya akses ke beberapa pejabat pengawas bank sentral, seperti Anton Tarihoran.

Dengan status itu, kegiatan operasional CIC dibatasi. Padahal Budi Mulya telah memberikan rekomendasi kepada beberapa nasabah Bank Exim (CV Djati Mulia dan CV Gunung Lintong) untuk memperoleh pembiayaan ekspor dari Bank CIC. Budi Mulya lalu menanyakan status Bank CIC kepada Anton Tarihoran.

Setelah itu Anton Tarihoran memanggil Aziz Rajkotwala (ketika itu Direktur Bank CIC) dan Rafat Ali Rizvi (Komisaris Utama CIC) ke Kebon Sirih, membicarakan penempatan dana CIC dalam bentuk surat-surat berharga di Abacus Capital. Anton Tarihoran, kata sumber tadi, bersedia mencabut status CDO asalkan surat berharga itu dijual. Direksi CIC menyetujui hal itu. Dan entah kebetulan atau tidak, pada Agustus 2001 status CDO bank CIC dicabut.

Tempo belum mendapat konfirmasi dari Robert soal ini. Wawancara yang dijanjikan sejak tiga pekan lalu tak jadi dilaksanakan. Hingga akhir pekan lalu, Robert juga belum membalas daftar pertanyaan yang dititipkan melalui Bambang Hartono, pengacaranya.

Di depan panitia khusus, Budi Mulya, kini Deputi Gubernur, menolak tudingan itu. Ia membantah pernah menjadi penghubung antara Robert dan Anton Tarihoran. Ia mengaku sekadar tahu, tapi tidak memiliki kedekatan khusus dengan Robert. ”Saat menjabat di Bank Ekspor Impor, saya biasa melakukan interaksi, tapi ada kewenangan jabatan yang membatasi hubungan personal seperti itu,” katanya. Soal pertemuan di Singapura juga dibantahnya. ”Wah, (informasi) dari mana itu?” katanya. Anton Tarihoran juga menepisnya. ”Secara tegas saya katakan tidak ada yang pernah minta tolong kepada saya soal kasus bank mana pun.”

Yandhrie Arvian, Fery Firmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus