Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Maaf, Sementara ini Masih Dilarang

Bisnis kanal telepon melalui internet sementara masih dilarang. Tapi, apa mudah mencegahnya?

3 September 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADRIE Tanuwidjaya hanya bisa merenungi nasibnya di balik jeruji tahanan Polwiltabes Bandung. Pria berusia 35 tahun ini harus mendekam di tahanan gara-gara menyelenggarakan bisnis VoIP (voice over Internet protocol) alias jasa percakapan telepon via jaringan internet. Dia sudah mulai berbisnis sejak Juni lalu, dan menghasilkan sekitar Rp 50 juta hanya dalam tempo tiga bulan. Tapi bayarannya ternyata mahal. Senin pekan lalu, pemilik PT Supandi Jaya ini digerebek polisi di kantornya, dan sejumlah peralatan komputernya disita. Adrie harus menghadapi ancaman hukuman kurungan selama lima tahun karena dituduh mencuri pulsa milik PT Telkom, dan modalnya juga lenyap tak berbekas.

Lo, apa salahnya berbisnis VoIP? Rupanya bisnis kanal telepon melalui internet ini memang belum diatur secara rinci dalam Undang-Undang No. 36/1999 tentang Telekomunikasi. ''Karena aturannya belum ada, pemerintah sementara ini cenderung melarang penyelenggaraan VoIP di luar yang dilakukan operator resmi dan juga penyelenggara bisnis internet (Internet service provider)," kata Sasmito Dirdjo, Dirjen Pos dan Telekomunikasi Departemen Perhubungan. Sejauh ini hanya ada tiga operator telepon, yakni Telkom, Indosat, dan Satelindo. Sedangkan operator jasa internet yang diizinkan menyelenggarakan bisnis VoIP baru empat, yakni IBM Global Network, Visionet, Jasnita, dan Bidnet. ''Di luar itu, siapa pun dilarang masuk ke VoIP," tutur Sasmito.

Tapi, ternyata penyelenggara VoIP tanpa izin sudah menjamur di Indonesia. Itu sebabnya polisi—dengan dibantu petugas Telkom dan Indosat—dalam beberapa pekan terakhir giat merazia kegiatan mereka. Dua perusahaan di Surabaya, satu perusahaan masing-masing di Jakarta dan Bandung, salah satunya Adrie tadi, bisa dijerat polisi.

Bersemangatnya Telkom dan Indosat membantu razia ini bukanlah tanpa pamrih. Maklumlah, mereka merasa sangat dirugikan oleh merajalelanya kegiatan operator VoIP tersebut. Sebab, pasar tradisional operator telepon konvensional seperti Telkom, Indosat, dan Satelindo jadi melorot akibat tersedot ulah para operator VoIP itu.

Sedotan ini sulit dibendung karena tarif yang dipatok penyelenggara VoIP haram ini jauh lebih murah ketimbang harga ketiga operator tadi. Sebagai perbandingan, dengan menggunakan teknologi VoIP, untuk berbicara ke Australia konsumen hanya membayar Rp 6.000 untuk dua menit, sementara jika memakai Indosat atau Satelindo bisa menghabiskan Rp 21.500. Atau, voucher VoIP, yang dibeli dengan harga sekitar Rp 180 ribu, bisa dipakai berbicara ke Amerika Serikat selama 200 menit, sementara tarif Indosat bisa sepuluh kali lipatnya. ''Harganya bisa sangat murah karena konsumen hanya perlu membeli kartu pengakses (calling card) dan membayar pulsa lokal untuk pembicaraan jarak jauh," kata Arya Satriananta, Manajer Pengembangan Bisnis Unit Bisnis Komputer PT Telkom Drive V, Jawa Timur.

Untuk bisa memanfaatkan jasa kanal telepon melalui internet ini, konsumen tak perlu repot. Mereka hanya perlu membeli kartu pengakses seharga Rp 100 ribu sampai sejuta rupiah, dan kemudian mereka mendapatkan nomor telepon lokal—bahkan ada yang memberi nomor bebas pulsa—untuk menghubungi komputer penyelenggara VoIP dan kode (PIN) untuk mengakses sambungan ke jalur internasional. Setelah itu, konsumen bisa langsung berhalo-halo dengan mitra bisnis atau keluarganya di mana pun mereka berada dari telepon di rumah, kantor, atau tempat umum. Berapa menit pun yang mereka pakai, konsumen hanya membayar biaya pulsa lokal. Adapun komputer penyelenggara VoIP akan menghitung berapa nilai voucher yang telah terpakai dan berapa sisanya setelah sebuah sambungan dilakukan, dan menginformasikannya ke pemilik PIN tersebut (lihat: Apa itu VoIP?).

Kemudahan penggunaan dan harga bersaing ini yang membuat popularitas jasa VoIP di masyarakat meroket. Maka, jangan heran jika minat untuk menyelenggarakannya ikut terkerek karena peluang pasarnya memang menggiurkan. Melihat pendapatan Indosat dari penggunaan saluran langsung internasional (SLI), yang mencapai Rp 2,3 triliun, sudah bisa dibayangkan bagaimana besarnya pasar ini. Apalagi bila ditambah dengan porsi Satelindo, yang pendapatan pulsa internasionalnya diperkirakan sekitar Rp 400 miliar, dan perolehan Telkom dari bisnis sambungan langsung jarak jauh (SLJJ)-nya, yang juga di atas Rp 2 triliun. Para pengguna SLJJ dan SLI inilah yang menjadi sasaran utama penyelenggara VoIP.

Dengan kondisi seperti itu, wajar jika banyak perusahaan ramai-ramai masuk ke sana. Hingga saat ini memang belum ada data resmi yang menyebutkan berapa perusahaan penyelenggara VoIP. Yang bisa digerebek oleh Telkom dan Indosat bersama polisi memang tak lebih dari lima penyelenggara, tapi jumlah total penyedia jasa ini diperkirakan jauh lebih banyak. Selain membutuhkan modal yang tidak terlalu besar, teknologi VoIP bisa dijangkau oleh siapa pun dengan mudah. Pendeknya, penyelenggara hanya memerlukan sejumlah komputer, saluran internet, dan VoIP Gateway sebagai pengatur lalu-lintas percakapan. Walhasil, balik modalnya pun tergolong cepat.

Menurut cerita Adrie, dia hanya mengeluarkan Rp 300 juta untuk membangun prasarana VoIP dengan delapan saluran telepon. Dari modal sebesar itu, Adrie berhasil menjual 1.600 kartu pengakses dengan harga Rp 250 ribu per unit. ''Balik modalnya saya perkirakan tahun depan, dan setelah itu tingkat keuntungannya diperkirakan sekitar 35 persen," katanya. Hal yang sama juga terjadi di Surabaya. Peter Hariyadi, pemilik PT Ciptavisi Universal, yang digerebek Polwiltabes Surabaya awal Agustus lalu, mengaku sudah punya 4.000 pelanggan dan menjual sekitar 5.000 kartu pengakses dalam waktu setahun. Sedangkan Triyono Sugandi, pemilik Netphone Call, berhasil menggaet 1.700 pelanggan dalam enam bulan. Dan hampir pasti, jika tak digerebek, semuanya akan meraup keuntungan yang tidak kecil.

Tapi, gara-gara maraknya bisnis VoIP tadi ada pihak lain yang buntung, yakni tiga operator telepon jarak jauh seperti Telkom, Indosat, dan Satelindo. Menurut Direktur Pengembangan Indosat, Budi Prasetyo, perusahaannya kehilangan pasar sekitar 2-3 persen. Sementara itu, Satelindo mengaku tak banyak mengalami kerugian akibat VoIP. ''Melihat fluktuasi pendapatan Satelindo yang cuma 1 persen, mestinya kalaupun ada kehilangan pasar, ya, sekitar itu," kata Ade Lukman, Manajer Komunikasi PT Satelindo. Namun, sumber TEMPO mengungkapkan bahwa Indosat dan Satelindo sebenarnya banyak dirugikan, hingga merasa perlu merayu polisi untuk melakukan kegiatan razia.

Sementara itu, Wakil Presiden Komunikasi Telkom, D. Amarudien, mengatakan bahwa perusahaannya dirugikan dalam percakapan SLJJ yang menjadi hak penuh Telkom, dan turunnya nilai porsi pendapatan Telkom yang selama ini kebagian 7,5 persen dari penghasilan sambungan internasional Indosat dan Satelindo. Arya menambahkan bahwa kerugian Telkom tak cuma itu. Jika ada panggilan dari telepon seluler ke nomor telepon biasa melalui VoIP, Telkom sering mendapatkan tagihan interkoneksi. ''Sebaliknya, kita malah enggak dapat apa-apa. Ini yang bikin pusing tujuh keliling," kata Arya, yang rajin mengikuti proses penggerebekan ini.

Bisa jadi, kerugian ketiga operator telepon tadi belum terlalu besar. Terutama karena kualitas suara sambungan melalui penyelenggara VoIP masih rendah (lihat: Apa itu VoIP?). Tapi, mereka memang tidak bisa menganggap enteng. Sebab, perkembangan teknologi VoIP sangat cepat sehingga kualitasnya terus meningkat. Bahkan, bukan tidak mungkin tiga operator telepon yang kini masih dilindungi hak monopoli itu bakal kehilangan pasar dengan cepat sebelum pasar bebas diterapkan pada tahun 2002 (SLJJ) dan 2003 (SLI). Ketua Masyarakat Informasi-Internet Indonesia, Teddy A. Purwadi, mengatakan bahwa VoIP sudah mengambil pangsa pasar percakapan telepon jarak jauh internasional sekitar 20 persen. ''Lima tahun lagi, penguasaan pasarnya mungkin sudah di atas 60 persen," katanya. Dan pemerintah Indonesia juga tak mungkin terus-menerus melarang pemanfaatan VoIP.

Maka, tak ada pilihan lain: pemerintah harus segera memanfaatkan teknologi VoIP dan bukan memeranginya.

M. Taufiqurohman, Maha Adi, Gita L, Jalil Hakim (Surabaya), Rinny S.(Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus