TEMPAT penyewaan kaset video tetap saja ramai, kendati beberapa pengusaha perekaman sedang dirundung cemas. "Kami tidak tahu bagaimana masa depan blsnis ini," ujar seorang staf perusahaan perekaman yang ditemui di kantornya, di Jakarta, awal pekan ini. Kantor Suma Video, misalnya, sudah dioperkan kepada pihak lain. Umumnya, keluhan para pengusaha itu dikaitkan dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film akhir Maret lalu. SK yang mengatur ketentuan pelaksanaan pembinaan rekaman video ini merupakan lanjutan Keputusan Presiden No.13/1983, 26 Februari tahun silam. Berdasarkan SK itu pula, beberapa perusahaan perekaman, seperti PT Mitra Amerta Utama (Citra Video), PT Panca Irama Sejati (Panca Video), PT Abadi Sapta Karya (Asaka Vision), dan PT Gema Permata Video Movie Indonesia (Video Movie), merasa terancam gulung tikar. "Sekarang saya hanya menghabiskan stok lama," kata Denny Rhyanto, Direktur Citra Video. Denny juga bingung, kriteria apa yang dipakai dalam menunjuk lima perusahaan yang diakui. Padahal, mereka yang tidak lolos, menurut Denny, cukup berpengalaman dan tidak kalah dalam mutu produksi. Menurut sebuah sumber, setelah Keppres No. 13/1983 keluar, sekitar 50 perusahaan mendaftarkan diri untuk "ikut main" dalam bisnis rekaman gambar hidup ini. Hanya lima yang kemudian dinyatakan lolos. Yaitu Trio Video Tara, Pan Video, Super-Picture Video, Casa Video, dan Gema Indovideo. Perusahaan itu kini tergabung dalam Asirevi (Asosiasi Importir Rekaman Video). Lainnya diminta membubarkan diri. Para importir ini, kelak, selain memiliki izin impor, juga dilengkapi dengan Tappi (Tanda Pengenal Pengakuan Importir) dari Menteri Perdagangan, atas saran dan pertimbangan Menteri Penerangan dan Jaksa Agung. Merekalah, melalui Asirevi, yang mengajukan permohonan Impor kepada P & RV (Direktorat Pembinaan Film & Rekaman Video) Deppen - pusat pelaksanaan teknis SK Dirjen RTF tadi. Rekaman yang diizinkan masuk dalam bentuk kaset induk kemudian diperiksa di BSF (Badan Sensor Film). Kaset yang lulus sensor akan diberi SIAK (Surat Izin Alih Rekaman). Khusus kaset film nasional, SIAR hanya diberikan kepada perusahaan yang tergabung dalam Darvisat (Pengedar Video Pusat) dan perusahaan ekspor kaset video. Kaset induk kemudian disimpan di BSF. Adapun salinannya, dilengkapi dengan STLS (Surat Tanda Lulus Sensor) dan SIP (Surat Izin Produksi), oleh BSF diserahkan ke instansi pengganda yang sudah ditunjuk, yaitu PPFN, Penas, dan Lokananta. Sebelum rekaman video diedarkan, perusahaan wajib lapor kepada Kawildar (Kepala Wilayah Edar - yang dirangkap Kanwil Penerangan setempat). Jalur peredaran dimulai dari Darvisat (pengedar tingkat pusat), turun ke Darvisi (tingkat provinsi), akhirnya ke Darvikab dan Darviko (tingkat kabupaten dan kota madya). Pedagang paling bawah disebut Palwa (penjualan dan penyewaan). Untuk pengawasan dan pengendalian perdaran, baik rekaman asal impor maupun domestik, dibentuk Bakor Darvi (semacam ladan koordinasi), yang terdiri dari unsur pemerintah, wakil Asirevi dan Gapsirevi Gabungan Perusahaan Produksi Rekaman Video). Pokoknya: rapi. LALU, bagaimana dengan perusahaan yang mengaku bakal gulung tikar tadi? "Tidak benar itu," sahut Dirjen RTF Drs. Subrata, kepada Saiff Bakham dari TEMIO, Ahad lalu. "Justru mereka digalang, dikembangkan bisnisnya dalam wadah Gapsirevi," katanya menambahkan. Gapsirevi ini bergerak memproduksikan rekaman video dalam negeri. Beberapa perusahaan yang tergabung dalam Asirevi, kabarnya, sudah menyerahkan, atau menyumbangkan, alat penggandaan kasetnya kepada TVRI dan Lokananta. Yang terakhir ini, bersama PPFN dan Penas, memang menyambut hangat SK Dirjen RTF itu. "Selama ini kami cuma sibuk membikin film si Unyil," ujar seorang staf PPFN. Tapi katanya menambahkan, "Hingga sekarang belum ada persiapan menyambut pelaksanaan SK itu." Di tempat-tempat penyewaan kaset video, yang diperkirakan sekitar 200 tempat, di Jakarta, SK Dirjen RTF itu memang tak terlalu dipersoalkan. "Kami hanya memerlukan izin usaha dagang," ujar seorang pengusaha penyewaan kaset di sekitar Blok M. "Kalau kasetnya nggak laku disewakan, kami kembalikan ke pengedar," kata pengusaha, yang mengaku selama ini membeli kaset Rp 25.000 per buah dari distributor. Tetapi, pengusaha rental di bilangan Glodok melihatnya dari sudut lain. "Tambah kctat aturannya, bakal ramai yang namanya kaset bajakan, kaset gelap," kata seorang pemilik rental di kawasan itu. Padahal, Dirjen RTF Subrata tak sampai menutup semua pintu. "Meski aturan ketat," katanya, "saya tidak melarang alih rekam dengan pesawat sendiri. Asalkan tidak diperdagangkan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini