Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menanti Beleid Sawit

Pemerintah kembali menunda pemangkasan pajak ekspor minyak sawit mentah. Khawatir harga di dalam negeri melambung, atau tak mau kehilangan penghasilan pajak?

3 September 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAWIT masih harus menunggu. Kendati sudah terkatung-katung selama tiga bulan, pemerintah tampaknya masih belum berani memutuskan kebijakan soal pajak ekspor minyak sawit mentah atawa crude palm oil (CPO). Pekan lalu, pertemuan antara tim tarif dan tim Departemen Keuangan gagal membuahkan hasil. Padahal, para pedagang dan pengusaha di Gabungan Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) sudah berkali-kali mendesak agar pajak ekspor tersebut dicabut saja. Alasannya, umpama bertinju, mereka kini menghadapi pertarungan yang tidak seimbang melawan pengusaha Malaysia di pasar internasional.

Pasalnya, negeri jiran itu sama sekali tidak mengenakan pajak ekspor, sementara Indonesia justru mengenakan pajak 10 persen. Persaingan menembus pasar ekspor juga kian berat karena Cina dan India—dua importir CPO terbesar—makin ketat memungut bea masuk untuk melindungi industri pengolahan mereka.

Tak pelak, kebijakan pajak yang sudah berlangsung selama dua tahun itu memukul pengusaha sawit Indonesia. Apalagi, harga sawit di pasar internasional kini menurun drastis—hanya US$ 260 hingga US$ 270 per ton, alias cuma 27 sen dolar per kilogram. Nyaris tak beda jauh dengan harga di pasar dalam negeri. Akibatnya, keuntungan pengusaha yang sudah tipis makin susut lantaran terkena pajak.

Pajak ekspor CPO semula diberlakukan sebagai instrumen untuk, ''Menjaga kestabilan harga minyak goreng di dalam negeri," ujar Ketua Gapki, Derom Bangun. Nah, sekitar dua tahun lalu itu, minyak goreng memang punya tabiat aneh. Si licin ini sering hilang mendadak dari pasar. Kalaupun ada, harganya melonjak-lonjak seenaknya. Maklum, harganya di pasar internasional waktu itu sedang berkibar—pernah mencapai US$ 600 per ton—sehingga pengusaha lebih suka melempar produksinya ke luar negeri ketimbang menjual di negeri sendiri. Nah, setelah pajak ekspor diberlakukan, kebinalan minyak goreng perlahan-lahan bisa diredam.

Namun, kondisi sekarang jelas berubah. Saat ini, misalnya, pasokan sedang melimpah lantaran sejak 1995 pengusaha Indonesia giat menanam sawit, dan tanaman tersebut tumbuh subur setelah badai El Nino reda dua tahun lalu. Lagi pula, harganya pun tak lagi semahal dulu. Karena itu, kekhawatiran bahwa pencabutan pajak ekspor akan membuat si licin kembali binal tidak beralasan. Paling tidak, begitulah pendapat analis Erwan Teguh.

Menteri Perindustrian dan Perdagangan Luhut Panjaitan sebetulnya sudah menyadari bahwa diperlukan formulasi kebijakan baru menghadapi persaingan ketat dengan Malaysia. Dari segi biaya, produksi sawit kita sesungguhnya mampu bersaing lantaran murahnya ongkos buruh dan masih luasnya lahan yang tersedia. Tapi kita kalah dari segi efisiensi dan dukungan kebijakan. Tak mengherankan, kendati lahannya lebih kecil, Malaysia mampu memproduksi 8-10 juta ton CPO per tahun, sementara kita cuma bisa menghasilkan 6,5 juta ton. Dari jumlah itu, Malaysia hanya menggunakan 1 juta ton untuk konsumsi dalam negeri, sedangkan kita memakai 3,5 juta ton. Alhasil, Malaysia mampu menguasai 70 persen pangsa pasar internasional, sementara Indonesia harus puas dengan porsi 20 persen.

Nah, bila pemerintah serius ingin mengembangkan industri sawit, tak bisa tidak pajak ekspor CPO memang harus dipangkas. Namun, pemerintah kelihatannya enggan. Atau, itu karena pemerintah tetap ingin mengandalkan pemasukan pajak minyak sawit. Padahal, bila dihitung-hitung, di tengah harga yang merosot sekarang, penghasilan itu tidaklah seberapa. Dengan harga cuma US$ 270 per ton dan hasil ekspor 3 juta ton, pemasukan yang didapat hanya US$ 810 juta. Berarti, penerimaan pajak hanya US$ 8,1 juta. Jumlah yang tidak signifikan, ''Tapi berakibat buruk bagi sentimen pasar," ujar Erwan.

Lagi pula, di tengah kebutuhan pemerintah untuk menyedot devisa, kebijakan pajak ekspor tersebut dinilai Kepala Riset Nomura Securities, Goei Siauw Hong, ''Tidak taat asas." Kendati begitu, Hong setuju bila pencabutan pajak dilakukan secara saksama. Untuk menyiasati agar harga minyak goreng tidak melonjak-lonjak, ia mengusulkan agar pemerintah mengenakan pajak secara berjenjang, sesuai dengan naik-turunnya harga sawit di pasar internasional. Dengan cara itu, pengusaha bisa melakukan perencanaan, berapa pajak yang harus dibayar sesuai dengan jumlah produksi dan harga di pasar internasional.

Jadi, tidak seperti sekarang, pemerintah tampaknya mau enak dan menang sendiri. Ketika harga CPO turun, risiko dibiarkan bulat-bulat di tangan pengusaha. Tapi, begitu harga CPO naik, pengusaha lagi-lagi tak boleh menikmati hasilnya. Memang benar, pemerintah perlu tetap berhati-hati karena, bagaimanapun, pengusaha sawit itu selicin minyak sawit juga. Tapi, pajak ekspor 5 persen agaknya pantas, apalagi kalau diatur secara berjenjang.

N.D., Gita W. Laksmini, Dwi Arjanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus