Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perjanjian perdagangan bebas ASEAN-Cina yang berlaku sejak 1 Januari lalu mulai membuat cemas banyak pengusaha. Pengalaman buruk di sektor hortikultura agaknya masih menghantui para pebisnis di sektor lain. Sejak dibuka bebas pada 2007-dengan bea masuk nol persen-produk impor praktis menguasai pasar tradisional dan supermarket Indonesia. "Lihat saja di supermarket, buah-buahan yang dijual kira-kira 85 persen adalah impor," kata Ketua Harian Dewan Hortikultura Nasional Benny Kusbini.
Arus produk hasil perkebunan ke Indonesia memang makin deras belakangan ini. Di salah satu gudang penyimpanan pangan segar di daerah Sunter, Jakarta Utara, misalnya, si empunya gudang menawarkan berbagai jenis buah impor. Ada pir, jeruk, kelengkeng, anggur tanpa biji. Sofian, sang tamu, mencari anggur. Tak berapa lama, peti kayu berukuran kira-kira 90 x 60 sentimeter berpindah tangan. "Lumayan, satu peti anggur berisi belasan kilogram harganya sekitar Rp 100 ribu," katanya.
Gudang penyimpanan ini seperti pasar grosir, tapi hanya menjual buah impor. Pembeli mulai berdatangan pukul 9 pagi. Pada akhir pekan dan menjelang hari raya lebih ramai. Tak sampai pukul 12 siang barang sudah habis. Pembeli biasanya dari retail besar, pedagang kelas menengah dan kecil, pemilik warung, sampai konsumen biasa.
Pangan dalam gudang penyimpanan itu langsung dibawa dari pelabuhan. Buah dan sayur biasanya diangkut kapal dengan kontainer khusus yang memiliki alat pendingin. Di pelabuhan, Bea-Cukai mengecek dokumen, dan Badan Karantina melakukan pengecekan fisik. Jika lulus pemeriksaan, pemilik kontainer akan membawanya ke gudang penyimpanan. Salah satunya gudang penyimpanan yang dikunjungi Sofian tadi.
Meskipun perdagangan bebas dengan Cina telah dibuka pada 1 Januari lalu, arus barang dari negara itu belum begitu banyak. Di Pelabuhan Tanjung Priok, sepanjang 1 Januari sampai 6 Januari lalu, baru merapat satu kapal dari Cina. Kapal itu mengangkut 450 kontainer, berisi barang keras, antara lain tekstil. "Arus impor dari Cina biasa saja, memang sudah tinggi sejak dulu," kata Asisten Manajer Pelayanan Pelanggan dan Humas PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) Hambar Wiyadi.
Di sektor pangan segar, impor dari Cina berupa jeruk, anggur, apel, bawang merah, bawang putih, dan wortel. Benny mengaku waswas terhadap kualitas buah Cina. Ia pernah mengunjungi gudang penyimpanan pangan di Negeri Tirai Bambu itu. "Ada gudang dengan pendingin yang bisa menyimpan apel supaya awet sampai lebih dari setahun," ujarnya. Menurut Benny, Badan Karantina mesti memastikan produk layak konsumsi dan tidak mengandung zat berbahaya.
Menghadapi perdagangan bebas, Benny mengaku sektor hortikultura tidak siap. Daya kompetisi produk kurang. Produktivitas perkebunan di Indonesia masih rendah dan bersifat musiman. Infrastruktur pendukung minim, biaya transportasi tinggi. Petani harus membawa hasil panen ke kota melalui jalanan rusak, sehingga produk pertanian itu pun rusak karena terguncang-guncang di dalam kendaraan. Kredit perbankan juga sulit mengucur.
Membatasi impor juga jelas tak mungkin. Sebab, produksi beberapa komoditas tertentu belum mampu memenuhi kebutuhan domestik. Bawang putih, misalnya, justru mengimpor dari Cina. Produksi domestik sangat rendah, tahun lalu sekitar 10 ribu ton.
Itu semua, kata Benny, akibat pengembangan bidang pertanian yang tidak jelas. Padahal, apabila pemerintah serius menggarap, Indonesia punya peluang besar memanfaatkan persetujuan perdagangan bebas ini untuk mengekspor buah-buahan. Buah tropis bisa menjadi unggulan ekspor, misalnya mangga, manggis, nanas, pisang, rambutan, dan salak. Sayang, produksinya masih rendah.
Berdasarkan data Departemen Pertanian, pada 2007, produksi mangga 1,8 juta ton, rambutan 705 ribu ton, dan salak 805 ribu ton. "Mangga diminati di Cina. Jepang juga," kata Benny. Kini justru Malaysia dan Thailand yang sukses memanfaatkan potensi pasar ini dengan mengekspor mangga ke Cina dan Jepang. Padahal, kata dia, Malaysia mengembangkan mangga dari bibit mangga arum manis Indonesia.
Tak hanya keok di pasar ekspor, pasar domestik pun menjadi sasaran empuk produk hortikultura dari Cina dan negara ASEAN, terutama Thailand, kendati pintu masuknya sudah dibatasi di pelabuhan tertentu. Beberapa buah impor menggempur produk lokal sejenis, sehingga petani mengeluh. Misalnya, jeruk impor dari Cina masuk ke wilayah penghasil jeruk lokal di Pontianak, mangga impor Thailand ke Probolinggo. Harga buah lokal pun jatuh.
Nieke IndriettaImpor Buah (ton)
Jeruk | Durian | Mangga | |
2007 | 18.808.434 | 23.148.588 | 1.088.198 |
2008 | 143.661.056 | 24.679.376 | 968.529 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo