Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANYAK pihak dengan waswas memperkirakan bahwa ekonomi Indonesia kini menggelinding ke arah krisis tahap II. Suara-suara yang membuat masyarakat cemas dan takut itu sudah terdengar sejak sebelum kenaikan harga BBM diberlakukan, Sabtu, 16 Juni silam. Tatkala Presiden Abdurrahman menjanjikan bahwa ia akan menaikkan pendapatan per kapita Indonesia menjadi US$ 5.000 pada tahun 2004?diucapkan dalam pidato di acara Haul Bung Karno, 21 Juni berselang?masyarakat pun terheran-heran. Mengapa? Jangankan menaikkan GNP sebanyak tujuh kali seperti yang ingin dicoba Gus Dur, mempertahankan pendapatan per kapita yang sekarang saja sukarnya bukan main.
Yang kini dikhawatirkan justru adanya malapetaka yang lebih dahsyat. GNP bukannya naik, tapi turun lebih dalam. Lihatlah, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) berdampak luas dan berpeluang menciptakan lingkaran setan baru yang menyebabkan pemerintah sulit keluar dari masalah anggaran. Yang pasti, kenaikan harga BBM punya dampak berantai yang panjang. Biaya produksi dan ongkos transportasi naik sehingga harga barang dan jasa ikut naik. Lalu, inflasi pun melonjak.
Prof. Suhadi Mangkusuwondo dalam Pacific Economic Outlook meramalkan, inflasi tahun ini akan mencapai 14 persen, jauh di atas target semula: 9,3 persen. Tak dapat tidak, nilai rupiah juga semakin goyah. Bisa jadi, nilai tukar rupiah tidak akan pernah menguat lebih dari Rp 11.000 per dolar AS. Angka ini jauh dari angka yang diasumsikan APBN sebesar Rp 9.600 per dolar AS.
Nah, untuk mengamankan rupiah, Bank Indonesia akan lagi-lagi menaikkan suku bunga. Indikasinya sudah terlihat sekarang. Suku bunga SBI untuk jangka satu bulan sudah mencapai 16,55 persen. Jika kendali terhadap inflasi dan nilai tukar rupiah jebol, BI tentu akan lebih mengetatkan bidang moneter. Buntutnya sudah bisa diramalkan sekarang: sektor perbankan akan kembali menghadapi mimpi buruk dan sektor riil akan menunggu giliran berikutnya. Dari sinilah krisis babak II itu akan merebak.
Kecemasan ini agak terasa berlebihan. Tapi, berbagai indikasi yang ada mengacu ke arah sana. Krisis politik sewaktu-waktu bisa meledak, dan masalah keamanan sampai Agustus nanti bisa sangat rentan. Ujung-ujungnya, revisi anggaran yang dilakukan pemerintah dan disetujui DPR Sabtu dua pekan lalu akan sia-sia karena semua asumsinya tak tercapai.
Pemerintah bukannya tak menyadari risiko yang akan dihadapi. Namun, tampaknya memang tak ada alternatif lain untuk menutup defisit kecuali peningkatan harga BBM. Dalam rapat kabinet Kamis lalu, pembahasan terfokus pada dua hal: pelaksanaan revisi anggaran dan dampak kenaikan harga BBM.
Harus diakui, masalah yang dihadapi pemerintah memang tidak ringan. Pembengkakan defisit anggaran terjadi pada dua pos, yakni bunga utang dan subsidi. Pembayaran bunga utang naik dari Rp 76,5 triliun menjadi Rp 89,6 triliun. Urusan ini tak bisa ditawar-tawar. Mengemplang utang luar negeri tak mungkin. Selain itu, bila tidak membayar bunga utang dalam negeri, berarti sama saja dengan membunuh bank-bank rekap yang kebetulan terdiri atas bank-bank pelat merah dan bank-bank besar seperti BCA, Danamon, dan Lippo.
Jadi, tak ada pilihan lain kecuali membongkar subsidi BBM. Akibat tidak tercapainya asumsi kurs rupiah, subsidi BBM membengkak dari Rp 41,3 triliun menjadi Rp 66,8 triliun atau ada penambahan subsidi sekitar Rp 25 triliun Sementara itu, pendapatan dari sektor migas hanya naik sekitar Rp 20 triliun. Artinya, subsidi BBM mutlak harus dikurangi. Apalagi pengeluaran lain seperti pembayaran utang tak bisa diutak-atik. Pemerintah pun bingung karena subsidi ini juga menentukan kelangsungan hidup Pertamina. Tanpa subsidi, BUMN yang memonopoli produksi dan pengadaan BBM ini bakal bangkrut. "Harga pokoknya sudah Rp 3.500 per liter, sementara harga jualnya di bawah itu," kata Dirjen Anggaran Anshari Ritonga. Nah, dengan menaikkan harga BBM, subsidi yang mesti disalurkan tinggal Rp 53,8 triliun.
Apa daya, kebijakan ini tak dilandasi hitung-hitungan yang transparan. Masyarakat tak memperoleh penjelasan yang mudah dipahami perihal struktur biaya pengadaan BBM untuk tiap-tiap jenis BBM. Mereka hanya disodori hasil akhir berupa besarnya angka subsidi dan berapa persen harga BBM harus naik. Kepada TEMPO, bekas Menteri Pertambangan dan Energi, Kuntoro Mangkusubroto?waktu itu masih menjabat sebagai menteri?pernah mengungkapkan ketidaktahuannya mengenai struktur biaya pengadaan BBM ini. Nah, sementara menteri saja bingung, apalagi masyarakat.
Dan lebih celaka lagi, masyarakat hanya bisa menerima?dengan keluh-kesah?kenaikan harga BBM. Dampaknya yang membebani perekonomian mereka juga terpaksa dipikul. Buruh dan pegawai negeri golongan bawah kian menderita. Demikian pula mereka yang tak punya pekerjaan tetap. "Pemerintah menyadari bertambahnya beban masyarakat, tapi pemerintah sudah menghitung semuanya dan kita juga menyediakan dana kompensasi," kata Menteri Perekonomian Burhanuddin Abdullah.
Ternyata, kompensasi itu tak merata. Dana kompensasi Rp 2,2 triliun yang dikucurkan untuk membantu kalangan termiskin agar hidupnya tak semakin parah tampaknya tak akan banyak menolong. Bahkan sebagian uang itu akan masuk kantong pengusaha menengah-bawah. Jadi, pada dasarnya, untuk kenaikan harga BBM itu rakyat tak mendapat kompensasi apa-apa. Anggaran pembangunan sudah lama diciutkan. Bahkan sejak krisis, APBN memang tidak lagi berpihak kepada rakyat.
Sementara pada tahun anggaran 1994/1995 proporsi anggaran pembangunan terhadap total anggaran belanja masih di atas 40 persen, kini merosot tinggal 13 persen. Sebaliknya, jatah anggaran untuk membayar bunga utang dan subsidi terus membesar, terutama bunga utang dalam negeri. Sementara enam tahun silam pembayaran bunga utang dalam negeri tak lebih dari satu persen, kini hampir 18 persen (selengkapnya lihat tabel).
Dengan anggaran pembangunan Rp 45 triliun, apa yang bisa dilakukan pemerintah? Jalan berlubang di mana-mana. Tak ada pembangunan sekolah baru, sedangkan jumlah anak usia sekolah bertambah. Tak ada rumah sakit baru dan berbagai infrastruktur lain seperti jembatan, jalan tol, pelabuhan, atau bandar udara. Semuanya mandek karena dana yang tersedia hanya cukup untuk membiayai pemeliharaan sarana yang ada.
Setelah mencermati dari berbagai sisi, kesimpulannya ialah tak banyak lagi yang bisa diharapkan. Mengharapkan pemerintahan yang bersih juga seperti pungguk merindukan bulan. Birokrasi Indonesia sudah lama bobrok. Bosan kita menyaksikan pengumuman indeks korupsi yang dikeluarkan dua lembaga riset internasional, Political and Economic Risk Consultancy (PERC) dan Transparency International (TI). Setiap kali kedua lembaga internasional itu mengumumkan hasil surveinya, posisi Indonesia tak pernah beranjak dari tiga besar terbawah.
Badan Pemeriksa Keuangan juga terus menggelar temuan yang mengerikan tentang besaran korupsi di elite pemerintahan. Reformasi dan keterbukaan ternyata belum banyak mengubah wajah birokrasi kita. Pengusaha sepatu Anton J. Supit malah menyebutkan, korupsi yang terjadi sekarang jauh lebih vulgar dibandingkan dengan masa lalu. /font> Eksportir sepatu yang lain, Bambang Warih Kusuma, mengungkapkan bahwa pungutan liar masih merajalela. Bekas anggota DPR dari Golkar ini menceritakan betapa tingginya pungutan liar yang harus dibayar oleh eksportir, baik kepada petugas pelabuhan maupun aparat pajak dan bea cukai. Untuk setiap kontainer yang keluar ataupun masuk, mereka harus merogoh sejuta rupiah. "Jika Anda mau melewati prosedur resmi, bisa berbulan-bulan tidak mendapat kontainer," kata Bambang. Prosedur restitusi pajak untuk yang mengimpor bahan baku pun tak mudah. Dia menambahkan, "Kalau mau cepat, paling kita bisa dapat separuh dari restitusi pajak yang kita klaim." Di bagian birokrasi yang lain, kondisinya tak berbeda jauh. Dari mengurus kartu tanda penduduk, akta kelahiran, surat izin mengemudi, surat tanda kendaraan bermotor, sampai mengurus perizinan, masyarakat selalu disodori dua pilihan: jalur resmi atau jalur potong kompas. Kalau lewat jalur resmi, Anda akan menunggu berjam-jam, bahkan berhari-hari. Sebaliknya, kalau jalur tidak resmi, urusan bakal cepat, tapi Anda mesti membayar lebih besar. "Harus diakui, ini sudah menjadi seperti kultur," kata Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Anwar Supriyadi. Diungkapkannya, sudah ada 100 aparat bea cukai yang ditindak, tapi urusan pungli jalan terus. Padahal, kinilah waktunya?ketika subsidi dikurangi dan pajak digenjot?masyarakat memperoleh service yang bermutu dari aparat. Pembangunan boleh tertunda, tapi pelayanan publik yang murah dan cepat seharusnya diutamakan. Untuk itu, tak diperlukan biaya besar. Hanya, hambatannya sangat besar karena, seperti kata Menteri Anwar, korupsi sudah benar-benar membudaya sehingga tak ada seorang pun yang mampu membongkarnya. Maka, alangkah malang rakyat Indonesia, yang diiming-imingi GNP US$ 5.000 pada 2004 tapi kenyataannya terus-menerus diperalat, baik oleh elite politik maupun elite birokrasi. Quo vadis Republik? M. Taufiqurohman, Tomi Lebang, Iwan Setiawan, Setiyardi Subsidi, Pembayaran Utang, dan Anggaran Pembangunan 1994/1995-2001 Tahun Subsidi BBM (Rp Miliar) % Thd. Total Belanja Negara Bunga Utang Dalam Negeri % Thd. Total Belanja Negara Bunga Utang Luar Negeri % Thd. Total Belanja Negara Anggaran Pem- % Thd. Total Belanja Negara Total Belanja Negara 1994/95 686,8 0,9 104,1 0,1 18.298,4 24,5 30.691,7 41,1 74.760,7 1995/96 -- -- 1.619,6 2,0 20.489,0 25,8 28.780,7 36,3 79.215,7 1996/97 1.416,0 1,4 4.589,2 4,6 22.902,0 23,2 35.951,8 36,5 98.512,9 1997/98 9.814,3 8,9 1.627,7 1,5 10.817,6 9,9 38.358,7 35,1 109.301,5 1998/99 28.606,6 16,6 8.384,8 4,8 24.479,5 14,2 55.124,4 31,9 172.669,2 1999/2000 40.923,1 18,6 22.230,9 10,1 20.614,9 9,4 52.616,7 23,9 220.177,1 2000 *) 41.314,0 18,9 35.761,9 16,4 18.086,9 8,3 42.787,1 19,6 217.705,2 2001 **) 53.774,0 15,8 61.174,3 17,9 28.395,4 8,3 45.461,4 13,4 340.325,7
Keterangan:
bangunan
*) Masa berlaku anggaran 2000 hanya 9 bulan.
**) APBN 2001 setelah direvisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo