Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengganjal karena Tak Setimbang

RUU Perpajakan yang dikirim Presiden ke DPR mungkin tak akan segera dibahas. Para pengusaha bersiap menahannya.

19 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sampai jadwal salat Jumat pekan lalu tiba, rapat yang sejak pagi membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Perpajakan itu belum juga sampai pada putusan final. Satu per satu pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia itu meninggalkan ruangan di salah satu gedung di kawasan bisnis Kuningan, Jakarta. ”Kami lanjutkan pekan depan,” kata salah seorang yang hadir.

Tak banyak lagi pilihan bagi mereka. Upaya mencegat rancangan itu ketika masih di tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono gagal sudah. Arena yang tersisa kini tinggal proses pembahasan RUU di parlemen. Karena itu, para pengusaha bergegas menyusun rincian, kalau bisa lengkap dengan pasal-pasal yang dianggap memberatkan dan memerlukan revisi.

Dalam lembar pengantarnya yang diteken pada 31 Agustus lalu, Presiden Yudhoyono mengatakan kepada para wakil rakyat, ”Kami berharap rancangan ini dibahas segera sebagai prioritas utama.” Bersama itu, dikirim lima buah RUU, masing-masing RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, RUU Pajak Penghasilan, serta RUU Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah. Dua lainnya, RUU Kepabeanan dan RUU Cukai.

Permintaan Kadin melalui surat maupun yang diperjuangkan lewat ”wakilnya” di kabinet rupanya mentah. Dua pekan sebelum rancangan itu meluncur ke Senayan, Ketua Umum Kadin Mohamad S. Hidayat memang sempat bersurat ke Presiden untuk menyampaikan beberapa keluhan dan saran, salah satunya mengenai RUU Perpajakan.

Kadin menilai RUU tersebut masih jauh dari harapan para pengusaha, karena di dalamnya masih terdapat banyak ketimpangan dalam soal hubungan antara aparat pajak dan wajib pajak. Misalnya tentang ancaman sanksi pidana dan denda yang jauh lebih berat bagi para wajib pajak yang melakukan pelanggaran.

Sementara itu, hal yang sama tak berlaku bila aparat Direktorat Pajak yang melakukan penyalahgunaan wewenang atau melanggar hak-hak wajib pajak. Untuk mereka, RUU tersebut mempersilakan wajib pajak mengadukannya ke unit internal atau komite kode etik di bawah Menteri Keuangan. ”Asas kesetaraan belum tecermin,” demikian ditulis Hidayat.

Keberatan lain menyangkut asas self-assessment dan kewenangan aparat pajak yang dianggap terlampau besar (lihat, Pasal-pasal Mengkhawatirkan Itu). Langkah Kadin ini dipastikan akan membuat proses revisi Undang-Undang Perpajakan di DPR makin alot.

Padahal, diperlukan sedikitnya 62 kali pertemuan sejak 2003 sebelum rancangan ini kelar, termasuk di antaranya 20 kali pertemuan yang dilakukan bersama Tim Review RUU Pajak. Berkali-kali rancangan ini ditarik kembali dari Sekretariat Negara karena dinilai belum layak dibahas di DPR.

Menurut Dirjen Pajak Hadi Purnomo, di dalam tim yang terdiri dari pemerintah dan akademisi itu sebenarnya para pengusaha pun sudah dilibatkan. Dari Kadin, misalnya, ada lima orang yang mewakili. Mereka adalah Teddy P. Rachmat, Chairul Tanjung, Rachmat Gobel, Jim Castle, dan John Prasetyo. Mantan Menteri Keuangan Bambang Subiyanto duduk sebagai ketua tim.

Teddy P. Rachmat, yang dihubungi Tempo Jumat petang lalu, mengakui pihaknya sangat puas dengan proses di tim review. Sampai dengan pertemuan terakhir bersama Menteri Keuangan Jusuf Anwar, awal Agustus lalu, semua masih tampak mulus. Direktur Pajak Pertambahan Nilai Syafruddin Alsyah ketika itu bahkan mengatakan bahwa rancangan ini telah ”menyetujui 90 persen usul pengusaha”.

Pasal-pasal yang dianggap menguntungkan pengusaha, misalnya, dinaikkannya nilai penghasilan tidak kena pajak dari Rp 5,7 juta menjadi Rp 12 juta per tahun. Sedangkan upaya mendorong investasi dan tuntutan persaingan dengan negara-negara tetangga diakomodasi dengan adanya penyederhanaan lapisan tarif pajak penghasilan pribadi dan penetapan tarif tunggal untuk wajib pajak badan.

Tarif tertinggi untuk pribadi berpenghasilan di atas Rp 200 juta per tahun ditetapkan 35 persen. Pada tahun pajak 2007, tarif ini akan turun menjadi 33 persen, dan akhirnya akan tinggal 30 persen pada tahun pajak 2010. Sedangkan tarif tunggal untuk wajib pajak badan ditetapkan 30 persen. Kemudian akan diturunkan menjadi 28 persen pada 2007, dan menjadi 25 persen pada 2010. ”Waktu itu memang sangat bagus,” kata Teddy.

Tetapi, menurut seorang sumber Tempo lain di Kadin, ada satu proses lagi sebelum rancangan itu sampai ke tangan Presiden. Dan yang bekerja sepenuhnya kali ini adalah tim dari Direktorat Jenderal Pajak. Nah, di sinilah soalnya.

Selama proses itu, kata sumber tersebut, terjadi beberapa perubahan pada pasal-pasal tertentu. Sehingga rancangan yang kini dikirim ke parlemen sebenarnya berbeda dengan apa yang telah disepakati tim review bersama Menteri Keuangan ketika itu.

Soal perubahan itu, Bambang Subiyanto tak memberi kejelasan. Tapi ia mengakui, tim yang dipimpinnya hanya bertugas menyusun rancangan berdasarkan masukan dari berbagai pihak. Proses finalisasi sebelum rancangan dikirim ke DPR dilakukan pemerintah. ”Pada akhirnya mereka (Direktorat Jenderal Pajak) yang susun,” kata Bambang. Sedangkan Teddy mengaku tidak tahu, karena, ”Saya tidak mengikuti lagi proses setelah pertemuan dengan Menteri itu,” katanya.

Hadi Purnomo tegas membantah tudingan adanya manipulasi itu. ”Mana berani kami lakukan itu. Semua proses transparan dan Kadin ikut di sana,” tuturnya. Tentang banyaknya kritik yang mengarah pada RUU itu, pihaknya tidak dalam posisi menerima atau menolak. ”Itu kewenangan para wakil rakyat di DPR,” ujarnya.

Yang pasti, pemerintah sangat berharap pembahasan di DPR bisa tuntas secepatnya, kalau bisa sebelum akhir tahun ini. ”Agar bisa berlaku awal 2006,” kata Menteri Keuangan Jusuf Anwar. Mereka memerlukan undang-undang baru ini untuk membantu menggenjot setoran pajak, yang tahun depan dipatok Rp 352,2 triliun—naik hampir 20 persen dari tahun ini yang Rp 297 triliun.

Undang-undang yang lebih garang juga dibutuhkan Direktorat Jenderal Pajak, yang tahun ini juga menargetkan tambahan jumlah wajib pajak dari 3,5 juta menjadi setidaknya 10 juta. Sebagian besar merupakan wajib pajak pribadi, dan diharapkan akan bisa meningkatkan setoran pajak hingga Rp 5 triliun.

Tapi, melihat peta yang ada, tampaknya jalan yang harus ditempuh pemerintah tak akan terlalu mudah. Apalagi para pengusaha dan DPR juga menuntut, kewenangan yang begitu luas dari aparat pajak harus diimbangi dengan transparansi dan pengawasan yang ketat.

”Bisa dengan membentuk semacam lembaga ombudsman khusus pajak. Tanpa itu, RUU baru sebaiknya tak diloloskan,” kata anggota Komisi Perdagangan dan BUMN dari Fraksi Amanat Nasional, Didik J. Rachbini. Mereka khawatir institusi pajak akan menjadi begitu kuat dan tak terkontrol.

Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, Paskah Suzetta, pun tak berani menjanjikan RUU tersebut akan segera dibahas. Masa reses pada akhir bulan ini sudah pasti jadi penghalang pertama. Padahal, masih ada 12 RUU yang kini antre dibahas di komisi itu. ”Mungkin akan kita barengkan dengan RUU Pengampunan Pajak (tax amnesty). Menteri Keuangan janji akhir bulan ini selesai di tim review,” ujarnya. Agaknya, masih cukup waktu bagi Kadin untuk menyiapkan amunisinya.

Y. Tomi Aryanto


Pasal-pasal yang Mengkhawatirkan Itu

Rancangan Undang-Undang Perpajakan sudah mengakomodasi 90 persen keinginan pengusaha. Paling tidak, itulah yang dikatakan Direktur Pajak Pertambahan Nilai Direktorat Jenderal Pajak, Syafruddin Alsyah, soal RUU yang sudah diserahkan Presiden Yudhoyono akhir Agustus silam itu. Tapi para pengusaha yang dihubungi Tempo mengatakan yang sebaliknya.

Dalam suratnya yang dikirim kepada Presiden pada 19 Agustus lalu, para pengusaha yang tergabung dalam Kadin Indonesia telah menyampaikan beberapa kekhawatiran mereka. Inilah beberapa poin yang menjadi keberatan pengusaha, terutama menyangkut ketentuan umum dan tata cara perpajakan.

Prinsip Kesetaraan (Equal Treatment) Para pengusaha mempertanyakan adanya perlakuan tak setimbang terhadap wajib pajak dan aparat Direktorat Jenderal Pajak jika terjadi pelanggaran dan pidana perpajakan. Aparat pajak yang diduga melakukan pelanggaran hak wajib pajak hanya diancam sanksi berdasarkan peraturan Menteri Keuangan, melalui mekanisme internal.

Sebaliknya, jika pelanggaran dilakukan wajib pajak, ancamannya berupa hukuman kurungan dan denda. Misalnya denda Rp 100 ribu sampai Rp 1 juta atas keterlambatan penyerahan surat pemberitahuan (SPT) pada pasal 7, hingga ancaman kurungan dan denda Rp 800 juta atas penyembunyian data di pasal 41C.

Asas Self-Assessment Asas ini memberikan hak kepada wajib pajak untuk menghitung sendiri pajak yang harus dibayarnya. Tapi, jika terjadi selisih atas nilai pajak itu, wajib pajak tetap membayar sesuai dengan perhitungan yang dilakukan sepihak oleh aparat pajak. Sesuai dengan pasal 25 ayat 7, pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan. Demikian pula pengajuan banding atas putusan pengadilan pajak (pasal 27 ayat 5).

Kewenangan Aparat Pajak yang Berlebihan Inilah yang paling dikhawatirkan para pengusaha (pasal 30 dan 44). Disebutkan di sana, Dirjen Pajak berwenang menyegel tempat dan barang bergerak atau tidak, hanya berdasarkan dugaan bahwa tempat atau barang itu digunakan menyimpan/menyembunyikan data dan dokumen wajib pajak.

Penyidik pidana pajak juga diberi kewenangan amat luas untuk menjalankan pemeriksaan, memanggil saksi dan tersangka, hingga menggeledah dan melakukan penyitaan. Mereka juga berwenang meminta bank atau lembaga keuangan lain memblokir rekening. Selain Jaksa Agung, atas permintaan Menteri Keuangan, penyidik Ditjen Pajak juga berwenang menghentikan penyidikan.

Y. Tomi Aryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus