RIUH rendah soal anjloknya harga telur ayam negeri awal bulan
ini masih terdengar. Kalangan bisnis peternakan ayam menganggap
tak pernah harga telur jatuh sehebat kali ini. Para peternak
besar dengan kapasitas ayam petelur 100.000 sampai 300.000
kabarnya melepas dengan harga pokok Rp 600/kg. Padahal pada
bulan Agustus, yang berbarengan dengan Lebaran, harga jual
mencapai Rp 1.100.
Bagi para petemak yang efisiensi usahanya rendah, keadaan itu
rupanya telah memaksa mereka berpikir untuk menutup usaha. Dari
Cirebon wartawan TEMPO, Dedy Iskandar dan Aris Amiris melaporkan
tentang "bunuh diri" yang dilakukan para peternak di sana.
Untuk menutup kerugian akibat jatuhnya harga, Moch. Yusuf,
seorang pensiunan kepala sekolah SMP di Cirebon menjual ayamnya
yang berjumlah 1.650 ekor. Termasuk anak ayam yang masih berumur
3 bulan. Tetapi usahanya untuk lepas dari tagihan utang masih
belum juga berhasil dengan jalan begitu. "Saya terpaksa menombok
untuk membayar kredit Bimas sebesar Rp 2.250. 000 katanya.
Ada yang menganggap jatuhnya harga itu sebagai kejadian rutin
saban tahun setelah Lebaran. "Pola konsumsi belum normal. Di
samping itu, setelah Lebaran mulai pula tahun ajaran baru yang
tentunya membutuhkan banyak biaya. Ini mengakibatkan daya beli
merosot," kata Soepartono Brotosoehendro, direktur PT Kandang
Biru, sebuah perusahaan peternakan di Tangerang yang memiliki
300.000 ayam petelur.
Tetapi para peternak kecil yang menderita paling parah dari
situasi pasar itu rupanya berpendapat lain. Adalah M. Ali
Abubakar, seorang pembantu khusus Sekjen DPP Perhimpunan
PerUnggasan Indonesia (PPUI) yang menuduh peternak-peternak
raksasa yang melakukan banting harga Rp 600. "Peternak-peternak
kecil, dengan modal ayam petelur di bawah seribu ekor pasti
tidak akan bisa berkutik dalam menghadapi persaingan dengan
harga gila itu. Dan dalam waktu 2 bulan mereka akan menutup
usahanya karena tidak mungkin bisa membeli ayatn petelur lagi,"
katanya. Keterangannya itu dia berikan kepada para wartawan,
setelah melakukan peninjauan kliling ke peternakan
kecil-kecilan yang tersebar di Jawa Tengah, Jawa Barat dan
Jakarta.
Setelah ucapan Abubakar itu dimuat sebagai berita utama di
berbagai media massa harga telur teup kendur. Malahan "begitu
ada koran bilang harga Rp 600 pasaran langsung sepi," cerita
seorang pedagang grosir di Pasar Jatinegara, Jakarta.
"Bayangkan," kata pedagang Tionghoa yang membeli langsung dari
petemak besar itu, "saya ambil dari peternak besar Rp 725 dan
biasa saya jual Rp 775. Tapi karena pasaran sepi malahan saya
jual Rp 700 saja. Tidak cepat dijual bisa rugi tambah banyak.
Hawa panas begini membikin telur tak sampai seminggu sudah
busuk."
Secara lokal di Pasar Jatinegara, salah satu pusat penyaluran
telur di Jakarta, jatuhnya harga dimulai sejak akhir Agustus.
Untuk memenuhi kebutuhan ke pasar itu saban hari turun telur
dari Kediri sebanyak lima truk. Begitu pasaran sudah mulai
melemah, suplai dari Jawa Timur itu tetap saja datang. "Daripada
dibawa pulang ke Kediri, ya dijual dengan harga bantingan," kata
pedagang yang saban hari memperdagangkan sekitar 50.000 butir
telur itu . . . Telur Kediri itu hanya laku Rp 575/kg. Akibatnya
harga telur yang datang menyusul, sekalipun itu dari peternak
raksasa yang berkandang di daerah Bogor, Tangerang dan Bekasi
terpaksa ikut-ikutan turun.
Pemerintah yang menganggap bidang petemakan ini bidang yang
seharusnya digarap oleh petemak kecil rupanya melihat persoalan
telur itu cukup mendesak untuk segera diatasi. Menteri
Perdagangan dan Koperasi Radius Prawiro segera membawa masuk
masalah lesunya harga telur itu ke dalam Sidang Kabinet Terbatas
Bidang Ekuin tanggal 3 September.
Seusai sidang Mensesneg Sudharrnono mengatakan Presiden
memerintahkan instansi seperti Departemen Pertanian, BKPM dan
Bulog untuk bertindak "mencegah perbuatan para peternak besar
yang merugikan peternak kecil". Kepala negara juga meminta
supaya harga segera dibikin normal kembali, dengan
memperhitungkan harga pokok telur, termasuk harga makanannya.
Peternak besar hanya diperbolehkan memproduksi ayam bibit dan
bukan telur konsumsi.
Kalau keputusan Presiden itu berjalan, diperhitungkan harga
telur akan bisa naik kembali ke sekitar Rp 1.000/kg. Sebab buat
peternak kecil di bawah 5.000 ekor, mereka baru bisa untung
kalau ratio harga makanan ayam dengan harga telr adalah 1:5.
Artinya kalau harga sekilo makanan yang mereka beli Rp 200/kg
maka harga jual paling tidak Rp 1.000.
Pemerintah nampaknya sependapat dengan peternak kecil yang
menuding bahwa peternak raksasalah yang mengakibatkan guncangnya
harga sekarang ini Tujuan pemerataan tampaknya melatarbelakangi
sikap pemerintah ini. Untuk memberikan kesempatan luas bagi
peternak kecil yang ribuan jumlahny itu, Menteri Pertanian akan
mengeluarkan surat keputusan untuk membatasi pemilikan ayam
petelur sampai 5.000 ekor saja.
Langkah Darurat
Para peternak besar yang diperkirakan memiliki bagian terbesar
(70%) dari sekitar 5 juta ayam nampaknya harus mengalah. Dalam
sebuah pertemuan antara Menteri Muda Koperasi/Ka Bulog Bustanil
Arifin mereka setuju untuk mengurangi suplai mereka. Sejak 8
September para peternak yang memiliki ayam 25.000 sampai 74.000
mengurangi suplai telur sebesar 10%. Yang 75.000 sampai 99.000
mengurangi 15%. Sedangkan yang memiliki ayam petelur di atas
100.000 akan mengurangi suplai telur ke pasar sebesar 25%.
Ada yang beranggapan langkah pemerintah "membujuk" peternak
raksasa mengurangi suplai dan membatasi pemilikan ayam petelur
sebagai langkah darurat. Di arena kontes ternak 1981 yang
berlangsung selama tiga hari sampai tanggal 8 September, seorang
pejabat yang banyak berhubungan dengan produksi telur ayam
negeri, menyebutkan bahwa pemerintah selama ini "lalai dalam
menangani masalah tata niaganya."
Perhatian Departemen Pertanian menurut sumber itu hanya tertuju
pada peningkatan produksi, tetapi kurang memberi perhatian pada
masalah pemasaran. "Hingga terjadilah keadaan over produksi yang
semu," katanya di tengah gendang ludruk dan orkes yang
memeriahkan kontes yang berlangsung di Cipanas, Jawa Barat.
Maksudnya kelihatannya saja over produksi. Sebab kebutuhan yang
ditargetkan pemerintah 44 butir/bulan/kapita sedangkan yang
dicapai sekarang baru untuk kebutuhan 20 butir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini