Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tanaman obat seperti jahe, kencur, kunyit dan temulawak, kian banyak diminati sejak negara ini mulai dilanda pandemi Covid-19, Maret lalu.
Menurut Riset Tumbuhan Obat dan Jamu oleh Kementerian Kesehatan pada 2017, ada 11.218 tumbuhan obat yang teridentifikasi.
Hasil dari petani tanaman obat itu sebagian besar dijual secara langsung ke masyarakat. Adapun industri biasanya memilih membina petani sendiri untuk menjaga kualitas hasil panennya.
JAHE terhampar dan memenuhi karung-karung di kantor Kelompok Tani Wanita Lestari di Desa Margosari, Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Potongan kencur, kunyit, temulawak, dan secang juga tampak memenuhi tampah-tampah yang tergeletak di ruangan seluas 4 x 6 meter persegi itu. Kantor Kelompok Tani Wanita Lestari itu menjadi unit pengolahan jamu Sari Jampi di desa tersebut. Semua tanaman obat itu kian banyak diminati sejak negara ini mulai dilanda pandemi Covid-19, Maret lalu.
Kencur, kunyit, dan temulawak adalah tiga dari ribuan tanaman obat yang terdapat di Indonesia. Menurut riset tumbuhan obat dan jamu oleh Kementerian Kesehatan pada 2017, ada 11.218 tumbuhan obat yang teridentifikasi. “Potensi sumber daya alam, terutama tanaman obat dan obat tradisional, kita terbesar kedua di dunia setelah di Brasil,” ucap Danang Ardiyanto, peneliti dan koordinator Rumah Riset Jamu Hortus Medicus Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Kementerian Kesehatan, Senin, 12 Oktober lalu.
Siti Rupingah, Ketua Unit Usaha Sari Jampi, mengatakan jamu tradisional yang mengandung unsur jahe menjadi primadona sepanjang masa pagebluk. Sari Jampi selama ini memproduksi minuman tradisional wedhang uwuh, jahe madu, serbuk jahe merah, dan wedang rempah. Ia mencatat sejak Maret lalu permintaan terhadap jamu meningkat 50 persen dibanding kondisi normal. “Konsumen yang membeli wedhang uwuh sekarang ini bisa mencapai 250 bungkus per hari,” tutur Siti, 12 Oktober lalu.
Kenaikan permintaan wedhang uwuh juga diikuti oleh meningkatnya kebutuhan akan jahe madu, jahe merah, wedang rempah, dan kunyit. “Pembeli di awal pandemi sering kali harus menunggu dua hingga tiga hari. Pesan dulu karena persediaan terbatas,” ujar Siti. Minuman tradisional berbahan baku jahe paling banyak diburu selama masa pandemi karena bermanfaat untuk mengatasi masuk angin, perut kembung, pusing, dan melancarkan peredaran darah.
Warga Desa Margosari dan sekitarnya secara turun-temurun menanam tanaman empon-empon di pekarangan rumah atau kebun. Tanaman itu menjadi persediaan bila suatu saat ada sanak keluarga yang mengalami demam dan flu, mereka tinggal mengambil jahe, kunyit, dan temulawak yang tersedia di sekitar rumah mereka sebagai obat penawar sakit.
Derasnya permintaan jamu membuat Siti, yang juga Ketua Kelompok Tani Wanita Lestari, menambah jumlah pekerja pengolah jamu dari yang semula delapan orang menjadi 11 orang. Mereka juga menambah jam lembur untuk memenuhi angka pesanan yang semakin bertambah. Dalam sehari, satu pekerja bisa mengolah hingga 50 bungkus jamu.
Pandemi yang dipicu virus SARS-Cov-2 itu juga berdampak naiknya jumlah pengunjung Kebun Tanaman Obat Sari Alam di Bandung Selatan, Jawa Barat. Menurut Oday Kodariah, pemilik kebun di Kampung Andir, Jalan Raya Ciwidey Kilometer 26, Pasir Jambu, Kabupaten Bandung, itu terdapat 900 jenis tanaman herbal di area seluas 21 hektare. Ada jombang, antanan, ki urat, meniran, kumis kucing, tembelekan, dewandaru, legundi, dan beluntas. Juga tujuh jenis rimpang seperti temulawak, temu kunci, temu ireng, kunyit putih, dan jahe.
Di masa pandemi ini angka pengunjung Kebun Tanaman Obat Sari Alam meningkat rata-rata 100 persen. Biasanya Oday membatasi tamu lima orang per hari yang datang untuk berkonsultasi ihwal tanaman herbal. Pengunjung yang telah membuat janji sebelumnya itu juga bisa membeli racikan obat herbal yang dikelola oleh anaknya. “Para tamunya kebanyakan mencari empon-emponan,” kata dia, Selasa, 13 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Herbalis bersertifikat, Oday Kodariyah, di kebun tanaman obat Sari Alam, Pasirjambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 15 Oktober 2020./TEMPO/Prima Mulia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tingginya permintaan terhadap tanaman obat juga dirasakan oleh para petani jahe merah yang berada di lereng Gunung Manglayang, Bandung Timur. “Pas Covid-19 pada Maret lalu mereka panen. Jadi harganya lagi tinggi, Rp 75 ribu per kilogram,” tutur Yusuf, yang membina petani di sana. Meskipun lahannya terhitung kecil, yaitu 1 hektare dengan hasil panen sekitar 1 ton, omzetnya mencapai Rp 75 juta. Pembeli perorangan, kata Yusuf, datang langsung ke petani.
Menurut Yusuf, ada 10 petani yang menanam jahe merah di sela tanaman kopi dan pohon pinus. Mereka tergabung dalam Kelompok Tani Hutan Giri Senang di Kampung Legok Nyenang, Desa Giri Mekar, Cilengkrang, Kabupaten Bandung. Setelah panen jahe merah, mereka menanam kunyit. Pergantian komoditas itu, kata Yusuf, dilakukan untuk mencegah serangan hama. “Sebelum pandemi, mereka sudah biasa menanam bahan empon-empon,” ucap penyuluh kehutanan di Dinas Kehutanan Jawa Barat itu.
Anggota Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia (PDHMI), Rimenda Sitepu, mengatakan wabah virus corona yang belum ditemukan obatnya ini membuat masyarakat melirik tanaman herbal. “Infeksi oleh virus itu kan self limited disease alias bisa sembuh sendiri dengan meningkatnya daya tahan tubuh kita. Apa saja yang bisa meningkatkan daya tubuh kita? Salah satunya obat herbal kita ini,” ujar dosen farmakologi di Fakultas Kedokteran Militer Universitas Pertahanan dan Fakultas Kedokteran Universitas Gunadarma itu, Rabu, 14 Oktober lalu.
Hasil dari petani tanaman obat itu sebagian besar dijual secara langsung ke masyarakat. Kelompok Tani Wanita Lestari, misalnya, menjual wedhang uwuh, jahe madu, jahe merah, dan wedang rempah olahannya itu ke minimarket, toko-toko di Kulon Progo, dan toko online. Wedang uwuh dibanderol seharga Rp 3.500 per bungkus, sedangkan jahe madu 250 gram Rp 17 ribu hingga Rp 20 ribu. Ada juga yang memasoknya untuk industri farmasi. Menurut Danang, industri biasanya memilih membina petani sendiri untuk menjaga kualitas hasil panennya.
Kelompok Tani Wanita Lestari, kata Siti, mendapat sokongan dari Pemerintah Kabupaten Kulon Progo dan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam bentuk pelatihan pengolahan jamu, pengadaan alat, dan pemasaran. Adapun penyuluh Yusuf berharap pemerintah bisa membantu para petani dengan mendukung sarana dan prasarana untuk berkebun.
Menurut Danang, soal tanaman obat, petani akan berpikir mana yang lebih menguntungkan secara ekonomis. “Sebenarnya petani bersedia bertanam tanam obat asal ada yang beli,” kata dia. Untuk itulah dia mengusulkan adanya Badan Logistik (Bulog) Jamu untuk memastikan hasilnya bisa diserap dengan harga yang pantas. Tapi ia menyadari bahwa kita masih sibuk berkutat pada tanaman pangan sehingga tanaman obat menjadi prioritas yang kesekian.
ABDUL MANAN, SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), ANWAR SISWADI (BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo