Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Satrio Budihardjo Joedono:

Ketika masih menjabat sebagai Menteri Perdagangan, Prof. Dr. Satrio Budihardjo Joedono pernah memamerkan tas kulitnya yang sudah butut. Menurut pria kecil bermata jenaka itu, tas kerjanya itu dibeli di Pasar Seni Ancol pada tahun 1980-an. Kini, laki-laki kelahiran Pangkalpinang, 61 tahun silam, itu hampir dua tahun sudah menjadi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Tas kulit yang sudah bluwek dan ada bekas tambalannya itu ternyata masih setia menemani Billy. "Saya sudah beberapa kali membetulkan tas itu ke Laba-Laba (sebuah tempat reparasi tas)," katanya.

24 Juni 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mitos tentang kesederhanaan Satrio Budihardjo Joedono?biasa dipanggil Billy?ini memang sudah lama tersebar. Di masa Soeharto, dia adalah satu-satunya menteri yang tinggal di apartemen sempit di kawasan Radiodalam, Jakarta Selatan, dengan televisi 14 inci dan sebuah sedan tua. Kalaupun sekarang anak Prof. H.R.M. Marsidi Joedono itu tinggal di sebuah rumah besar di Patra Kuningan, Jakarta Selatan, itu karena ketika Billy diberhentikan sebagai Menteri Perdagangan (1995), penggemar cerutu Monte Cresto itu ditawari Pertamina membeli sebuah rumah besar tapi sudah agak rusak dengan harga sekitar setengah miliar rupiah (1996). Mitos lainnya tentang Billy adalah ia pejabat yang lurus dan bersih. Dulu, sebagai Menteri Perdagangan, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) ini menentang monopoli PT Bogasari Flour Mills atas tepung terigu dan praktek Badan Penyangga Perdagangan Cengkeh (BPPC), yang dikuasai Sudono Salim dan Tommy Soeharto. Ketika menjadi Ketua BPK, Billy pernah menolak menyerahkan audit versi panjang (long form) Bank Bali ke DPR karena di dalamnya ada informasi yang dilindungi Undang-Undang Kerahasian Bank?ada alur rekening keluar-masuk dari Bank Bali yang isinya menyangkut nama-nama sejumlah orang penting. "Kita tidak bisa membangun demokrasi dengan melakukan pelanggaran hukum," kata lulusan Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat, ini. Sejak diangkat menjadi Ketua BPK pada September 1999, doktor administrasi publik dari Universitas New York di Albany, AS, ini sudah memberi gereget pada lembaga auditor negara ini. Alhasil, setiap semester, BPK mengeluarkan laporan hasil audit yang menggemparkan karena mencantumkan daftar penyimpangan dan kebocoran. Gebrakan BPK yang terbaru adalah soal audit bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). BPK menerjunkan tim audit ke sejumlah bank penerima BLBI untuk melakukan audit investigasi tentang siapa yang terlibat dan apa modus atas kesalahan yang terjadi. BPK juga telah memeriksa sejumlah pejabat di BI yang telah memberikan dana BLBI kepada bank-bank swasta. Hasilnya mencengangkan. Dari total dana BLBI yang mengucur, yaitu Rp 144,5 triliun, hanya 9,5 persen atau Rp 12,2 triliun yang jelas jaminannya. Banyak pihak yang kagum atas kerja Billy di BPK. Tapi, menurut dia, pujian itu berlebihan. Inilah wawancara lengkap Leanika Tanjung dan fotografer Bernard Chaniago dari TEMPO dengan Billy, selama dua jam, di ruang kerjanya di lantai 9 Gedung BPK, Jakarta.
Bagaimana modus penggelapan BLBI? Apakah BPK menemukan keterlibatan pejabat BI? Itu urusan polisi. Kita memang menemukan ada pinjaman yang berjaminan, tapi nilai jaminan utang itu berbeda antara BI dan BPPN. Penilaian BPPN lebih kecil dibandingkan dengan penilaian BI. Dari penelusuran, kita ambil kesimpulan bahwa BI dan BPPN belum pernah bertemu untuk menentukan aset-aset bank bermasalah dengan BLBI. Sebenarnya bagaimana BPK menentukan apa dan lembaga mana yang akan diaudit? Sekarang, kita memang sudah independen karena kita menentukan sendiri lembaga-lembaga yang akan diperiksa. Ada sebuah rapat yang dihadiri ketua, wakil ketua, dan lima anggota. Kita berembuk membicarakan lembaga apa saja yang akan kita periksa dalam setahun ke depan. Kita masing-masing memang punya pendapat. Apa yang akan kita putuskan untuk diaudit dipengaruhi oleh informasi dari luar, bisa dari DPR, wartawan, atau masyarakat luas. Apa pun yang kita putuskan harus memenuhi harapan masyarakat dan DPR. Lalu, apakah BPK masih kesulitan mendapat informasi rahasia seperti rekening bank dan pajak? Untuk mendapat informasi-informasi itu, kita masih kesulitan. Kita sebenarnya tidak menentang Undang-Undang Kerahasiaan Bank karena itu memang sangat perlu. Saya kira tidak ada masalah dengan Undang-Undang Perbankan karena sudah sangat jelas bank punya hak melindungi nasabahnya, kecuali diminta oleh BI, kejaksaan, dan kepolisian. Apabila diperlukan, kita bisa minta bantuan kepada pihak-pihak yang berhak seperti di atas. Saya rasa kita jangan diberi kekuasaan yang berlebihan, karena itu tidak baik. Mengenai hasil audit di yayasan TNI, seberapa amburadul sebenarnya mereka? Itu juga masih belum kita ketahui dengan pasti karena yayasan itu bertujuan menyejahterakan prajurit. Kita pernah melakukan survei, membandingkan kegiatan yang dilakukan dengan akta pendirian. Memang ada yang enggak cocok. Intinya, kita hanya ingin memastikan apakah mereka bekerja sesuai dengan tujuan, yaitu menyejahterakan para prajurit. Seberapa parah ketidakcocokannya? Di dalam terminologi auditor, tidak ada istilah parah atau tidak. Tapi, mengenai persentase penyimpangannya, saya belum bisa mengatakan. Bagaimana dengan dana nonbujeter? Itu masih sulit ditembus. Memang pernah ada usaha pemerintah untuk mengetahui rekening apa saja yang ada, apa saja yang menyimpang, tapi kita belum yakin apakah inventarisasi itu sudah lengkap. Apa upaya BPK membuat dana nonbujeter transparan? Kita mengikuti saja apa yang dilakukan pemerintah. Sebab, itu memang urusan pemerintah untuk mengatur keuangan negara dan menjadikan keuangan negara transparan. Ketika BPK masuk ke suatu departemen untuk mengaudit, apakah aksesnya sulit? Ya, tergantung auditornya. Terkadang gampang, kadang juga sulit. Pengalaman selama ini bervariasi. Memang tidak semua instansi menyambut gembira ketika diaudit. Wajar saja, siapa sih yang senang diperiksa-periksa? Sebetulnya, semuanya bisa mudah karena setiap lembaga pasti membutuhkan uang dan menggunakan uang itu untuk beroperasi. Misalkan rumah sakit, lembaga penelitian, universitas, atau penjara, mereka kan perlu uang untuk beroperasi. Yang diperlukan adalah peraturan yang masuk akal supaya lembaga terbuka untuk membelanjakannya, mengelola, dan melaporkan keuangan, sehingga tidak ada motivasi untuk menyembunyikan. Soal Bank Bali, mengapa Anda tidak bersedia memberikan hasil audit yang "long form" ke DPR? Kita sebenarnya hanya bekerja atas dasar undang-undang. Sebab, ada yang boleh kita lakukan, dan ada yang tidak boleh. Yang tidak boleh kita lakukan adalah menyalahgunakan informasi yang kita peroleh. Sebab, itu ada ancaman hukumannya. Nah, dalam informasi dari Pricewaterhouse Cooper yang diperoleh atas nama BPK, memang terkandung hal-hal yang seharusnya di-rahasiakan karena berisi informasi tentang rekening orang yang di-lindungi Undang-Undang Perbankan. Informasinya menyebutkan bahwa pada tanggal tertentu telah masuk uang dari rekening tertentu, yang mungkin berasal dari rekening lainnya yang mencurigakan. Lalu, mau diapakan informasi itu, ya, kita kasih saja ke polisi. Jadi, BPK memang wajib memberitahukan hasil pemeriksaan ke DPR. Tapi, jika hasil pemeriksaan menunjukkan adanya dugaan tindak pidana, kita memberikan hasil pemeriksaan itu juga ke kejaksaan atau kepolisian. Jadi, long form Bank Bali tidak diberikan ke DPR? Memang pada akhirnya kita juga memberikannya ke DPR. Setelah ribut-ribut itu, saya menyerahkan long form ke DPR. Bagaimana penggunaannya, saya juga tidak tahu. Padahal waktu itu sudah ribut-ribut, tapi kemudian tidak jelas gunanya. Mengapa sering kali hasil temuan BPK tidak ditindaklanjuti kejaksaan atau kepolisian? Begini, apa yang disebut auditor sebagai penyimpangan atau temuan itu belum tentu bergulir menjadi pelanggaran atau tindak pidana. Memang masih ada hal yang perlu dijembatani agar temuan auditor bisa dikembangkan menjadi dakwaan jaksa. Tidak mudah melangkah dari temuan audit menjadi tuntutan jaksa. Ini bukan langkah yang gampang karena harus mencarikan tatanannya dan aturannya. Ada unsur-unsur pembuktian yang harus dipenuhi, dan ini bukan pekerjaan mudah. Ketika baru diangkat menjadi Ketua BPK, Anda bertekad mengubah BPK. Bagaimana hasilnya? Sebetulnya ini soal kemauan dan leadership. Sebetulnya apa yang saya lakukan itu tidak terlalu hebat, semua orang juga bisa melakukannya kalau mau. Kalau kita ingin melakukan reformasi, ya, tidak ada hal yang aneh. Sebab, sebenarnya peraturannya sudah ada, tinggal kita mau melaksanakannya atau tidak. Dulu, di bawah Soeharto, kita memiliki sistem presidensial yang eksekutifnya kuat tapi DPR-nya tidak berdaya. Nah, sekarang kita menginginkan eksekutif dan DPR kuat, tempat keduanya tidak bisa saling menjatuhkan. Tapi DPR bisa meminta MPR mengeluarkan tindakan korektif terhadap presiden. Fungsi BPK dalam hal ini membantu memperkuat DPR melaksanakan fungsi pengawasannya. Jadi, kedudukan BPK sekarang jauh lebih bermakna? Situasi memang sudah berubah ketika saya datang ke BPK. Habibie sangat berbeda dengan Soeharto dalam visinya tentang sistem tata negara. Dia (Habibie) melihat BPK sebagai lembaga tinggi yang se-taraf dengan eksekutif, sedangkan Soeharto tidak. Apakah sumber daya manusia di BPK juga siap untuk peran BPK yang lebih signifikan? SDM-nya sebenarnya sudah ada. Dari dulu BPK sebenarnya sudah bekerja, tapi banyak hambatan. Laporannya sering tidak ditindaklanjuti. Tapi, laporan BPK sekarang lebih diperhatikan orang. Pada intinya, sumber daya manusia yang ada harus diperkuat dan diberi kesempatan mengerjakan pekerjaannya sebaik mungkin. Mereka diberi kesempatan berkarya sehingga bisa merasa puas dengan hasil kerja mereka sebagai profesional. Dan untuk itu diperlukan sedikit perubahan dari dalam. Misalnya, saya mengajak teman-teman di BPK untuk lebih menekankan jalur advokasi daripada jalur hierarki struktural. Sebab, pekerjaan seperti yang kita lakukan itu tidak bisa dijalankan bila terlalu banyak diatur. Yang penting kan hasil kerjanya. Bisakah suatu saat BPK menjadi auditor independen setaraf dengan auditor negara maju lainnya? Mungkin yang patut kita contoh adalah badan audit nasional di negara modern, seperti Prancis dan Belanda, yang mempunyai wibawa karena hasil kerjanya, bukan karena berkuasa. Kekuatan BPK memang bukan dalam memaksa. Auditor adalah orang yang melihat keadaan dan melaporkan apa yang dia lihat. Kekuatannya adalah kekuatan moral dalam mencari kebenaran. Untuk itu, kita dituntut bekerja lebih profesional. Tapi semuanya bergantung pada kemauan kita. Mau jahat bisa, mau enggak jujur bisa. Anda diberhentikan sebagai Menteri Perdagangan karena Presiden Soeharto tidak cocok dengan arah kebijakan Anda yang antimonopoli? Begini, saya pernah melayani banyak orang terkemuka, seperti Ali Wardhana, Widjojo Nitisastro, Sumitro Djojohadikusumo, Habibie, dan Soeharto. Di antara semua orang itu, Pak Harto adalah atasan yang sangat baik, pintar, tegas, dan menghargai orang. Kita benar-benar dipacu untuk bekerja lebih keras. Ingatannya kuat dan tingkat intelijennya tinggi. Waktu saya jadi menteri, beliau sudah bertahun-tahun jadi presiden, sehingga sudah sangat mengetahui persoalan perdagangan. Tapi, dalam perjalanan, akhirnya kami tidak cocok. Kebijakan beliau tidak pas. Saya tidak cocok dengan skenario beliau. Karena beliau itu presiden dan saya menterinya, beliau mengatakan, "Sorry, kita enggak cocok." Lalu, dicari alasan penggabungan departemen. Kami saling menghargai. Sebagai atasan, Soeharto itu susah dibantah. Bagaimana BPK ke depan? Saya sangat risau dengan yang namanya korupsi. Kita independen, tapi BPK yang independen bukan BPK yang buta, tuli, dan tidak mau mendengar. Kita independen, tapi tetap menampung pendapat orang sehingga kita mengikuti kehendak masyarakat. Untuk masa yang akan datang, kita akan terus memburu masalah-masalah korupsi. Kita sengaja akan memilih sasaran audit yang menurut informasi yang kita dapat ada korupsi di dalamnya. Yang pasti, kontribusi BPK bagi masyarakat luas harus jelas. Kita tidak perlu muluk-muluk karena keadaan kita cukup parah. Bahwa dengan melaksanakan tugas dengan baik itu sudah dianggap perbaikan, sebetulnya ini menyedihkan. Banyak orang kagum pada BPK. Saya tidak bangga, malah sedih, karena sekadar melaksanakan tugas kok sudah dihargai orang. Apa pengalaman paling berkesan selama menjadi Ketua BPK? Salah satu pengalaman yang sangat berkesan adalah, ketika baru saja dilantik, saya keliling-keliling daerah. Ketika datang ke sebuah masjid megah di Makassar, ada orang yang menepuk bahu saya dari belakang sambil berkata: "Pak Billy, tolong jaga uang negara, ya." Ucapan itu menjadi semangat bagi pribadi saya, sebuah ungkapan kepercayaan. Harapan masyarakat sebenarnya tidak muluk-muluk. Mereka tidak mengatakan Bapak harus melakukan ini-itu, mempunyai strategi ini-itu, tapi hanya meminta tolong agar saya menjaga uang negara. Apakah ketika Anda menjadi Ketua BPK masih ada orang yang berusaha memberikan upeti? Tidak. Begini, ya, saya ini sebenarnya anak orang kaya. Bapak saya seorang dokter dengan dua anak, saya dan kakak saya. Jadi, ketika bapak saya melihat kami bekerja dengan gaji tak seberapa, dia sering memberi uang kepada saya, yang kemudian saya tabung. Lama-kelamaan uang saya jadi banyak karena bisa dibilang saya agak kikir juga. Bapak saya kaya, tapi dia mengajarkan kami untuk tidak mengejar barang-barang (harta). Membeli sepatu saja (sambil memperlihatkan sepatunya yang berwarna hitam), saya tidak memilih yang mahal-mahal. Saya punya langganan toko sepatu di Pasarbaru sejak SMA, dan saya terbiasa memakai barang sampai rusak (Ia menunjukkan tas kulit berwarna cokelat kekuningan yang sudah sangat butut. Di ujung atas, jahitannya sudah ada yang terlepas.) Lagi pula, ketika saya menjadi pejabat, pengeluaran cenderung tidak banyak karena banyak yang dibayar kantor sehingga tabungan saya makin banyak saja, ha-ha-ha. Apa yang Anda lakukan di waktu senggang? Saya memang kurang berolahraga, tapi setiap minggu saya suka jalan kaki. Rumah saya kan di Patra Kuningan. Saya suka jalan dari Patra Kuningan ke Rasuna Said, lalu ke Casablanca, kemudian Sudirman dan Dukuh Atas, lalu balik ke Patra lagi. Itu saya lakukan selama dua jam, sendirian setiap hari Minggu. Bagaimana ceritanya bisa berumah di Patra Kuningan? Itu kan daerah sangat mahal? Saya mendapat rumah itu waktu saya diberhentikan dari Departemen Perdagangan. Kan saya harus keluar dari rumah dinas di Widya Candra dalam tempo tiga bulan. Sedangkan saya tidak bisa kembali ke apartemen saya di Radiodalam karena selama menjadi menteri, apartemen itu jadi tidak terurus hingga rusak. Tapi saya tetap harus pindah. Waktu itu ada orang Pertamina bilang, ada rumah-rumah besar tapi kosong, yang ditawarkan kepada saya. Waktu itu saya tidak menjabat. Jadi, uangnya bukan dari fasilitas kantor. Saya ambil karena ditawarkan dengan harga murah. Harganya (tahun 1996) tidak mencapai setengah miliar rupiah. Tapi karena rumah itu juga lama tidak dihuni, kondisinya juga rusak. Banyak orang mengatakan, Bapak nyentrik dan ceplas-ceplos? Mungkin ya, atau tidak. Tapi saya memang punya ciri khas. Dulu Bapak memajang cek pemberian orang. Benar? Ya, tapi jumlahnya tidak banyak, karena ketika orang yang memberinya mengetahui cek itu tidak saya cash-kan ke bank, dan juga mungkin karena mendengar cerita bahwa saya menolak uang yang diberikan secara cash, pihak-pihak yang ingin memberi akhirnya berhenti. Jadi, jumlahnya tidak sempat banyak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus