EKSPEDISI Muatan Kapal Laut (EMKL) tidak resmi, atau lebih dikenal , dengan "EMKL unit", ternyata bisa membunuh EMKL resmi - perusahaan yang selama ini mereka gunakan namanya. Dua puluh enam perusahaan EMKL di Jakarta, Surabaya, dan Ujungpandang ditindak Dirjen Perhubungan Laut: izin usahanya dibekukan. Sementara itu, tiga perusahaan EMKL yang masih berstatus "izin sementara" di Ujungpandang langsung terkena pencabutan izin usaha. Tmdakan itu, menurut Ketua Tim Penelitian EMKL Ditjen Perla, Kolonel (L) CH. Lubis, Selasa pekan lalu, karena mereka terbukti memelihara EMKL-EMKL unit di dalam perusahaan mereka yang resmi. EMKL unit selama ini memang malang melintang di pelabuhan-pelabuhan besar di Indonesia. Mereka merupakan usaha perorangan yang menempel pada EMKL-EMKL resmi Menurut Sekretaris Ditjen Perla, J.E. Habibie, biasanya mereka mengurus barang-barangnya dengan cara membeli stempel dan tanda tangan direktur EMKL resmi. "Karena itu, mereka sukar dilacak. Padahal, akibatnya negara dirugikan: banyak penyelundupan administratif dilakukan EMKL-EMKL unit," ujar Habibie. TUDUHAN Habibie memang berdasar. Beberapa kali penyelundupan besar yang pernah men)adi perkara di Indonesia, seperti penyelundupan mobil mewah oleh Robby Tjahyadi, pengurusan pemasukan barang-barangnya dilakukan EMKL unit. Bahkan, Mendiang Liem Keng Eng yang sampai saat ini dianggap memecahkan rekor penyelundupan dengan 3.001 kali memasukkan tekstil secara tidak sah ke Indnesia - juga mengurus pemasukan barangnya lewat EMKL unit. Dalam kariernya ia selalu memakai nama EMKL resmi: EMKL Setia Basuki. Namun, menurut sumber TEMPO, EMKL unit itu selama ini susah diberantas. Sebab, katanya, hampir semua EMKL unit merupakan orang-orang yang dipasang oleh oknum-oknum Bea Cukai sendiri. "Sebab itu mereka lebih gesit dari EMKL resmi dalam pengurusan barang," ujar sumber itu. Dalam kasus Liem Keng Eng, misalnya, saksi-saksi dari Bea Cukai di pengadilan mengungkapkan bahwa mereka tidak akan memeriksa dokumen-dokumen yang diajukan Liem Keng Eng. Ada kodenya: kertas biru. Jika dokumen pemasukan barang diberi kode ini, menurut saksi, tidak seorang pun petugas yang berani mengutik-utik. "Sebab, ada orang kuat di belakangnya," kata saksi. Sebab itu pula, ketika itu, Keng Eng dikenal sebagai "Dirjen BC bayangan" (TEMPO, 13 Mei 1978, Hukum). Di pihak lain, menurut sumber TEMPO EMKL resmi mendapat keuntungan bersih tanpa harus bekerja. Sebab, empat tahun lalu saja, harga stempel dan tanda tangan direktur EMKL resmi itu sudah mencapai Rp 400.000 untuk seuap pengurusan dokumen pemasukan barang. Sebab itu pula, walau pada waktu itu telah dilarang, EMKL resmi tetap menjamur di setiap pelabuhan. Bahkan setiap EMKL resmi, katanya memelihara sekitar 400 orang EMKL unit. Tindakan yang serius dari pihak Ditjen Perla barulah di nulai tahun ini. Akhir Maret lalu, Menteri Perhubungan mengulangi larangan beroperasinya EMKL unit yang pernah dikeluarkan pada 1970-an. Kemudian, bersama Ditjen Bea Cukai, Ditjen Perla membentuk tim peneliti, mengusut EMKL-EMKL yang memakai unit. Hasilnya, pertengahan bulan ini, Dirjen Perla Pongky Soepardjo mengumumkan pembckuan 26 EMKL di tiga kota besar di atas, dan tiga EMKL dicabut izin usahanya. "Sebenarnya, penertiban itu bukan barang baru. Sama saja dengan polisi memeriksa SIM: yang ketahuan melanggar peraturan, ditindak," ujar Sekretaris Ditjen Perla, Habibie. "Penindakan itu lebih ditekankan kepada pembinaan, agar tidak ada lagi EMKL di bawah pohon," ujar Habibie. Tapi, menurut Awal Panggabean, yang selama ini beroperasi sebagai unit EMKL Duhita Veem di Tanjung Priok, sebenarnya persoalannya bukan hanya perkara unit. "Kalau hanya soal unit, kenapa ada EMKL yang juga memelihara unit tidak kena tindak?" ujar Awal Pangabean. Awal juga tidak bisa menerima bahwa usahanya dituduh merugikan pemerintah dari segi bea masuk. "Karena Bea Cukai tahu apa yang kami lakukan. Kalau benar barang yang dimasukkan tidak sesual dengan PPUD, kenapa mereka loloskan juga?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini