Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kompensasi Makin Melarat

Harga minyak akan naik minimum 50 persen. Pemerintah menjanjikan ganti rugi kepada rakyat miskin. Kartu kompensasi belum dicetak.

19 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PASTI sudah: pemerintah akan menaikkan harga minyak, awal bulan depan. Besarnya tak ketolongan, paling rendah 50 persen. Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan bahwa pemerintah—seperti biasa—terpaksa melakukannya untuk menekan defisit di bawah satu persen. Waktunya? ”Kalau November, bisa lebih besar lagi,” katanya.

Harga pasti memang belum keluar. Kabarnya, pemerintah masih terus menghitung karena harga minyak dunia pun tetap menari-nari. Panitia Kerja A, Panitia Anggaran DPR RI, dan pemerintah memutuskan dua skenario subsidi BBM. Pertama, memberi subsidi Rp 113,7 triliun atau defisit Rp 46,3 triliun—1,7 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Subsidi itu akan membuat jurang keuangan (financial gap) Rp 23,2 triliun. Tapi harga BBM dipastikan tak akan naik lagi sampai penghujung 2005. Kedua, subsidi hanya Rp 89,2 triliun, atau tekor Rp 25,1 triliun—sekitar 0,9 persen dari PDB. Jurang keuangan memang menjadi nol, tapi masyarakat harus menanggung beban karena harga bahan bakar minyak harus dinaikkan sampai minimum 50 persen.

Kenaikan tinggi itu pasti menimbulkan gejolak, terutama bagi masyarakat yang hidup pas-pasan, yang belum sempat bernapas dari cekikan kenaikan harga sebelumnya awal Januari lalu. Bagi mereka yang akan makin melarat ini, pemerintah menjanjikan ganti rugi Rp 100 ribu tiap bulannya untuk satu keluarga.

Pemberian duit langsung itu, kata Deputi Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas Bidang Kemiskinan, Bambang Widianto, karena program sebelumnya, berupa fasilitas kesehatan dan pendidikan, dinilai tak menjangkau seluruh rakyat miskin. ”Ada orang miskin yang tak punya akses ke dua program itu,” katanya.

Angka Rp 100 ribu itu mencongol dari hitungan penggunaan minyak tanah. Satu keluarga dengan dua anak rata-rata menggunakan 10 liter minyak setiap bulan. Jika harga minyak tanah naik dari Rp 700 ke Rp 2.000, pemerintah harus memberi kompensasi Rp 1.300 per liter, atau Rp 13.000.

Kenaikan harga BBM menyebabkan inflasi lima persen sehingga mereka juga harus mengeluarkan duit tambahan Rp 30 ribu. Jika ditotal, nilainya sekitar Rp 50 ribu. ”Kita genapkan jadi Rp 100 ribu, supaya aman,” ujarnya.

Bambang yakin, duit yang nilainya bagi kalangan menengah atas cuma belanja sekali makan siang itu bisa menutupi beban hidup yang makin berat. Subsidi langsung ini akan diberikan kepada keluarga miskin tiga bulan, atau Rp 300 ribu, mulai 1 Oktober, melalui kantor pos.

Pada tahap pertama akan dikucurkan Rp 4,6 triliun kepada 15,5 juta keluarga miskin, atau sekitar 62 juta jiwa (Susenas 2004). Kucuran kedua diberikan Januari 2006. Keluarga miskin yang sudah memegang kartu kompensasi BBM bisa mengambil duit itu di kantor pos.

Seraya jadwal penyaluran tinggal dua minggu lagi, Badan Pusat Statistik (BPS), yang mendapat tugas mencacah orang miskin, baru mendata 90 persen. Bahkan kartu kompensasi, yang jumlahnya 15,5 juta, belum dicetak sama sekali.

Problem lain adalah apakah kaum urban yang tinggal di kolong jembatan, pinggir rel kereta api, bantaran sungai, dan rumah kardus berhak atas kompensasi ini. Meski tinggal di Jakarta, mereka umumnya masih terdaftar di desanya masing-masing.

Pemerintah daerah tempat mereka tinggal juga tak mengakui mereka sebagai bagian dari penduduk kota, karena mereka menggunakan lahan terlarang. Dari sejumlah rapat pemerintah di Bappenas, ada yang menyebutkan kaum urban ini mungkin tidak akan diberi dana kompensasi. ”Ini bisa menimbulkan ketegangan baru,” kata sumber di Bappenas.

Meski begitu, Bambang yakin semua akan berjalan sesuai dengan jadwal. ”Proses pendataan dan pencetakan sedang dilakukan,” katanya. Data BPS segera dikirim ke kantor pos yang punya kemampuan mencetak sampai satu juta lembar kartu per hari. Namun, dia tak tahu berapa juta kartu yang sudah selesai dicetak.

Deputi Statistik Sosial BPS, Rusman Heriawan, mengatakan data 13,6 juta dari 15,5 juta keluarga miskin, atau 62 juta jiwa di seluruh Indonesia, sudah di tangan mereka. Data BPS 2004 menunjukkan, penduduk miskin Indonesia sekitar 36 juta jiwa. Angka ini melonjak karena BPS memasukkan orang yang mendekati miskin. ”Mereka yang mendapat dana adalah yang pengeluarannya untuk makanan dan nonmakanan di bawah Rp 700 ribu per bulan per keluarga,” kata Rusman.

Untuk satu keluarga, BPS mengalikannya dengan empat jiwa. BPS tak mendata orang miskin berdasarkan pendapatan, karena bisa saja seseorang berpenghasilan kecil tapi mempunyai tabungan atau pendapatan lain-lain yang membuat dia masih mampu mengeluarkan duit untuk makanan di atas 2.300 kalori per hari.

Rusman yakin bisa menyelesaikan sekitar 1,9 juta jiwa dalam dua minggu ini. Tenaga yang dikerahkan untuk proyek ini memang cukup besar, 210 ribu orang di sekujur Indonesia. Berdasarkan skedul, data yang sudah diverifikasi BPS baru akan dikirim ke PT Pos Indo Selasa pekan ini, untuk dicetak. ”Jadi, sama sekali belum ada kartu yang dicetak,” katanya.

Dari jutaan data orang miskin itu, kata Rusman, baru sebagian yang masuk ke Bappenas dan Departemen Sosial. Meski banyak soal, baik Rusman maupun Bambang yakin betul rencana di awal Oktober tak akan terkendala. ”Pengiriman kartu ke daerah dilakukan bertahap, tidak serentak,” katanya.

Untuk 15,5 juta keluarga miskin di seluruh Indonesia itu, Bambang memperkirakan prosesnya membutuhkan satudua bulan. Daerah yang pertama kali akan mendapat kiriman adalah Jawa Tengah dan Jawa Timur, karena datanya lebih siap.

Dia berharap tak akan ada kebocoran, karena mekanismenya sangat sederhana dan langsung sehingga celah korupsi tak banyak. ”Yang mungkin terjadi adalah salah target,” katanya. Sebuah unit penanganan sudah disiapkan mencegah ketegangan baru.

Bagi Bambang, pendataan adalah bagian terberat dari pekerjaan yang baru disiapkan Juli lalu itu. Ia mengakui, sagat sulit membedakan antara orang miskin dan setengah miskin. ”Secara fisik, mereka sama saja,” katanya. Artinya, jumlah orang miskin itu memang sudah luar biasa.

Leanika Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus