Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Bisnis Sepekan

3 September 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aduh! Tarif Baru

Masyarakat Jakarta sejak Jumat pekan lalu harus merogoh kantongnya lebih dalam untuk urusan transportasi. Hal itu terpaksa dilakukan, lagi-lagi, karena kenaikan tarif angkutan. Karcis kereta api dan tarif taksi kawasan Jabotabek naik 50-70 persen. Akibatnya, begitu penumpang mengempaskan badannya ke bangku belakang, dan sopir meluncurkan taksi, tarif awal pun langsung meloncat ke angka Rp 3.000—sebelumnya Rp 2.000. Sedangkan tarif argometer naik dari Rp 900 per kilometer menjadi Rp 1.300. Kenaikan yang semena-mena ini pastilah membuat konsumen menjerit, apalagi rata-rata kenaikan gaji atau upah di Jakarta tak lebih dari 15 persen.

Para pengemudi taksi ikut menyesalkan kenaikan ini. Meskipun sudah ada komitmen dari Ketua Organda Unit Taksi, Izak A.R., bahwa setoran tidak akan naik selama tiga bulan, ada sejumlah perusahaan yang menaikkannya. Seorang pengemudi taksi Steady Safe mengungkapkan bahwa sejak Jumat itu, setoran naik dari Rp 100.000 menjadi Rp 140.000, sedangkan Master Taxi menaikkan setoran dari Rp 95.000 menjadi Rp 135.000. ''Kalau tarif naik, kita yang repot. Penumpang biasanya sepi dalam 2-3 bulan. Padahal, setoran tetap naik," kata pengemudi Steady Safe.

Celakanya, para sopir itu tak punya banyak pilihan. ''Biasanya, kalau tarif naik, kita mendingan di rumah. Tapi kini ada aturan, kalau tidak mau narik hari ini, kita diskors dua minggu. Terpaksalah kita narik," kata sopir tadi. Pemerintah yang menyetujui kenaikan tarif ini pun mestinya patut khawatir. Sebab, bisa jadi angka inflasi tahun ini akan meledak di atas 7 persen dan melewati target yang dipatok pemerintah dan Bank Indonesia. Dan, kalau itu terjadi, tantangan yang dihadapi semakin berat. Jadi, siapa yang diuntungkan?

BNI (Tidak) Kesulitan Likuiditas?

Rumor tentang Bank BNI bertiup keras di Bursa Jakarta dalam beberapa pekan ini. Pangkal soalnya adalah utang BNI yang jatuh tempo pada Selasa pekan lalu sebesar US$ 150 juta atau sekitar Rp 1,2 triliun. Kabarnya, BNI kesulitan likuiditas sehingga harus menubruk kanan-kiri agar memperoleh uang untuk membayar utang tersebut.

Tapi Direktur Utama Bank BNI, Saifuddien Hasan, membantahnya. ''Utang kita bukan US$ 150 juta, melainkan US$ 117 juta," katanya kepada Dwi Wiyana dari TEMPO. Menurut Saifuddien, Bank BNI sama sekali tidak mengalami kesulitan likuiditas, sehingga tak perlu meminjam ke bank lain atau ke Bank Indonesia. ''BNI sudah membayar utang itu dari cadangan sendiri. Saya lihat cadangan valas BNI berkurang US$ 100 juta dari semula US$ 500 juta. Artinya memang sudah dibayar," katanya.

Melihat laporan keuangan per Juni 2000, likuiditas Bank BNI memang tergolong bagus meskipun tidak normal, yakni di bawah 40 persen. Dengan simpanan dana pihak ketiga hampir Rp 79 triliun, BNI hanya memberikan injaman di bawah Rp 30 triliun.

Hanya, serentak dengan kasus itu, BNI malah mengeluarkan surat utang (floating rate notes) senilai US$ 170 juta, dengan jangka waktu lima tahun. Artinya, BNI berutang dalam jangka panjang dan dananya mungkin saja dipakai untuk melunasi utang yang jatuh tempo. Jangan-jangan, ini strategi gali lubang tutup lubang. Lalu, siapa yang paling akhir harus menutupnya?

Indonesia Cuma Tumbuh 4-5 Persen

Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, Anwar Nasution, ternyata tak seyakin koleganya, Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli. Ketika diundang dalam sebuah konferensi regional di Kuala Lumpur awal pekan ini, Anwar menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini diperkirakan 4-5 persen. Angka yang sama akan terjadi pula pada tahun berikutnya. ''Pertumbuhan ekonomi tetap didorong oleh konsumsi, ekspor, dan prospek sektor pertanian yang bagus," katanya seperti dikutip Reuters.

Pernyataan Anwar yang masih menjabat Dekan Fakultas Ekonomi UI ini berlawanan dengan ramalan Rizal Ramli. Menurut Rizal, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2001 akan mencapai 6-7 persen. Tapi Anwar enanggapi ringan perbedaan itu. ''Setiap orang punya prediksinya masing-masing," katanya. Yang pasti, Anwar meyakinkan bahwa hubungan BI dengan tim ekuin pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid akan berjalan baik. Anwar juga berkata, ''Saya percaya pada kualitas koordinasi Menko Ekuin yang baru itu."

Meraup Dolar di Frankfurt Messe

Krisis masih saja menghantui Indonesia, tapi para eksportir tak lagi merasakannya. Banyak di antara mereka yang tetap mampu meraup dolar dan menikmati kejatuhan rupiah. Mereka pun terus bergiat mencari celah dan pasar baru, dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan berpameran di luar negeri. Tengok saja pameran dagang barang kebutuhan rumah tangga bertajuk Tendence 2000, yang diselenggarakan Messe Frankfurt pada 25-29 Agustus lalu. Di antara 4.773 peserta pameran dari seluruh dunia, terselip 43 perusahaan Indonesia. Boleh juga, nih!

Perusahaan-perusahaan itu memamerkan berbagai barang, mulai dari mebel kayu dan rotan sampai peralatan rumah tangga seperti panci dan peralatan dapur lain. ''Hasilnya lumayan," kata Nurazman Zaina, pemilik PT Estu Agung Abadi, yang menjual mebel. Nur, yang sudah berpameran di Frankfurt 11 kali, mengaku berhasil menjual berbagai barang sebanyak 10 kontainer hanya dalam dua hari. Sedangkan dalam setahun, dia berhasil mengekspor barang senilai US$ 3 juta (setara dengan 1.000 kontainer). ''Kalau tidak ikut pameran, kita akan sulit mengembangkan pasar. Dan di sini kita bisa menjual ke mana saja," kata Nurazman.

Nurazman tidak salah. Tendence 2000, yang bisa dibilang salah satu pameran terbesar di dunia, setiap tahunnya menghasilkan transaksi yang tidak kecil. Pada tahun lalu, transaksi yang dihasilkan selama pameran sekitar DM 9 miliar (Rp 36 triliun), sementara transaksi lanjutan yang dilakukan setelah pameran mencapai DM 16 miliar (Rp 64 triliun). Namun, tak banyak perusahaan Indonesia yang bisa memanfaatkan pameran yang diselenggarakan di arena tertutup seluas 29 hektare dan ruang terbuka 7,6 hektare itu. Selain tak tahu jalurnya, Indonesia juga tak punya lagi ujung tombak promosi dagang internasional. Sangat berbeda dengan Thailand, Cina, atau Hong Kong. Jangan kaget jika stand Indonesia terlihat menyempil dibandingkan dengan yang lain.

PLN yang Selalu Dirugikan

Perusahaan Listrik Negara (PLN) agaknya sudah layak dinyatakan bangkrut. Selama empat tahun terakhir, pabrik setrum milik negara ini tak pernah untung. Tahun ini, kerugian PLN malah menggila. Pada semester I tahun 2000, PLN merugi sampai Rp 11,58 triliun. Jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan kerugian PLN sepanjang tahun lalu, yang mencapai Rp 11,3 triliun. Hal ini terungkap dalam laporan keuangan PLN yang diterbitkan Kamis pekan lalu.

Merahnya rapor PLN itu antara lain disebabkan oleh pembelian listrik swasta yang mencapai Rp 4 triliun dan pembayaran utang Rp 6 triliun. Pembelian listrik swasta dan pembayaran utang itu naik masing-masing empat dan dua kali lipat, dibandingkan dengan semester pertama 1999. Selain itu, naiknya tarif dasar listrik (TDL) rata-rata 29 persen pada April lalu tetap belum membuat PLN mampu menutup biaya produksinya. Dengan biaya produksi Rp 240/kWh, PLN hanya bisa menjual listrik ke konsumen Rp 109-140/kWh.

Runyamnya, berbagai masalah tadi tetap akan menghantui PLN dalam beberapa tahun ke depan. Dengan utang PLN yang sampai Rp 71 triliun dan belum tuntasnya penyelesaian utang swasta, PLN akan sulit meraih untung. Untuk menyelesaikannya, pemerintah harus mengambil alih utang itu sebagaimana yang dilakukan pada Garuda Indonesia. PLN juga harus bisa memutus simalakama listrik swasta. Jika tidak, masyarakat yang akan jadi korban dan konsumen harus siap-siap membayar rekening lebih tinggi.

Honda Bersiap Hadapi Motor Cina

Ternyata, Cina bisa juga membuat Jepang ketar-ketir. Lihat saja langkah yang dilakukan Honda Motor Co. (Jepang). Honda buru-buru menginvestasikan tidak kurang dari Rp 1,12 triliun (US$ 154 juta) untuk mendirikan PT Astra Honda Motor bersama Astra International. Kedua belah pihak masing-masing akan menguasai 50 persen saham. Perusahaan hasil merger PT Federal Motor dengan PT Honda Federal ini akan beroperasi pada Januari 2001. Dan perusahaan ini akan menangani semua mata rantai produksi: mulai dari pembuatan komponen, perakitan, sampai pemasaran sepeda motor dengan merek Honda. ''Astra Honda Motor dibentuk untuk menghadapi persaingan bisnis yang makin ketat, termasuk dengan motor Cina," kata T.P. Rachmat, Presiden Direktur Astra International, Rabu pekan lalu.

Honda memang pantas khawatir. Selama puluhan tahun, Honda merajai pasar sepeda motor Indonesia dengan penguasaan di atas 50 persen. Sampai Juli lalu, misalnya, Honda berhasil menjual 233 ribu unit atau 54 persen dari penjualan kendaraan roda dua. Nah, derasnya motor impor dari Cina masuk ke Indonesia memang mengejutkan. Hanya dalam tempo setahun, pangsa pasarnya meningkat dari nol persen menjadi 20 persen.

Bisa-bisa, kalau tak ada upaya untuk menghadangnya, Honda akan tergulung. Karena itu, Honda tampaknya tak akan membiarkan Astra bertarung sendirian. Bahkan, Honda bertekad meningkatkan penguasaan pasar Honda di Indonesia sampai 65 persen dalam 4 tahun ke depan. Baiklah ditunggu, apakah samurai Jepang lebih tajam ketimbang pedang Cina.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum