Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Perusahaan pelabuhan profesional

Pengelolaan seluruh pelabuhan dintegrasikan dalam empat perusahaan umum pelabuhan, dengan tujuan agar bisa efisien dan ekonomis. (eb)

26 Mei 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TENTU ada alasan cukup kuat jika hari-hari ini Sabirin, direktur utama Perum Pelabuhan II, sibuk sampai malam memimpin rapat di lingkungan perusahaan itu sejak pekan lalu. Sudah setahun ini, dari kantornya di Tanjung Priok, dia harus mengawasi arus keluar masuk barang di 17 pelabuhan sekaligus, yang berada di Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Barat, Jakarta, sampai Jawa Barat. Sabirin kini dituntut mengemudikan perusahaan secara profesional, yang mempunyai rencana, sasaran, dan menghasilkan laba - pendeknya, bukan lagi sekadar administrator pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Sejak 1 Mei tahun lalu, memang, melalui seperangkat peraturan pemenntah, pengelolaan seluruh pelabuhan diintegrasikan dalam empat perusahaan umum (perum) pelabuhan. Masing-masing perum ini membawahkan puluhan pelabuhan kecil di wilayahnya, baik secara operasional maupun manajemen. Kata J.E. Habibie, sekretaris Ditjen Perhubungan Laut, perubahan secara struktural ini bertujuan mencari bentuk pengelolaan pelabuhan yang efisien dan ekonomis. "Termasuk bagaimana mereka mencari dan mengelola pendapatannya sendiri," katanya. Dcngan kata lain, anggaran empat perum pelabuhan itu tidak lagi tergantung dari aliran rupiah APBN. Tapi berasal dari hasil yang bisa mereka himpunkan sendiri, baik dari jasa penyewaan gudang, pemanduan kapal, maupun bea sandar. Dari sini pula mereka, sesudah menggail karyawan dan menyisihkan pelbagai pengeluaran, bisa membuat ancar-ancar laba. Perum Pelabuhan II, misalnya, tahun ini berharap bisa mengantungi pendapatan kotor Rp 8 milyar dari Tanjung Priok. "Sekitar 90% pendapatan perum memang akan datang dari Priok, sedangkan pelabuhan lainnya praktis mendapat subsidi dari sini," ujar Sabirin. Untuk memperoleh dana yang diperlukan bagi pengembangan usaha, perum diperbolehkan menerbitkan obligasi. Peraturan pemerintah mengenai pembentukan perum itu juga membolehkan mereka utang dari dalam atau luar negeri untuk melakukan penambahan investasi. Tapi persoalan tidak berhenti sampai di situ saja. Soal penyertaan modal pemerintah (equily) melalui APBN, misalnya, belum diatur secara jelas dalam ketetapan itu. Dalam peraturan pemerintah 30 April 1983 itu memang sudah disebut bahwa modal perusahaan adalah kekayaan negara yang sudah dipisahkan dari APBN dan tidak terbagi atas saham-saham. Dengan kata lain, kekayaan perusahaan yang kini dikelola, baik berupa alat-alat maupun fasilitas pergudangan, hakikatnya merupakan penyertaan modal pemerintah (PMP). Untuk Perum Pelabuhan II, misalnya, PMP yang merupakan kekayaan perusahaan ditaksir bernilai sekitar Rp 100 milyar lebih sebelum ada reevaluasi (penilaian kembali sesuai dengan harga sekarang. Nilai kekayaan ini jelas akan bertambah jika di perum bersangkutan ada penambahan harta - baik berupa bangunan maupun fasilitas dermaga. Yang jadi soal, jika pemerintah dengan dana BankDunla suatu saat kelak memperbaiki fasilitas sebuah pelabuhan, apakah hal itu akan dibebankan sebagai utang perusahaan. "Kalau kredit Bank Dunia semacam itu kelak dibebankan sebagai utang, jelas biaya jasa kami akan naik, dan itu akan menyebabkan tarif yang kini berlaku tidak sesuai," ujar Sabirin, memberi gambaran. "Tapi kalau kredit Bank Dunia itu diperlakukan sebagai equity, kami senang." Berapa besar kredit Bank Dunia untuk pengembangan pelabuhan itu belum jelas benar. Yang sudah pasti, melalui APBN 1984-1985 ini, pemerintah menyediakan anggaran Rp 135 milyar untuk program pengembangan fasilitas pelabuhan, pengerukan alur-alur pelayaran, dan keselamatan pelayaran. Selama lima tahun pada Pelita IV, untuk sektor itu disediakan dana sekitar Rp 1,2 trilyun. Namun, apakah dana sebesar itu akan disalurkan ke perum pelabuhan atau disalurkan untuk pelabuhan di luar wewenang perum, belum Jelas. Maklum, dari 300 pelabuhan yang ada kini, yang dikelola di bawah perum baru 91 pelabuhan. Dan hanya beberapa saja yang boleh disebut menguntungkan. Penerimaan Tanjung Priok, misalnya, dari Rp 19,8 milyar pada 1980 jadi Rp 52,5 milyar tahun lalu. Keadaan seperti itu juga dialami Tanjung Perak, Surabaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus