Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Diaspora Indonesia di berbagai negara mengkampanyekan pentingnya vaksin Covid-19.
Mereka berbagi pengalaman dan saling menguatkan.
Gerakan antivaksin masih marak di Amerika Serikat.
PADA mulanya, James F. Sundah, musikus Indonesia yang kini bermukim di Kota New York, Amerika Serikat, ragu-ragu mendapatkan suntikan vaksin Covid-19. Pencipta lagu tenar “Lilin-lilin Kecil” itu lalu memutuskan untuk memeriksakan kesehatannya. Jantung, paru-paru, dan organ lainnya ternyata sehat dan dia siap divaksin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalah berikutnya muncul. Di mana dia bisa divaksin? Pada Januari lalu, dia mendapat kabar ada vaksinasi massal di Bronx, daerah lain di Negara Bagian New York. Dia memacu mobilnya secepat mungkin ke sana sebelum jadwal vaksinasi ditutup. Sesampai di sana, "Ternyata vaksinnya sudah habis," katanya. James lalu mencari kesempatan lain dan akhirnya mendapat suntikan vaksin Moderna di Queens, sekitar seperempat jam dari Kota New York, akhir Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lain kisah Adi Harsono. Sebagai orang asing, tak mudah baginya mendapat vaksin. Dia mendapat informasi ada vaksinasi massal bagi semua orang dengan vaksin buatan Pfizer di Virginia, sekitar satu setengah jam berkendara dari rumahnya di Washington, DC. Dia pun mendaftar. Namun ada kabar bahwa banyak orang asing yang berbondong-bondong terbang ke Virginia untuk divaksin sehingga, "Semua dibatalkan karena vaksin tidak cukup. Warga setempat juga mengeluh banyak orang luar yang disuntik," tuturnya.
Adi pun berburu vaksin lagi. Kali ini ada program vaksinasi massal di Washington untuk warga senior berusia 60 tahun ke atas. Pemberian dilakukan dengan lotere. Adi dibantu seorang temannya cepat-cepat mendaftar agar beroleh tiket vaksin. Dia beruntung mendapatkannya dan akhirnya divaksin pada Februari lalu.
Kisah mereka muncul dalam berbagai pertemuan daring World Vaccine Update, komunitas yang digagas James F. Sundah dan kawan-kawan untuk berbagi cerita dan pengetahuan mengenai vaksin dan Covid-19. Pertemuan saban Senin ini membahas berbagai hal yang berhubungan dengan pandemi. Dalam pertemuan pada Senin, 9 Agustus lalu, misalnya, Ali Alkatiri, dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan pascasarjana National University of Singapore, membahas perkembangan kasus Covid-19 di Indonesia dan dampak pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM di Jawa dan Bali.
Vaksin, yang menjadi isu sentral komunitas, bagi Ali, sangatlah penting. "Vaksin itu untuk mempercepat terjadinya kekebalan kelompok terhadap Covid-19," ujarnya kepada Tempo pada Kamis, 12 Agustus lalu.
Pandemi Covid-19 telah membuat cemas banyak orang, termasuk para diaspora Indonesia di berbagai negara. Vaksinasi adalah salah satu harapan bagi mereka untuk dapat hidup kembali secara normal. "Ini mendesak, Mas. Buat kami, vaksin itu cara terbaik menanggulangi pandemi, menghentikan Covid-19," kata Priscillia Sundah Suntoso, pengacara di New York dan penggagas komunitas tersebut, kepada Tempo pada Selasa, 10 Agustus lalu.
Menurut Lia—sapaan Priscillia—komunitas ini lahir dari sebuah diskusi kecil antara dia, James F. Sundah, dan Praben Prima Saputra di New York serta Fransisca Martini di Belanda pada Desember tahun lalu. "Pada saat itu belum banyak yang divaksin dan banyak informasi simpang-siur sehingga membuat orang menjadi bingung dan ketakutan. Kami cuma mau berbagi pengalaman riil yang dialami masing-masing," ucap istri James ini.
Kala itu, Lia melanjutkan, banyak pula hoaks beredar yang dipercaya oleh sebagian orang. Salah satunya tentang kabar bahwa vaksin itu mengandung chip yang dapat mengendalikan orang dan dianggap sebagai tanda-tanda akhir zaman. Beberapa warga Indonesia juga terpapar hoaks serupa. "Dalam kegiatan kami ada segmen khusus yang membahas hoaks yang pernah ada dan ini salah satu bahaya yang kami perangi," ujarnya.
Pertemuan komunitas pertama digelar pada 25 Januari lalu dan rekamannya diunggah di VMC New York Channel di YouTube agar dapat ditonton sebanyak mungkin orang. Forum ini terbuka dan dihadiri beragam orang, termasuk dokter, perawat, duta besar, remaja, serta kaum lanjut usia. "Peserta yang hadir 60-70 orang, kebanyakan dari simpul-simpul masyarakat," tuturnya. Dalam pertemuan itu, para peserta berbagi pengalaman saat mereka divaksin di negara masing-masing, termasuk efek yang mereka rasakan. Dampaknya menggembirakan. Menurut Lia, sejumlah orang akhirnya mau divaksin setelah menonton acara ini.
Vaksinasi kini menjadi isu krusial di Amerika Serikat. Ketika komunitas World Vaccine Update menggelar pertemuan daring yang mempromosikan pentingnya vaksin pada Senin, 9 Agustus lalu, pada saat yang sama seratusan orang berunjuk rasa di depan Rady Children's Hospital di San Diego, California. Sebagian dari mereka adalah perawat yang memprotes kebijakan pemerintah negara bagian yang mewajibkan perawat disuntik vaksin Covid-19. Kebijakan ini sebagai bagian dari upaya mendorong program vaksinasi yang terhambat bahkan di kalangan tenaga kesehatan sendiri. Hingga Senin itu, sekitar 21,2 juta atau 53,8 persen penduduk negara bagian tersebut sudah mendapat vaksin dosis penuh.
Para demonstran menyerukan slogan seperti "tubuh kami, pilihan kami". Menurut CNBC News, mereka adalah satu dari selusin lebih kelompok yang berunjuk rasa di depan rumah-rumah sakit di California dalam beberapa hari belakangan. Mereka diorganisasikan oleh Tenaga Kesehatan Amerika untuk Kebebasan Medis, kelompok antivaksin yang rajin berkampanye di media sosial seperti Instagram, Facebook, dan TikTok.
New York sepi dari protes karena pemerintah memberikan pilihan: divaksin atau akan dites rutin tiap pekan. Pemerintah memberlakukan aturan ini kepada semua pegawai negeri dan tenaga kesehatan. Jumlah kasus Covid-19 memang menunjukkan peningkatan di negara bagian ini. Pada Kamis, 12 Agustus lalu, tercatat rata-rata ada 3.918 kasus baru setiap hari. Selama pandemi, New York mencatat total 2,19 juta kasus dengan 53.429 korban meninggal.
Vaksinasi belum mencapai target 80 persen penduduk sebagai syarat kekebalan kelompok. Departemen Kesehatan New York menyatakan, hingga Senin, 9 Agustus lalu, 76,7 persen orang dewasa sudah divaksin sekurang-kurangnya satu kali.
Banyak alasan orang Amerika enggan divaksin. KFF Covid-19 Vaccine Monitor, riset berjalan Kaiser Family Foundation (KFF) yang melacak sikap masyarakat Amerika terhadap vaksin, menemukan 14 persen responden menolak divaksin dengan alasan apa pun. Kelompok yang paling banyak menolak adalah orang kulit putih penganut Kristen Evangelis. "Mereka tak melihat virus sebagai ancaman terbesar bagi mereka dan memandang vaksin sebagai ancaman yang lebih besar bagi mereka," ujar Ashley Kirgizinger, peneliti KFF, kepada US News, Selasa, 10 Agustus lalu.
Survei KFF juga menggambarkan pandangan politik berperan dalam penerimaan vaksin Covid-19. Pendukung Partai Demokrat paling antusias terhadap vaksin. Dari kelompok ini, tercatat 47 persen responden sudah divaksin atau segera divaksin pada Desember 2020 dan jumlahnya terus naik hingga 89 persen pada Juli 2021. Namun hanya 28 persen responden pendukung Partai Republik yang sudah divaksin atau segera divaksin pada Desember 2020 dan angkanya baru mencapai 56 persen pada Juli lalu.
Bagi sebagian orang, pandemi adalah masa kegelapan. Melalui komunitas World Vaccine Update, kata Lia saat menjadi moderator pertemuan ini, "Kita tidak hanya berbagi pengalaman, tapi juga bisa saling menguatkan, seperti semangat lilin-lilin kecil agar kita dapat memberi cahaya terang bagi sesama di masa pandemi."
Pada pertemuan 9 Agustus lalu, James menampilkan kompilasi video musik dari berbagai orang dan kelompok yang menyanyikan lagu “Lilin-lilin Kecil”, lagu tema yang selalu diputar dalam setiap pertemuan komunitas tersebut. Pada hari itu, Claudia Emmanuela Santoso, pemenang The Voice of Germany 2019, membuka rangkaian kompilasi video itu dengan suara emasnya: "Dan kau lilin-lilin kecil/Sanggupkah kau mengganti/Sanggupkah kau memberi/Seberkas cahaya...."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo