Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Undang-Undang Cipta Kerja tak lagi memuat pasal pembentukan BUMN Khusus sebagai pengganti SKK Migas.
Pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi menunggu rencana revisi lengkap Undang-Undang Migas pada 2021.
RENCANA pendirian lembaga baru sebagai pengganti Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) urung terlaksana. Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah mengeluarkan rumusan pasal baru dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang semula menerangkan pembentukan badan usaha milik negara khusus sebagai lengan baru pemerintah dalam pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas. “Kluster migas masih tetap mengacu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001,” ucap Menteri Energi Arifin Tasrif saat memaparkan isi omnibus law itu, Rabu, 7 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepastian mengenai batalnya pembentukan BUMN khusus sebagai pengganti SKK Migas baru muncul setelah naskah final Undang-Undang Cipta Kerja diserahkan kepada Presiden Joko Widodo, Rabu, 14 Oktober lalu. Dalam draf akhir setebal 812 halaman ini, tak ada lagi rumusan pasal 4A, tambahan pasal pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Rancangan pasal itu awalnya berisi ketentuan bahwa kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Disebutkan pula pemerintah pusat sebagai pemegang kuasa pertambangan dapat membentuk atau menugasi BUMN khusus sebagai pelaksana kegiatan hulu migas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun draf omnibus law yang telah disahkan hanya merevisi beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Migas. Skema kegiatan usaha minyak dan gas, misalnya, diubah dari semula berupa kontrak bagi hasil (production sharing contract) menjadi rezim perizinan.
Semula, rencana pengaturan ulang tentang pelaksana kegiatan usaha hulu migas disiapkan dalam omnibus law untuk menjawab putusan Mahkamah Konstitusi pada 2012. Kala itu, hakim konstitusi menyatakan pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas melalui Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas)—seperti diatur dalam Undang-Undang Migas—bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Walhasil, BP Migas dibubarkan pada 13 November 2012.
MK menyatakan fungsi dan tugas BP Migas diambil alih pemerintah lewat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sampai ada undang-undang baru yang mengatur hal tersebut. Kementerian Energi kemudian membentuk SKK Migas untuk menjalankan fungsi itu. Kini, hampir delapan tahun sejak MK mengetukkan palu, regulasi tentang lembaga baru belum disusun. Rencana lama merevisi Undang-Undang Migas pun terbengkalai.
Menurut Wakil Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat Eddy Soeparno, DPR mendorong agar ketentuan tentang lembaga pelaksana kegiatan usaha hulu migas dibahas dalam revisi Undang-Undang Migas. Revisi menyeluruh, kata dia, diperlukan lantaran ada perubahan status rezim kontrak kerja sama menjadi perizinan usaha.
Eddy menambahkan, perubahan regulasi lewat revisi Undang-Undang Migas juga penting untuk menjawab persoalan terus merosotnya lifting migas, seperti terjadi di Blok Rokan, yang pengelolaannya akan beralih ke PT Pertamina (Persero) pada 2021. Di sisi lain, banyak pemain besar migas berencana bereksodus dari industri migas Indonesia. “Shell akan keluar dari Blok Masela, Chevron dari proyek Indonesia Deepwater Development,” tutur anggota Fraksi Partai Amanat Nasional tersebut. “Kami mengantisipasinya. Karena itu, perlu segera dilakukan amendemen Undang-Undang Migas.”
Rencananya, DPR segera membahas revisi Undang-Undang Migas setelah pembahasan perubahan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (EBT) rampung. Wet EBT, yang merupakan bagian dari Program Legislasi Nasional Prioritas 2020, ditargetkan bisa disahkan pada awal 2021.
Gagasan membentuk BUMN khusus sebagai pelaksana kegiatan usaha hulu migas telah tercetus dalam pembahasan draf omnibus law di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian pada Desember 2019. Pemerintah punya opsi lain, yakni menunjuk PT Pertamina sebagai pelaksana.
Tapi permintaan menarik rumusan pasal BUMN khusus pelaksana kegiatan usaha hulu migas justru datang dari Kementerian Energi. Pada 9 Januari lalu, Menteri Arifin Tasrif melayangkan surat kepada Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto. Selain berisi usul rumusan BUMN khusus dihapus alias tidak diatur dalam omnibus law, surat itu mencatat usul kegiatan usaha hulu tetap menerapkan rezim kontrak kerja sama, bukan izin usaha.
Menteri Arifin tak menyebutkan secara detail alasan penarikan rumusan BUMN khusus dari naskah omnibus law. Tapi, dalam pemaparan kepada media pada 7 Oktober lalu, ia mengatakan pemerintah akan mengaturnya lebih rinci dalam revisi Undang-Undang Migas yang akan dibahas mulai 2021.
Pakar hukum pertambangan dan sumber daya alam dari Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi, menyayangkan dihapusnya rumusan pembentukan BUMN khusus pelaksana kegiatan usaha hulu migas yang sebenarnya merupakan amanat MK. Dia menilai keputusan ini menunjukkan pemerintah tak serius mengurus pembentukan lembaga baru yang semestinya akan memberi kepastian hukum usaha migas. “Sebab, SKK Migas yang ada saat ini bersifat ad hoc, tidak permanen,” ujarnya.
RETNO SULISTYOWATI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo