KANTORNYA cuma mirip sebuah kios kampung, berukuran 15 m2, tersuruk di gang sempit, di Kali Kuping, Semarant,. Tapi, mendadak, akhir-akhir ini nama PT Gunung Merbabu Jaya (GMJ) "mencuat", setelah perusahaan itu berhasil mengimpor 159 ton sekrup kayu (wood screw) eks RRC. Agaknya, setelah keluar keputusan Departemen Perdagangan tentang pengendalian Impor berbagai jenis barang jadi dari besi dan baja, lebih dari setahun yang lalu, baru GMJ yang berhasil mengimpor komoditi itu di luar PT Dharma Niaga dan PT Kerta Niaga. Setidaknya, begitu yang dituduhkan pihak Persatuan Pabrik Paku Seluruh Indonesia (P3SI), "Kasus ini merupakan impor illegal," kata Zainal Musa, sekjen organisasi itu. Februari lalu, petugas Bea Cukai Semarang menahan 6.350 peti sekrup kayu di gudangnya, ketika dipergoki barang itu tak dilengkapi dokumen impor. PT GMJ, si pemilik barang, sebuah perusahaan ekspor-impor barang peralatan kantor dan elektronik, konon ketika itu berdalih: sekrup itu barang tersasar. Kompanyonnya di Hong Kong, Ming Fung Trading Company, salah mengirimkan barang itu ke Semarang, padahal mestinya ke Malaysia. Setelah tertahan dua bulan di gudang, awal bulan lalu sekrup, yang biasanya dipakai oleh Industri meubel, furntture, dan sejenisnya, melenggang keluar dari gudang Bea Cukai. Itu, setelah Direktur Impor Departemen Perdagangan mengeluarkan izin impor barang itu atas nama PT Kerta Niaga, sesuai dengan permohonan perusahaan pemerintah tadi sebulan sebelumnya. Rupanya, begitu Bea Cukai memergokinya, GMJ mula-mula menghubungi Dharma Niaga, meminta bantuan mengeluarkan barangnya. Dharma Niaga menolak. GMJ tak putus harapan, lalu mengejarperusahaan lain yang juga punya kartu As, Kerta Niaga. Kali ini berhasil. Sesungguhnya harga semua sekrup kayu itu - sesuai dengan patokan Ditjen Bea Cukai - cuma sekitar Rp 171.651.480 (harga c & f). Tapi peristiwa ini tampaknya terlalu memukul asosiasi pabrik paku. Karena jumlah impor GMJ itu, walau 159 ton, sudah di atas produksi pabrik di sini selama setahun. Kini, dengan enam pabrik - empat di antaranya di Jakarta - ditambah sejumlah perusahaan industri rumah, realisasi produksi sekrup kayu sepanjang 1983 hanya 155 ton. Bisa dibayangkan, impor tadi akan mengacaukan pasar. Menurut Zainal Musa, "Kalau begini jadinya, pabrik di sini bisa tutup." Menurut Zainal, produksi selama ini masih jauh di bawah kapasitas terpasang pabrik yang 2.280 ton/tahun. Dengan kata lain, sebetulnya, pabrik sekrup kayu maslh perlu ditopang pemerintah. Dan itu memang sudah mereka peroleh, setelah Departemen Perdagangan mengendalikan impor berbagai jenis bahan jadi besi dan baja. Meski di dalam ketentuan disebutkan bahwa dua perusahaan persero niaga tadi beroleh mandat mengimpor komoditi itu, kenyataannya, mereka belum pernah memanfaatkannya. Hal itu diketahui dari pernyataan yang dibuat PT Kerta Niaga, 22 Maret lalu, dan ditandatangani Drs. Hartono Djoko selaku kepala divisi di perusahaan itu: Kerta Niaga tak pernah mengimpor ataupun menugasi perusahaan lain memasukkan sekrup kayu dari negeri asing kemari. Tak ayal lagi, kini, Zainal menuding perusahaan itu jadi "penyelamat" impor illegal PT GMJ. "Tindakan yang tak melindungi produksi dalam negeri," tuduhnya. Pemerintah memang mengendalikan impor berbagai jenis komoditi. Misalnya, seain sekrup, Desember tahun lalu Departemen Perdagangan mengendalikan impor barang konsumsi, seperti makanan, minuman, dan buah-buahan. Yang ditunjuk sebagai importir komoditi ini PT Sarinah dan Kerta Niaga. Memang banyak pihak, terutama importir, yang meragukan efektivitas kebijaksanaan ini. Apalagi kalau kasus seperti PT GMJ itu bisa terus berlangsung. "Karena itu, diharapkan Departemen Perdagangan bisa menyelesaikan kasus GMJ dengan baik," kata Zainal. Kerta Niaga sendiri belum jelas suaranya. Elam Pasaribu, direktur utama perusahaan itu, sedang menyertai misi dagang Menteri Perdagangan Rahmat Saleh ke Amerika Serikat. Sebelumnya, kepada wartawan, Pasaribu cuma sempat berkata bahwa impor sekrup GMJ itu tak menyalahi ketentuan apa pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini