SEBUAH ladang ganja, yang beberapa bulan lalu diketahui masih
menghijau ternyata telah ada yang menebas. Tim Operasi Taruna
IV, yang datang ke sana akhir April lalu, hanya menjumpai kebun
kosong yang mulai menyemak. Padahal, untuk sampai ke sana, perlu
perjuangan bukan main: menerobos hutan, menebas ilalang,
naik-turun bukit terjal yang amat berbahaya.
Namun Kol Pol Zainal komandan operasi dari kepolisian Aceh, agak
terhibur oleh sebuah penemuan: bekas kaleng sardencis dan tulang
ayam. Penemuan tersebut memperkuat dugaan, perladangan ganja
liar di pedalaman Aceh Tenggara, memang diatur "tangan dari
luar." Dan Zainal bertambah yakin akan hal itu, bahkan bisa
tertawa lebar, setelah menyaksikan hasil operasi.
Berakhir 3 Mei lalu, razia yang dilancarkan selama tiga minggu,
di luar dugaan, menemukan lebih 100 ladang ganja, meliputi areal
seluas hampir 40 hektar. Tanaman ganja yang dijumpai umumnya
baru berumur satu atau dua bulan. Tapi ada juga yang telah siap
panen, yaitu yang telah berurnur enarn bulan, dan mencapai
tinggi sampai 2 « meter. Bisa dibayangkan, berapa banyak sudah
korban yang terseret atau jatuh, dari hasil ladang ganja
sebanyak itu dari satu hektar saja diperkirakan bisa dihasilkan
5 ton ganja kering.
Seorang ahli narkotik dari kepolisian Australia, Thomas Backer,
yang ikut menyaksikan pohon ganja setinggi lebih dua meter,
geleng kepala. Di negaranya, katanya, pohon "emas hijau" hanya
mencapai tinggi 60 cm. Kualitasnya pun tidak begini baik.
Sebaliknya ganja Aceh. "Belum pernah saya menjumpai mutu ganja
sebaik dari Aceh," katanya.
Ganja dari pedalaman Aceh memang bermutu internasional. Karena
itulah, menurut Mayor Asril Azis, komandan kepolisian Aceh
Tenggara, Markas Besar Polri mengeluarkan perintah untuk
melakukan operasi pemberantasan narkotik tersebut di sumbernya.
Daerah perbukitan Penomon, Pucuk Padang, Atu Bale, Tongra,
Pabela dan Tapak Gajah diobrak-abrik.
Letaknya jauh tersuruk di celah bukit. Dari dusun terdekat,
orang mesti berjalan sampai belasan jam, memintasi rintangan
alam yang ganas. Operasi Taruna IV melibatkan sekitar 150
personil, seekor anjing pelacak, dibantu dua pesawat heli dari
Mabak. Anjing yang dibawa, yang sudah terlatih itu, menjadi
teler dan kemudian mencret. Rupanya ia terlalu lama mengendus
alat pres ganja yang kering.
Secara umum, operasi yang dilancarkan memang berhasil. Selain
menemukan puluhan hektar ladang ganja -- yang selalu
berpindah-pindah juga ditemukan ada oknum ABRI dan Polri yang
terlibat dalam perkara ladang ganja itu. Lima oknum polisi
setempat, menurut Mayor Asril, terpaksa dipecat karena mempunyai
indikasi kuat menjadi pedagang perantara, mencukongi penanaman
ganja, atau menjadi kaki tangan orang-orang tertentu yang
membiayai bisnis "emas hijau" itu. Empat anggota polisi lainnya,
yang melakukan kesalahan sama, kata Asril lagi, "pemecatannya
sedang diproses.
Oknum yang turut ambil bagian dalam bisnis terkutuk itu,
semestinya mendapat pengahasilan tambahan yang lumayan. Tapi
anehnya, setahu Mayor Asril, dari kcscmbilan oknum polisi yang
terlibat, tidak satu pun yang hidupnya tampak makmur. Boleh jadi
mereka menghabiskannya untuk foya-foya. "Uang setan, habisnya ya
dimakan hantu," komentar Asril.
Mata rantai bisnis ganja -- seperti narkotik pada umumnya --
memang senantiasa pelik. Perjalanan ganja, dari lumbungnya di
pedalaman Aceh sampai ke daerah pemasaran pun, amat pula
tertutup dan berliku. Ganja dari ladang di Kecamatan Trangon,
misalnya, harus dipikul melewati jalan setapak sampai ke Blang
Pidie, Aceh Selatan, seminggu lamanya. Lebih rumit lagi, menurut
Mayor Asril, ialah perjalanan dari Pegunungan Bukit Barisan --
Bandarbaru pedalaman Sibolangit sampai Deli Serdang, Medan.
Jalur yang ini harus ditempuh oleh pejalan kaki sebulan lamanya.
Karena sulitnya pengangkutan -- lagi pula harus dilakukan secara
rahasia -- tidak heran bila harganya pun gila. Satu kilo gram
ganja kering, yang di ladang harganya antara Rp 2.000-Rp 3.000
sesampainya di Medan ditawarkan Rp 50.000. Dan menjadi Rp
150.000 sesampainya di Jakarta. Pedagang ganja tidak kekurangan
akal. Sekali dua, mereka nekat juga membawa ganja, yang sudah
dipres sebesar batu bata, lewat jalan umum.
Tapi Kamis lalu, polisi di Pos Lawe Pakam di perbatasan
Aceh-Sumatera Utara, menangkap seorang tersangka yang mencoba
cara baru. Pos yang sengaja didirikan untuk memotong jalur ganja
itu, menangkap Muadin, 30 tahun, yang mengantungi minyak ganja
dalam botol. "Itu modus terbaru yang kami jumpai," kata Mayor
Asril.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini