Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengalah untuk si kecil

Harga telur ayam negeri anjlok. peternak-peternak besar di tuduh sebagai biangnya karena melakukan korting harga. untuk menanggulangi hal tersebut. pemerintah membujuk peternak raksasa mengurangi suplai. (eb)

12 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RIUH rendah soal anjloknya harga telur ayam negeri awal bulan ini masih terdengar. Kalangan bisnis peternakan ayam menganggap tak pernah harga telur jatuh sehebat kali ini. Para peternak besar dengan kapasitas ayam petelur 100.000 sampai 300.000 kabarnya melepas dengan harga pokok Rp 600/kg. Padahal pada bulan Agustus, yang berbarengan dengan Lebaran, harga jual mencapai Rp 1.100. Bagi para petemak yang efisiensi usahanya rendah, keadaan itu rupanya telah memaksa mereka berpikir untuk menutup usaha. Dari Cirebon wartawan TEMPO, Dedy Iskandar dan Aris Amiris melaporkan tentang "bunuh diri" yang dilakukan para peternak di sana. Untuk menutup kerugian akibat jatuhnya harga, Moch. Yusuf, seorang pensiunan kepala sekolah SMP di Cirebon menjual ayamnya yang berjumlah 1.650 ekor. Termasuk anak ayam yang masih berumur 3 bulan. Tetapi usahanya untuk lepas dari tagihan utang masih belum juga berhasil dengan jalan begitu. "Saya terpaksa menombok untuk membayar kredit Bimas sebesar Rp 2.250. 000 katanya. Ada yang menganggap jatuhnya harga itu sebagai kejadian rutin saban tahun setelah Lebaran. "Pola konsumsi belum normal. Di samping itu, setelah Lebaran mulai pula tahun ajaran baru yang tentunya membutuhkan banyak biaya. Ini mengakibatkan daya beli merosot," kata Soepartono Brotosoehendro, direktur PT Kandang Biru, sebuah perusahaan peternakan di Tangerang yang memiliki 300.000 ayam petelur. Tetapi para peternak kecil yang menderita paling parah dari situasi pasar itu rupanya berpendapat lain. Adalah M. Ali Abubakar, seorang pembantu khusus Sekjen DPP Perhimpunan PerUnggasan Indonesia (PPUI) yang menuduh peternak-peternak raksasa yang melakukan banting harga Rp 600. "Peternak-peternak kecil, dengan modal ayam petelur di bawah seribu ekor pasti tidak akan bisa berkutik dalam menghadapi persaingan dengan harga gila itu. Dan dalam waktu 2 bulan mereka akan menutup usahanya karena tidak mungkin bisa membeli ayatn petelur lagi," katanya. Keterangannya itu dia berikan kepada para wartawan, setelah melakukan peninjauan kliling ke peternakan kecil-kecilan yang tersebar di Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jakarta. Setelah ucapan Abubakar itu dimuat sebagai berita utama di berbagai media massa harga telur teup kendur. Malahan "begitu ada koran bilang harga Rp 600 pasaran langsung sepi," cerita seorang pedagang grosir di Pasar Jatinegara, Jakarta. "Bayangkan," kata pedagang Tionghoa yang membeli langsung dari petemak besar itu, "saya ambil dari peternak besar Rp 725 dan biasa saya jual Rp 775. Tapi karena pasaran sepi malahan saya jual Rp 700 saja. Tidak cepat dijual bisa rugi tambah banyak. Hawa panas begini membikin telur tak sampai seminggu sudah busuk." Secara lokal di Pasar Jatinegara, salah satu pusat penyaluran telur di Jakarta, jatuhnya harga dimulai sejak akhir Agustus. Untuk memenuhi kebutuhan ke pasar itu saban hari turun telur dari Kediri sebanyak lima truk. Begitu pasaran sudah mulai melemah, suplai dari Jawa Timur itu tetap saja datang. "Daripada dibawa pulang ke Kediri, ya dijual dengan harga bantingan," kata pedagang yang saban hari memperdagangkan sekitar 50.000 butir telur itu . . . Telur Kediri itu hanya laku Rp 575/kg. Akibatnya harga telur yang datang menyusul, sekalipun itu dari peternak raksasa yang berkandang di daerah Bogor, Tangerang dan Bekasi terpaksa ikut-ikutan turun. Pemerintah yang menganggap bidang petemakan ini bidang yang seharusnya digarap oleh petemak kecil rupanya melihat persoalan telur itu cukup mendesak untuk segera diatasi. Menteri Perdagangan dan Koperasi Radius Prawiro segera membawa masuk masalah lesunya harga telur itu ke dalam Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekuin tanggal 3 September. Seusai sidang Mensesneg Sudharrnono mengatakan Presiden memerintahkan instansi seperti Departemen Pertanian, BKPM dan Bulog untuk bertindak "mencegah perbuatan para peternak besar yang merugikan peternak kecil". Kepala negara juga meminta supaya harga segera dibikin normal kembali, dengan memperhitungkan harga pokok telur, termasuk harga makanannya. Peternak besar hanya diperbolehkan memproduksi ayam bibit dan bukan telur konsumsi. Kalau keputusan Presiden itu berjalan, diperhitungkan harga telur akan bisa naik kembali ke sekitar Rp 1.000/kg. Sebab buat peternak kecil di bawah 5.000 ekor, mereka baru bisa untung kalau ratio harga makanan ayam dengan harga telr adalah 1:5. Artinya kalau harga sekilo makanan yang mereka beli Rp 200/kg maka harga jual paling tidak Rp 1.000. Pemerintah nampaknya sependapat dengan peternak kecil yang menuding bahwa peternak raksasalah yang mengakibatkan guncangnya harga sekarang ini Tujuan pemerataan tampaknya melatarbelakangi sikap pemerintah ini. Untuk memberikan kesempatan luas bagi peternak kecil yang ribuan jumlahny itu, Menteri Pertanian akan mengeluarkan surat keputusan untuk membatasi pemilikan ayam petelur sampai 5.000 ekor saja. Langkah Darurat Para peternak besar yang diperkirakan memiliki bagian terbesar (70%) dari sekitar 5 juta ayam nampaknya harus mengalah. Dalam sebuah pertemuan antara Menteri Muda Koperasi/Ka Bulog Bustanil Arifin mereka setuju untuk mengurangi suplai mereka. Sejak 8 September para peternak yang memiliki ayam 25.000 sampai 74.000 mengurangi suplai telur sebesar 10%. Yang 75.000 sampai 99.000 mengurangi 15%. Sedangkan yang memiliki ayam petelur di atas 100.000 akan mengurangi suplai telur ke pasar sebesar 25%. Ada yang beranggapan langkah pemerintah "membujuk" peternak raksasa mengurangi suplai dan membatasi pemilikan ayam petelur sebagai langkah darurat. Di arena kontes ternak 1981 yang berlangsung selama tiga hari sampai tanggal 8 September, seorang pejabat yang banyak berhubungan dengan produksi telur ayam negeri, menyebutkan bahwa pemerintah selama ini "lalai dalam menangani masalah tata niaganya." Perhatian Departemen Pertanian menurut sumber itu hanya tertuju pada peningkatan produksi, tetapi kurang memberi perhatian pada masalah pemasaran. "Hingga terjadilah keadaan over produksi yang semu," katanya di tengah gendang ludruk dan orkes yang memeriahkan kontes yang berlangsung di Cipanas, Jawa Barat. Maksudnya kelihatannya saja over produksi. Sebab kebutuhan yang ditargetkan pemerintah 44 butir/bulan/kapita sedangkan yang dicapai sekarang baru untuk kebutuhan 20 butir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus