Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Timpang Pasokan di Ladang Batu Bara

Suplai batu bara untuk PLTU menipis. Perusahaan tambang tak bersedia memasok dengan harga domestik. Nasib pasokan batu bara bergantung pada skema penugasan.

13 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Produsen batu bara enggan berkontrak dengan PLN.

  • Harga beli batu bara PLN jauh di bawah harga internasional.

  • Banyak produsen batu bara yang belum memenuhi kewajiban DMO.

GONG Matua Hasibuan kini turun gunung, memelototi pasokan batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Direktur Utama PT Pembangkitan Jawa-Bali (PJB), anak usaha PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang mengelola pembangkit listrik itu, mengawasi langsung suplai harian batu bara, jaga-jaga jika cekak. “Untuk PLTU PJB relatif aman,” katanya kepada Tempo, Rabu, 10 Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Gong, stok batu bara PJB rata-rata 14 hari operasi. Stok itu harus mencukupi kebutuhan sejumlah PLTU. Saat ini PJB mengoperasikan PLTU Paiton di Jawa Timur yang berkapasitas 800 megawatt (MW) dan mengembangkan pembangkit listrik swasta bersama mitra. PJB dan mitranya membentuk perusahaan patungan untuk mengelola PLTU Banjarsari di Lahat, Sumatera Utara; PLTU Jawa 7 Unit 1 dan 2 di Banten; PLTU Cilacap Ekspansi 1 dan Ekspansi 2 di Jawa Tengah; PLTU Mamuju di Sulawesi Barat; dan PLTU Sumbagsel 1 di Muara Enim, Sumatera Selatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hal yang sama dilakukan Direktur Energi Primer PLN Hartanto Wibowo. Di kantor pusat PLN, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Hartanto dan sejumlah petinggi lain perusahaan setrum itu harus bekerja lembur demi memantau stok batu bara. Hal ini terjadi setelah PLN mengalami krisis pasokan batu bara yang berujung penyetopan ekspor pada malam tahun baru 2022. “Setiap hari kami berkumpul satu-dua jam,” dia bercerita.

Pertemuan rutin itu bertujuan mengamati dan membahas perkembangan pasokan batu bara. PLN memiliki sistem pemantauan digital yang terintegrasi dengan aplikasi Minerba Online Monitoring System (MOMS) milik Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Melalui sistem itu, PLN dapat mengetahui data mutakhir perusahaan batu bara yang terkena larangan ekspor karena gagal loading atau mengapalkan batu bara ke PLTU.

Pekerja memantau aktivitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap Lontar, Tangerang, Banten, Juni 2016. TEMPO/Tony Hartawan

Persoalan stok batu bara yang terjadi awal tahun ini bakal berulang. PLN mengeluh lantaran tak ada produsen yang mau memasok batu bara untuk PLTU. Perusahaan tambang yang telah berkontrak enggan memperpanjang masa perjanjian.

Penyebabnya, antara lain, ketimpangan skema penalti dan kompensasi dalam regulasi wajib pasok dalam negeri atau domestic market obligation (DMO). Perusahaan yang berkontrak dengan PLN akan terkena denda bila tak memenuhi komitmen. Skema penalti dan kompensasi dikaitkan dengan harga pasar. Tapi, saat harga batu bara internasional menembus US$ 400 per ton, denda hanya sebesar US$ 188 per ton. Perusahaan yang tidak berkontrak dengan PLN hanya dikenai sanksi berupa pembayaran kompensasi sebesar US$ 18 per ton. Skema ini berlaku untuk batu bara kalori 4.600.

Tanpa kontrak baru, pasokan batu bara untuk PLTU yang sempat meningkat selama triwulan pertama tahun ini terus menyusut. Memasuki pekan kedua Agustus, tren penurunan makin tajam. Akibatnya, stok batu bara sejumlah PLTU di bawah batas aman 15 hari operasi. Di wilayah Jawa-Madura-Bali, misalnya, ada empat pembangkit yang stoknya menipis. Di antaranya PLTU Pacitan (2 x 315 megawatt) dan PLTU Tanjung Awar-Awar (2 x 350 megawatt) di Jawa Timur serta PLTU Indramayu (2 x 1.000 megawatt) di Jawa Barat.   

Nasib serupa menimpa industri semen dan pupuk. Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia Widodo Santoso mengungkapkan, sebagian besar perusahaan semen mengeluhkan stok yang menipis. Pasokan batu bara menurun 35 persen sehingga utilisasi pabrik semen merosot. Akibatnya, banyak perusahaan yang tidak bisa mengekspor semen atau klinker secara optimal. Produksi yang terbatas membuat perusahaan memprioritaskan kebutuhan semen dalam negeri.

Sektor lain yang terkena masalah serupa adalah pupuk. Namun juru bicara PT Pupuk Indonesia (Persero), Wijaya Laksana, mengatakan kebutuhan perusahaannya tidak sebesar PLTU dan industri semen. “Masih aman, paling tidak untuk sebulan ke depan,” ujarnya.

Produsen batu bara memilih melakukan ekspor sejak harga komoditas itu di pasar dunia meroket. Di bursa berjangka Newcastle, Jumat, 12 Agustus lalu, perdagangan batu bara dibuka pada harga US$ 401 per ton, meningkat dari penutupan hari sebelumnya yang sebesar US$ 398,65 per ton. Harga batu bara yang berada di level atas sejak awal 2022 terus melonjak setelah terjadi konflik Rusia-Ukraina.

“Harga yang cukup tinggi saat ini (membuat) produsen mencari pendapatan yang lebih baik. Ada kecenderungan menghindari kontrak dengan industri dalam negeri,” tutur Menteri Energi Arifin Tasrif dalam rapat kerja dengan Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat pada Selasa, 9 Agustus lalu.

Harga penjualan di pasar domestik memang lebih murah. Pemerintah menetapkan harga batu bara untuk kelistrikan umum sebesar US$ 70 per ton. Sedangkan harga untuk industri semen dan pupuk US$ 90 per ton.

Bagi PLN, harga khusus ini memberi kepastian untuk menentukan tarif listrik dan beban fiskal pemerintah. Jika memakai harga pasar rata-rata US$ 350 per ton pada 2022, PLN memerlukan tambahan biaya operasi Rp 300 triliun. Karena itu, jika tak ada harga khusus, beban pemerintah untuk menambal subsidi listrik golongan tertentu bakal makin berat.

•••

PASOKAN batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap kini bergantung pada kebijakan pemerintah, yang menetapkan penugasan kepada perusahaan tambang. Skema ini mengacu pada Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 139 Tahun 2022 yang menetapkan penugasan jika ada keadaan mendesak akibat tidak terpenuhinya kebutuhan batu bara dalam negeri. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM dapat menunjuk perusahaan pemegang izin pertambangan untuk memenuhi kebutuhan domestik.

Surat penugasan teranyar terbit pada 10 Juli 2022, diteken oleh pelaksana harian Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Muhammad Idris Froyoto Sihite. Kali ini Kementerian ESDM menugasi 11 perusahaan dengan total volume batu bara 5,42 juta ton. Di antaranya PT Berau Coal yang harus memasok 700 ribu ton batu bara dan PT Allied Indo Coal dengan pasokan 720 ribu ton.

Selain itu, PT Bara Tambang, PT Bharinto Ekatama, dan PT Indominco Mandiri masing-masing kebagian jatah pasokan 600 ribu ton. Kementerian ESDM menyatakan penugasan ini tidak masuk kontrak existing ataupun penugasan sebelumnya dan merupakan bagian dari kewajiban DMO, yang mencapai 25 persen dari total penjualan.

Kementerian ESDM beralasan pasokan batu bara diperlukan karena permintaan listrik meningkat. Pada semester I 2022, tingkat penjualan listrik PLN naik 6,7 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Pemerintah memperkirakan terjadi defisit pasokan batu bara untuk PLTU PLN pada semester II karena permintaan listrik makin meningkat.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara mengeluarkan surat penugasan kepada 123 badan usaha pertambangan sebanyak 18,9 juta ton. Namun, hingga Juli lalu, pasokan yang tersedia hanya 8 juta ton yang diperoleh dari 52 perusahaan. Menteri Arifin mengingatkan bahwa pemerintah akan terus memantau perusahaan yang belum melaksanakan tugas. “Kami beri sanksi kepada mereka yang tanpa keterangan jelas. Fitur ekspor pada aplikasi MOMS akan terblokir,” ucapnya.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara juga menerbitkan surat penugasan untuk memasok batu bara bagi industri semen dan pupuk. Sebanyak 94 perusahaan tambang mendapat perintah tersebut dengan total volume 4,1 juta ton. Tapi tugas itu hanya dijalankan oleh 44 perusahaan yang memasok 2,88 juta ton. Arifin mengatakan pemerintah telah menonaktifkan fitur ekspor 29 perusahaan di aplikasi MOMS. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara juga terus memantau komitmen 21 perusahaan yang belum menjalankan tugas.

Pada semester I lalu, PLN mendapat tambahan pasokan 7,7 juta ton. Angka ini di bawah kebutuhan 29,4 juta ton. Permintaan batu bara bertambah karena PLN harus meningkatkan produksi listrik 10,5 terawatt-jam (tWh). Sebanyak 5,2 tWh berasal dari kenaikan demand listrik dan 5,3 tWh adalah hasil penurunan produksi pembangkit listrik independen (IPP). Tambahan pasokan ini adalah buah renegosiasi, yang membuat PLN menunda jadwal operasi (commercial operation date) untuk mengurangi beban keuangan perusahaan dari skema take-or-pay.

Dari total penugasan 31,8 juta ton, yang terpenuhi baru 14,3 juta ton dari produsen yang telah berkontrak dengan PLN. Executive Vice President PLN Batubara Sapto Aji Nugroho mengatakan perusahaan tambang memberi banyak alasan, seperti klaim pemenuhan kewajiban DMO 25 persen. Mereka juga meminta pemerintah memberlakukan harga pasar untuk pasokan batu bara tambahan. Ada juga yang memilih menunggu terbentuknya badan layanan umum batu bara yang akan menutup selisih harga internasional dengan harga penugasan.

Kebijakan DMO batu bara belum bisa mengamankan kebutuhan, terutama untuk pembangkit listrik serta pabrik semen dan pupuk. Industri lain yang juga memerlukan batu bara dalam skala besar adalah smelter atau fasilitas pengolahan dan pemurnian tambang. Angka kebutuhan batu bara smelter tahun ini mencapai 50 juta ton. Tapi pasokan untuk sektor ini aman karena produsen bisa menjual batu bara ke smelter dengan harga pasar. Pemerintah tidak menetapkan harga khusus karena smelter tidak berkaitan langsung dengan pelayanan publik.  

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Hendra Sinadia mengeluh karena persoalan DMO ditimpakan pada perusahaan tambang. Padahal, menurut dia, DMO berkaitan dengan sistem logistik PLN. “Perusahaan punya kewajiban menambang, PLN harus punya sistem procurement yang tepat, termasuk logistiknya,” tuturnya. “Yang tahu kondisi langka atau tidak, ya, PLN. Seperti kami menjual beras, kondisi beras sampai mana kami enggak tahu.”

Perusahaan batu bara kelas besar mengklaim telah memenuhi kewajiban DMO. “KPC dan Arutmin sudah memenuhi kewajiban,” ucap Direktur Independen dan Sekretaris Korporat PT Bumi Resources Dileep Srivastava. Bumi adalah induk usaha PT Kaltim Prima Coal atau KPC dan PT Arutmin Indonesia di bawah Grup Bakrie.

Juru bicara PT Adaro Energy Tbk, Febriati Nadira, mengatakan perusahaannya memprioritaskan pasar domestik. Dalam 12 bulan terakhir, kata dia, tingkat penjualan domestik mencapai 25 persen. “Kami tetap menargetkan penjualan 25-27 persen ke pasar domestik.”

RETNO SULISTYOWATI, KHAIRUL ANAM 
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus