Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perdagangan (Mendag) Agus Suparmanto menetapkan harga patokan ekspor (HPE) untuk produk kayu olahan meranti. Penetapan ini dilakukan setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberlakukan pungutan ekspor untuk ekspor kayu meranti dimensi tertentu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 25 Oktober 2020," demikian tertulis dalam Permendag Nomor 86 Tahun 2020 yang diteken Agus pada Jumat, 23 Oktober 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dalam aturan yang lama, Permendag 75 Tahun 2020, hanya ada HPE untuk kayu olahan meranti dimensi pertama (1000 mm2 sampai 4000 mm2) yaitu US$ 700 per meter kubik. Untuk dimensi lebih besar dari itu, tidak ada penetapan HPE.
Lewat aturan baru, Agus menetapkan HPE untuk kayu olahan meranti dengan dimensi kedua (4000 mm2 sampai 10 ribu mm2). Lalu, dimensi ketiga (10 ribu mm2 sampai 15 ribu mm2). Besaran HPE yaitu US$ 700 per meter kubik untuk meranti putih dan US$ 500 per meter kubik untuk meranti kuning.
Sebelumnya, Sri Mulyani telah menetapkan sejumlah aturan baru soal ekspor kayu pada hari yang sama, 23 Oktober 2020. Keputusan ini tertuang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 166/PMK.010/2020.
Beberapa perubahan tersebut yaitu pertama, mengenakan pungutan ekspor atau bea keluar untuk kayu olahan meranti pada deminsi kedua dan ketiga. Masing-masing 10 persen dan 15 persen.
Kemudian, Sri Mulyani juga memangkas pungutan ekspor veneer kayu, dari semula 15 persen menjadi 5 persen. Pemangkasan ini terjadi setelah sebelumnya ada permintaan dari Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) yang bisnis merek terdampak pandemi Covid-19.
Februari 2020, pengurus bidang pemasaran dan hubungan internasional Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) Gunawan Salim mengatakan pihaknya sedang menunggu insentif dari pemerintah, salah satunya realisasi penurunan tarif ekspor veneer dari 15 persen menjadi 5 persen.
Sebab, kata dia, pandemi ini telah membuat sejumlah aktivitas perjalanan dan logistik terganggu. Padahal, 80 sampai 90 persen hasil produksi nasional ditujukan untuk pasar global. "Kami masih menunggu perkembangan dari efek virus ini," kata dia.
FAJAR PEBRIANTO | BISNIS