BERAPA besar pinjaman yang diberikan IGGI untuk Indonesia tahun ini? Pertanyaan seperti itu berulang diterima Piet Bukman, ketua baru IGGI (Inter-Government Group on Indonesia) selama berada di sini. Dan sampai kembali ke negerinya, Minggu pekan lalu, pengganti Nyonya Eegje Schoo ini tak mau menjawab pasti. "Kalau tidak lebih kecil, ya, lebih besar. Atau bisa juga sama dengan tahun lalu," kata Bukman, 53, sambil senyum. Jawaban ketua baru ini agak bernada diplomatis. Wajar, karena putusan pasti besarnya pinjaman yang diperoleh Indonesia kelak memang baru dlkeluarkan dalam sidang tahunan ke-30 IGGI di Den Haag, Belanda, 17 dan 18 Juni mendatang. "Tapi, sebelum itu, IGGI juga harus mendengar rekomendasi Bank Dunia," ujar Bukman. Jika memang rekomendasi itu yang ditunggu, untuk masa tiga tahun anggaran 1986-89, Bank Dunia menyarankan agar IGGI sedikitnya mau memberi pinjaman US$ 2,2 milyar per tahun. Di samping itu, guna menjaga agar neraca pembayaran tetap sehat, pemerintah dianjurkannya menyiapkan kredit komersial US$ 1,9 milyar setiap tahun. Bukman, sarjana geografi sosial Universitas Amsterdam ini, agaknya bukan tergolong tokoh yang suka mengumbar omongan. Namun, harap hati-hati, ketua baru ini punya latar belakang karier di bidang pertanian cukup lama. Dan karenanya cukup mengenal wilayah seperti Indonesia. Pernah jadi ketua umum Federasi Petani dan Pemasar Hasil Perkebunan Protestan Belanda (CBTB), 1975, tokoh Partai Aliansi Krister Demokrat (CDA) ini juga anggota Badar Manajemen Komite Organisasi Masyaraka Pertanian se-Eropa (COPA). Itulah sebabnya, karena sebagian besar kredit IGGI juga banyak disalurkan ke bidang pertanian, sebagian besar waktunya ia habiskan untuk meninjau pelbagai proyek pertanian di Jawa Barat dan Lampung. Misalnya proyek peternakan ayam di Bogor atau juga proyek perkebunan kelapa sawit di daerah reklamasi Rawa Sragi, Lampung. Kesannya tentang pertanian di Indonesia cukup melegakan. "Dari peninjauan, saya mendapat kesan, kehidupan petani yang saya temui sudah lebih baik dibandingkan keadaan lima tahun lalu," ujar Bukman. Toh, ayah lima anak ini mengakui masalah berat yang kini dihadapi Indonesia akibat kemerosotan harga minyak bumi sesungguhnya berada di luar perhitungan sidang IGGI tahun lalu. Sidang grup ini, seperti diketahui, pada 1986 setuju memberikan kredit USS 2,519 milyar. Ini berarti sejak berdiri pada 1967 sampai 1986, badan ini sudah memberikan pinjaman lebih dari US$ 28 milyar. Tapi belum semua kredit itu bisa dipakai. Sebuah sumber menyebut besar dana yang belum terpakai itu sekitar 40% dari seluruh persetujuan pinjaman. Namun, setelah bertemu dengan Presiden dan sejumlah menteri Bukman cukup paham belum ditariknya dana itu berkaitan dengan kesulitan pemerintah mencari dana rupiah. "Karena itu saya nanti akan berusaha meyakinkan negara donor agar memberikan pinjaman dana lokal atas rupiah (local cost financing) yang lebih besar buat Indonesia," janji Bukman. Kepada TEMPO, Menteri Keuangan Ali Wardhana mengakui prinsip pemerintah menerima bantuan proyek IGGI adalah dalam bentuk barang modal. Sedangkan yang lain, misalnya untuk pembebasan tanah atau bayar buruh, dibiayai dengan rupiah sendiri."Tapi, sekarang 'kan harga minyak turun, rupiah kita juga kurang. Nah, karenanya kita bilang pada mereka, mbok ya bagian dari local cost finacing dibesarkan," katanya. Ia tak menyebutkan proyek mana yang macet gara-gara tak adanya dana pendamping tadi. Tapi pemerintah sudah berusaha mendapatkan dana itu, yang pada tingkat pertama diterima dalam bentuk valuta asing sebelum akhirnya dikonversikan ke rupiah. Hasilnya mulai tampak. Belum lama ini, pemerintah menerima: US$ 300 juta dari Bank Dunia, US$ 900 juta dari Bank Eksim Jepang, dan 85 juta gulden dari pemerintah Belanda. "Sudah lumayan, tapi kita masih terus melobi negara-negara lain untuk maksud serupa," katanya. Bagaimana hasilnya, akan terlihat pada hasil sidang IGGI Juni mendatang itu di Den Haag. M.S., Laporan Antosiasmo dan Ahmed Soeriawidjaja (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini