Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pembangunan 4.200 BTS 4G di daerah terpencil terkatung-katung.
Sejumlah subkontraktor memprotes mandeknya pembayaran.
Ada dugaan penggunaan anggaran negara untuk keperluan di luar proyek.
PROYEK menara pemancar telekomunikasi atau base transceiver station (BTS) 4G di sejumlah daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) membuat Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate gerah. Betapa tidak, proyek ini terkatung-katung hingga satu tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalah ini pun dibahas dalam rapat kerja Kementerian Komunikasi bersama Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat pada Rabu, 8 Juni lalu. “Ada beberapa wilayah yang terhambat, baik pembangunan maupun penggunaannya,” kata Dave Laksono, anggota Komisi I DPR, yang antara lain membidangi komunikasi dan informatika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seusai rapat, Plate enggan menanggapi pertanyaan tentang proyek menara yang digarap Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) itu. Bakti adalah badan layanan umum di bawah Kementerian Komunikasi. “Sudah saya beri tahu, tanya ke Bakti saja,” tutur Plate sembari dikawal sejumlah ajudan. Berkali-kali dia mengelak dari pertanyaan itu.
Persoalan berawal dari molornya pembangunan 4.200 BTS 4G yang seharusnya selesai tahun lalu. Pekerjaan ini adalah bagian pertama dari proyek ambisius pemerintah, yang ingin membangun 7.904 BTS hingga 2022 dengan nilai Rp 28,3 triliun. Biaya pembangunannya berasal dari universal service obligation atau setoran perusahaan telekomunikasi yang dikelola Bakti, ditambah penerimaan negara bukan pajak dan anggaran negara yang dijalankan Kementerian Komunikasi.
Pada kenyataannya, tahap pertama proyek BTS ini baru selesai 46 persen atau 1.791 menara. Kementerian Komunikasi kemudian memberi waktu tambahan kepada Bakti dan tiga konsorsium pemenang tender untuk merampungkannya hingga Maret lalu. Namun tak ada kemajuan yang berarti.
Padahal pembangunan menara BTS 4G di daerah 3T ini seharusnya menjadi prioritas karena masuk daftar proyek strategis nasional. Penyelesaian proyek ini juga merupakan perintah Presiden Joko Widodo sebagai bagian dari upaya mempercepat transformasi digital secara merata. BTS itu kemudian akan disewa oleh operator seluler, yaitu PT Telekomunikasi Selular atau Telkomsel dan PT XL Axiata Tbk.
Jemy Sutjiawan. Foto: Facebook
Kepada Tempo, Kepala Divisi Infrastruktur Lastmile Backhaul Bakti Feriandi Mirza mengatakan ada banyak sebab tersendatnya proyek BTS 4G. Salah satunya pandemi Covid-19 yang mempengaruhi rantai pasok komponen menara telekomunikasi. Menurut dia, kontraktor sulit mendapatkan perangkat mikrocip yang didatangkan dari negara lain, seperti Cina. “Perangkat ini 100 persen masih impor,” ujarnya.
Masalah lain terjadi di Papua, yaitu gangguan keamanan. Direktur Utama Bakti Anang Latif mengatakan Kepolisian Daerah Papua sempat meminta pembangunan menara dihentikan. Permintaan itu adalah buntut tewasnya delapan pekerja PT Palapa Timur Telematika—operator proyek serat optik Palapa Ring di Papua—yang ditembaki kelompok bersenjata di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, pada awal Maret lalu. Dampaknya, pembangunan menara di daerah rawan seperti Kabupaten Pegunungan Bintang, Yahukimo, Nduga, Puncak, Intan Jaya, dan sebagian Puncak Jaya disetop.
Apa pun itu, persoalan ini bakal berbuntut panjang. Badan Pemeriksa Keuangan pun bersiap menggelar audit atas proyek ini. Anggota III BPK Achsanul Qosasi menyatakan audit perlu dilakukan lantaran proyek ini menggunakan kontrak tahun jamak alias multiyear. "Proyeknya berjalan sejak tahun lalu. Sudah waktunya diaudit agar menjadi masukan dalam pelaksanaan tahun ini," ucap Achsanul, yang juga menyatakan audit akan dimulai pada paruh kedua 2022.
•••
PEMERINTAH sebetulnya telah memberi banyak keistimewaan kepada proyek menara BTS 4G ini. Selain menambahkan waktu untuk tiga konsorsium pemenang tender, pemerintah melunasi biaya proyek di muka dengan harapan konsorsium kontraktor tak mengalami kesulitan modal dalam mengejar target.
Sejumlah konsorsium mendapat jatah proyek BTS 4G di daerah terpencil. Yang pertama adalah konsorsium ZTE Corporation bersama anak usaha Grup Sinar Mas, PT Infrastruktur Bisnis Sejahtera (IBS). ZTE dan IBS menggarap pembangunan 1.811 BTS di Papua untuk tahun anggaran 2021. Hingga Maret lalu, mereka baru menyelesaikan 32,2 persen menara dengan status ready for installation atau siap dipasangi perangkat oleh operator seluler.
Selain menghadapi masalah keamanan, IBS dan ZTE didera kendala teknis, seperti soal pengangkutan material ke lokasi BTS. Government Public Relation and Transportation IBS Benyamin Sembiring mengatakan banyak perkakas yang harus diangkut dengan helikopter. Pemindahan peralatan juga mengikuti ketersediaan ruang di pesawat. Dengan semua kendala itu, Bakti memberi tenggat baru kepada IBS untuk menyelesaikan kewajibannya hingga akhir tahun ini.
Konsorsium lain yang menggarap BTS di Papua dan Papua Barat, khususnya bagian tengah dan barat, adalah Aplikanusa Lintasarta dan Huawei. Keduanya membangun 954 BTS untuk tahun anggaran 2021. Tanpa gangguan keamanan serta akses yang lebih mudah, Lintasarta dan Huawei mampu menyelesaikan 89,2 persen kewajiban sampai akhir Maret lalu.
Keganjilan justru muncul dalam proyek yang berada di luar Papua yang juga tak mengalami gangguan keamanan serta memiliki akses cukup baik. Konsorsium kontraktornya, yaitu Fiberhome, hanya bisa mendirikan 762 unit tower atau 51 persen dari jatah BTS yang harus mereka bangun sebanyak 1.493 unit pada 2021.
Fiberhome adalah perusahaan milik pemerintah Cina. Di Indonesia, Fiberhome bermain di bisnis Internet statis berbasis serat optik, tapi baru pertama kali membangun menara BTS. Di negara asalnya, perusahaan ini menjadi kontraktor telekomunikasi terbesar ketiga setelah Huawei dan ZTE. Dalam proyek BTS 4G di Indonesia, Fiberhome memakai teknologi milik Datang Mobile, perusahaan yang sama-sama berada di bawah grup China Information and Communication Technologies Group Corporation.
Untuk masuk ke proyek BTS 4G, Fiberhome menggandeng anak usaha PT Telekomunikasi Indonesia Tbk atau Telkom, yaitu PT Infrastruktur Telekomunikasi Indonesia (Telkom Infra) dan PT Multi Trans Data (MTD).
Menkominfo Johnny G. Plate (tengah) dan Dirut Bakti Anang Achmad Latief (kanan) pada acara konferensi pers penandatanganan kontrak pengadaan barang/jasa penyediaan Hot Backup Satellite (HBS) dan jasa pengoperasian yang berlangsung hibrida, d i Kempinski Hotel, Jakarta, 15 Maret 2022. Foto: Kominfo.go.id
Konsorsium Fiberhome memenangi tender paket I dan II. Paket I adalah pembangunan 1.364 BTS di Sumatera, Nusa Tenggara, dan Kalimantan senilai Rp 5,1 triliun. Adapun paket II berada di Sulawesi dan Maluku sebanyak 1.336 BTS dengan biaya Rp 4,4 triliun. Tahun lalu, Fiberhome seharusnya mengerjakan pembangunan 1.493 BTS.
Pengamat kebijakan publik dan mantan anggota Ombudsman Republik Indonesia, Alamsyah Saragih, mengatakan molornya proyek BTS yang digarap Fiberhome tersebab masalah pembayaran. “Ada banyak subkontraktor level II yang tak dibayar sesuai dengan perjanjian,” kata Alamsyah.
Gelombang protes dari sejumlah subkontraktor Fiberhome datang sejak April lalu. Salah satunya PT Semesta Energy Services (SES), yang menyegel belasan BTS yang telah mereka bangun di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Masalahnya adalah SES tak kunjung dibayar oleh PT Pool Konstruksi Terbarukan (PKT), salah satu kontraktor di bawah Fiberhome. PKT terafiliasi dengan PT Pool Advista Indonesia Tbk, perusahaan milik terpidana korupsi Asuransi Jiwasraya, Heru Hidayat.
PKT, yang mendapat order pembangunan 206 BTS dari Fiberhome, menyerahkan pekerjaan itu kepada SES. Manajemen SES mengklaim 72 persen BTS yang mereka bangun di Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, dan Kepulauan Riau sudah siap on air, tapi bayarannya baru 36 persen. Manajemen SES pun mengirim surat kepada Menteri Johnny Gerard Plate dengan mencantumkan tagihan Rp 65 miliar per 18 April lalu.
Sebulan kemudian, penyegelan menara juga dilakukan CV Balqis Antoni Samawa dan para pekerja di Wae Rasan, Kecamatan Elar Selatan, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Setelah itu, Bakti turun tangan dengan memanggil konsorsium Fiberhome. “Benar, mereka belum membayar. Saya anggap itu urusan Fiberhome dan kontraktornya,” ujar Direktur Utama Bakti Anang Latif.
Namun penelusuran Tempo menemukan banyak keganjilan pada struktur konsorsium Fiberhome-Telkom Infra-MTD. Selain tersendatnya pembayaran untuk subkontraktor, mayoritas proyek dikuasai oleh satu perusahaan bernama PT Sansaine Exindo. Sejumlah sumber Tempo di kalangan kontraktor menyebut Jemy Sutjiawan, bos Sansaine Exindo, berperan layaknya ketua konsorsium yang mengatur proyek ini.
•••
MESKI berstatus subkontraktor, Sansaine Exindo punya peran yang sangat besar dalam proyek BTS yang digarap Fiberhome. Dari 1.493 BTS yang pembangunannya dikerjakan Fiberhome pada 2021, sebanyak 1.019 atau 68 persen menjadi jatah Sansaine. Fiberhome hanya menggarap 11 persen, sementara subkontraktor Semesta Energy Services mendapat 6,8 persen dan Pool Konstruksi Terbarukan 13,7 persen.
Menurut seorang pengusaha telekomunikasi, dominasi Sansaine dalam proyek ini menjadi indikator bahwa Jemy Sutjiawan bertindak seperti pengendali konsorsium Fiberhome-Telkom Infra-Multi Trans Data. Ironisnya, Sansaine baru menyelesaikan 461 unit tower atau 45,2 persen pekerjaannya, jauh di bawah subkontraktor lain. SES, misalnya, telah merampungkan 72,5 persen pekerjaannya, sementara Fiberhome sendiri sudah menyelesaikan 70,4 persen jatahnya. “Padahal uang muka yang diperoleh Sansaine paling besar di antara yang lain, bisa lebih dari 40 persen,” ucap sumber Tempo.
Di kalangan pengusaha infrastruktur telekomunikasi, nama Jemy Sutjiawan sudah tak asing. Dia disebut-sebut yang membawa Huawei masuk ke Indonesia. Dia juga pernah menjalankan bisnis lain, tapi bermasalah. Pada 2002, Jemy dihukum delapan bulan penjara dan denda Rp 500 juta oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam kasus penyelewengan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Saat itu Jemy menjabat Direktur Umum South East Asia Bank.
Dalam proyek pembangunan BTS 4G, ada bau amis yang menyeruak. Sumber Tempo menyebutkan Sansaine tidak memakai semua uang muka dari pemerintah, lewat Fiberhome, untuk mengerjakan proyek. Ternyata sebagian duit itu ditransfer ke rekening milik seseorang bernama Rafli bin Ridwan, yang tidak ada kaitannya dengan proyek BTS. Tempo mendapat salah satu salinan bukti transfer ke rekening tersebut. Menurut sumber Tempo, ini penyebab mandeknya proyek BTS yang digarap Sansaine.
Kini Fiberhome selaku konsorsium induk kena getahnya. Sebab, pemerintah meminta konsorsium mengembalikan biaya yang sudah dilunasi jika target tidak tercapai. Total dana yang harus dikembalikan mencapai Rp 600 miliar.
Meski ada masalah, Jemy seperti tak tersentuh. Sebab, kata sumber Tempo, Jemy dekat dengan Menteri Johnny Gerard Plate dan Anang Latif. Mereka disebut kerap bersama di sejumlah tempat, seperti di Dharmawangsa, Jakarta. Jemy juga semeja dengan Plate dalam rapat tentang proyek BTS di Bali pada 18 Maret lalu.
Dalam soal ini, Anang mengaku dia yang mengenalkan Jemy kepada Plate. “Sebagai pebisnis, wajar Pak Jemy ingin kenal dengan siapa saja, Pak Menteri juga concern dengan proyek ini dan bersahabat dengan semua perwakilan konsorsium,” ujarnya.
Plate mulanya enggan menjawab ketika ditanyai tentang kedekatannya dengan Jemy. Namun, melalui anggota staf khususnya, Dedy Permadi, pada Jumat, 10 Juni lalu, Plate mengaku baru mengenal Jemy setelah kontrak Fiberhome diteken. Plate juga mengatakan tidak mengenal Jemy secara personal. “Biasa saja sebagai mitra Bakti,” katanya.
Sedangkan Jemy membantah informasi yang menyebut dia bertindak sebagai pengendali konsorsium Fiberhome. Menurut dia, Sansaine bukan kontraktor utama Fiberhome dan hanya menerima pembayaran jika kewajibannya sudah dikerjakan. “Sansaine menanggung denda sesuai dengan tanggung jawab dalam kontrak,” ucap Jemy kepada Tempo.
Jemy juga membantah informasi tentang aliran dana dari proyek BTS kepada pihak lain. “Sansaine tidak pernah melakukan hal-hal yang dilarang pemerintah Indonesia,” tuturnya.
Adapun Head of Project Management Implementation Fiberhome Telkom Infra MTD Consortium, Wang Tao, berdalih memiliki aturan ketat tentang pembayaran. “Kami selalu membayar tepat waktu untuk setiap pembayaran yang jatuh tempo kepada pemasok dan subkontraktor,” ujar Wang melalui surat elektronik pada Jumat, 10 Juni lalu. “Tidak ada komplain dari pemasok dan subkontraktor Fiberhome tentang pembayaran.”
Saat ini, menurut Wang, tingkat kemajuan proyek yang digarap Fiberhome mencapai 76 persen. “Fiberhome memiliki keyakinan menyelesaikan semua BTS pada tahun ini dengan kualitas dan kinerja tinggi,” katanya.
Keyakinan Wang diamini oleh Anang Latif. “Fiberhome punya kepentingan dengan proyek BTS ini, sebagai etalasenya di Indonesia. Kompetitor mungkin menunggu dia terpeleset, beginilah bisnis.”
AISHA SHAIDRA, VINDRY FLORENTIN, FRANSISCA CHRISTY
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo