SETELAH menjadi orang nomor satu Garuda, Wage Mulyono harus lebih sering pulang malam. Waktu untuk golf, sudah pula dikurangi. Dalam tempo tiga bulan sejak dilantik, ia melayangkan gebrakan pertama melalui pembatalan kontrak leasing 34 pesawat MD-11 yang diteken manajemen lama dengan Bimantara dan Guinea Peat Aviation (Irlandia). Sebagai gantinya, Garuda akan membeli 9 Boeing 747-400, 16 Airbus 300-100, 8 Airbus 330, dan 15 Airbus 300-600. Pesawat-pesawat seharga US$ 4 milyar tersebut diharapkan mulai diterima tahun 1998. Keputusan besar tersebut mengundang tanda tanya. Penjelasan tentang itu diberikan Wage Mulyono pekan lalu kepada Dwi S. Irawanto dari TEMPO, yang bertandang ke rumahnya. Petikannya: Mengapa kontrak leasing dibatalkan? Leasing itu jauh lebih mahal. Memang, sebuah perusahaan penerbangan tidak ekonomis dan barangkali juga tidak mungkin membeli semua pesawat yang dipakainya. Karena kami akan beli 40 pesawat, delapan lagi dilease. Dari mana duitnya? Ada beberapa sumber. Antara lain ada pinjaman komersial, kredit ekspor (dari bank pemerintah luar negeri, biasanya bunganya lebih rendah dari pinjaman komersial), dan rencana go public. Go public? Memang belum sekarang. Kalau go public (jual saham atau obligasi) sekarang, siapa mau? Manajemen harus dirapikan dulu. Insya Allah, tahun 1995 kita siap. Nilainya sampai US$ 4 milyar? Bursa Jakarta mana sanggup? Akan diusahakan. Penjualan saham itu menghasilkan dolar. Supaya tidak keluar devisa untuk beli pesawat. Bagaimana teknisnya, masih dicari. Bisa saja undang investor asing (PMA). Tapi go public ini hanya pelengkap. Saya belum bisa memperkirakan jumlahnya. Saya kira tak akan sampai US$ 4 milyar. Ini masih terus digodok dengan Departemen Keuangan. Bagaimana sebenarnya posisi Garuda sekarang? Kami dulu lahir bersamaan dengan Thai Air, MAS, Cathay, Korean, dan Philipine Airlines. Dulu, Garuda sedikit lebih unggul, karena mempunyai keuntungan besar dalam penerbangan domestik. Kini, mereka jauh lebih kuat. Masalahnya di mana? Orang Garuda harus bekerja jauh lebih keras. Bangga diri saja seperti duludulu tidak bisa. Kita bakal tergilas. Apalagi kalau melihat SQ yang sangat progresif. Mereka kini sedang menjajagi kerja sama dengan KLM untuk terbang langsung ke New York. Cukupkah dengan kerja keras? Kalau pesawat kita cuma ituitu saja, memang tak banyak yang dapat dibuat. Contohnya, penerbangan ke Eropa. Direktur Teknik, Pak Suratman, bilang bahwa kelambatan pemberangkatan kita hanya 15%. Artinya, 85% tepat waktu. Itu cukup bagus. Tapi kedatangan di Eropa, keterlambatan masih sampai 90% Mengapa? Ini berarti, kelambatannya terjadi di jalan. Kita memang terlalu banyak mampir. Habis, pesawat tak bisa terbang langsung jarak jauh. Nah, inilah yang menjadi pemikiran kita. Dulu, penumpang Jakarta-Amsterdam masih fifty-fifty antara KLM dan Garuda. Sekarang yang pakai Garuda tinggal 30%. Prihatin? Ini bisnis penerbangan. Keuntungan terutama terletak di kelas bisnis dan first class. Turis tetap kita angkut, tapi kita berusaha agar business people juga kita angkut, karena di situlah letak keuntungan itu. Mengapa Garuda mengurangi via Singapura? Di Singapura praktis kita tak dapat penumpang lagi ke Eropa. Sekarang, kita mulai berusaha sesedikit mungkin menggunakan Singapura. Rencananya, Jakarta-Eropa via Batam. Bagaimana reorganisasi manajemen? Sudah mulai dibuat. Akan ada satu direktur lagi yang bertanggung jawab mengurus soal-soal umum. Saya nilai Garuda ini masih terlalu lamban. Mengapa Merpati tak dilepaskan saja? Setelah dikasih fasilitas Garuda, masa mau dilepas. Kalau Aerowisata? Aerowisata (pengelola hotel-hotel Garuda) dipertahankan karena merupakan satu paket penerbangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini