Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TENGGELAM di antara kerumunan perempuan harum dan lelaki bertuksedo, saya terpaksa melakukan pekerjaan menyebalkan itu. Beberapa orang datang dan bertanya di mana toilet. ”Please, over there, Sir,” kata saya berulang-ulang. Posisi saya di ruangan yang megah itu memang tak menguntungkan: di pojok dan berdiri kaku empat jam penuh tanpa sedikit pun ada kesempatan duduk. Saya merasa bagai Santa Klaus di toko mainan anak-anak pada sebuah malam Natal—tersenyum, berusaha gembira meski sesungguhnya dipaksakan.
Malam itu, Sabtu dua pekan lalu, saya memang tidak berada di toko mainan anak-anak. Saya tercagak di The Island Ballroom Hotel Shangri-La Singapura. Bagian depan ballroom disulap menjadi taman istana yang dipenuhi lukisan dekoratif bergambar deretan pohon bambu. Panggung berarsitektur istana Kaisar Cina dinasti Ming dan Ching di Kota Terlarang (Forbidden City) dihadirkan di satu sisi dalam ruangan. Malam itu terasa istimewa: Liem Sioe Liong, mantan taipan nomor wahid Indonesia kelahiran Fujian, Cina, berulang tahun yang ke-90. Buat orang Cina, sembilan merupakan simbol peruntungan, karena merupakan angka terbesar dalam deret desimal. Penghitungan hari ulang tahun Liem didasarkan pada penanggalan kalender Cina. Dalam tarikh Masehi, umur Om Liem sebetulnya baru 89 tahun. Ia lahir pada 16 Juli 1916.
Di pintu masuk hotel, puluhan wanita cantik berpakaian cheong sam merah menyala berjejer rapi menyambut lebih dari seribu tamu yang datang. Sebagian besar konglomerat papan atas Indonesia hadir. Di sana tampak antara lain Prajogo Pangestu (Grup Barito), Sofjan Wanandi (Gemala), Mochtar Riady (Lippo), Ciputra, Murdaya Poo beserta istrinya Siti Hartati Murdaya (Berca), Budi Hartono (Djarum), dan Sukanto Tanoto (Raja Garuda Mas). Juga datang tiga putri mantan Presiden Soeharto: Siti Hardijanti Rukmana, Siti Hediati Harijadi, dan Siti Hutami Endang Adiningsih. Sejumlah mantan pejabat Orde Baru pun tak ketinggalan. Moerdiono, Harmoko, Fuad Bawazier, dan Akbar Tandjung termasuk di antaranya. Pesta yang berlangsung dua malam itu—Sabtu dan Minggu—diperkirakan dihadiri 2.500 undangan dari Indonesia, Singapura, dan Cina.
Semua tamu diterbangkan dari daerah asal dengan Singapore Airlines. Di Singapura mereka menginap di Shangri-La dan di Hotel Meritus Meridien. Semua biaya terbang dan menginap ditanggung Om Liem. Servis serupa juga pernah diberikan Liem ketika ia merayakan pesta ulang tahun perkawinan ke-60, April tahun lalu. Pesta kawin emas Liem dan istri di hotel yang sama pada 1994 ditaksir menghabiskan dana US$ 650 ribu (Rp 6,5 miliar). Pesta ulang tahun Om Liem ke-90 diperkirakan koran berbahasa Cina, Lianhe Wanbao, menelan biaya US$ 2 juta (Rp 20 miliar).
BERJUBELNYA tamu penting membuat panitia pesta jauh-jauh hari sudah mendata ketat nama para tamu. Kartu undangan yang disebar dilengkapi bar code dan wajib dibawa saat datang untuk dicocokkan dengan data di komputer panitia. Setelah dipastikan bukan penyusup, para tamu mendapat cendera mata berupa huruf kanji kuno berlapis emas murni lima gram. Oleh panitia mereka diantar menuju meja makan sesuai dengan nomor yang telah ditentukan. Tak kurang dari 120 meja bundar—masing-masing berkapasitas 10 orang—disiapkan untuk menjamu para tamu.
Saya tak membawa undangan dan karenanya tak begitu yakin bisa masuk ke pesta itu. Tapi selalu saja ada jalan di saat-saat genting. Dalam antrean, menjelang pos pemeriksaan, saya terpikir untuk mencari toilet yang terletak di bagian dalam ballroom. Beruntung, petugas malam itu sangat ramah: mereka mempersilakan saya ke kamar kecil meski dengan demikian melewati pos sekuriti.
Jadilah saya tamu tak diundang yang menyaksikan pesta megah itu dari ruang sempit di sekitar pintu keluar ruang utama. Sesekali saya mendekat panggung utama untuk menyaksikan beberapa detail untuk kemudian menyingkir kembali ke pojok itu. Di sana bergerombol pelayan hotel dan tujuh juru foto dari Moreno Studio yang khusus diterbangkan dari Jakarta.
LIMA belas menit menjelang pukul delapan malam, perhelatan dimulai. Suara tambur menderu. Pintu utama ballroom dibuka. Liem Sioe Liong masuk dipapah oleh beberapa kerabatnya. Lagu Nan Erl Dang Zi Qiang, sound track film Kung Fu Master, segera menggema. Dimainkan oleh aktor Jet Li, Kung Fu Master bercerita tentang pahlawan legendaris rakyat Cina, Wong Fei Hung. Lebih dari seribu tamu yang hadir malam itu sontak berdiri memberikan hormat kepada Liem—”Sang Kaisar” bershio naga. Tepuk tangan membahana.
Ditemani istrinya, Lie Shu Zen, Liem beringsut naik ke panggung dengan bantuan sebilah papan hidrolik. Keempat anaknya—Albert, Andree, Anthoni, dan Mira—berdiri di sampingnya. Dengan jas hitam berdasi kupu-kupu warna merah marun, ia tampak sehat meski matanya kerap menatap kosong. Alunan musik dari Keat Hong Chinese Orchestra membahana. Bait-bait lagu Nan Erl bercerita tentang kesejatian seorang laki-laki.
Hanya sedikit kata yang disampaikan Liem dalam bahasa Mandarin saat memberikan sambutan. Sebentar kemudian, ia mengajak para tamu bersulang. ”Gaaan beei...,” terdengar aba-aba panjang. Gan bei adalah bahasa Cina untuk bersulang. Para tamu pun menyambut hangat ajakan itu. Acara kemudian dilanjutkan dengan santap malam.
Artis serba bisa asal Singapura, Kit Chan, khusus didatangkan dari Amerika Serikat—negeri tempatnya kini tinggal—untuk menghibur para tamu. Para undangan bernostalgia dengan beberapa lagu lama yang pernah dipopulerkan Teresa Teng, penyanyi top yang tak asing bagi warga keturunan Cina di seluruh dunia.
Selain makanan dan musik, para tamu juga disuguhi film dokumenter tentang kehidupan Liem melalui enam layar lebar yang terpampang di dua sisi ruangan.
Dalam film itu dikisahkan bagaimana Liem muda, saat itu 21 tahun, memulai kariernya sebagai pembuat krupuk dan tahu di Kudus, Jawa Tengah, setibanya ia dari tanah leluhurnya, Tiongkok.
Di kota itulah, Liem bertemu dengan gadis asal Lasem, Jawa Tengah, Lie Shu Zen, yang kini jadi istrinya. Menurut Mira Salim, putri Liem, ibunya sempat tak diizinkan orang tuanya untuk dinikahi Liem. ”Mereka khawatir, anaknya dibawa ke Tiongkok,” katanya. Tapi Liem berhasil meyakinkan calon mertuanya. Pesta perkawinan selama 12 hari pun dilangsungkan.
Liem kemudian hijrah ke Jakarta dan bisnisnya dari tahun ke tahun menggurita. Tak hanya di Indonesia, sayap bisnisnya melebar hingga Arab Saudi dan Nigeria. Ia pernah masuk dalam jajaran 100 orang terkaya versi majalah Fortune. Liem pernah menerima penghargaan dari pemerintah Spanyol. Ia juga pernah dinobatkan oleh Wharton School, University of Pennsylvania, AS, sebagai legenda dari Asia Tenggara.
Tapi terpaan badai krisis ekonomi 1997 membuat bisnisnya ringsek. Ia berutang kepada negara hingga Rp 52 triliun. Akibatnya, sejumlah aset emasnya, termasuk Bank Central Asia, harus lepas dari genggaman. Meski begitu, kerajaan bisnis Liem sepertinya tak pernah benar-benar pudar. Ia tetap menjadi pusat magnet di jagat bisnis Indonesia. Indofood dan Bogasari, dua dari sekian perusahaan Liem yang tersisa, tetap merajai bisnis makanan di Indonesia. Bisik-bisik menyebutkan, Liem sebenarnya masih punya banyak bisnis di Indonesia meski namanya secara formal tak tercatat sebagai pemilik.
Buat masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia, menurut Sofjan Wanandi, jasa Om Liem tak bisa dibilang kecil. ”Dia pernah membiayai 500 ribu warga Tionghoa mendapatkan kewarganegaraan Indonesia semasa Soeharto dulu,” ujarnya.
Wibawa Liem sebagai pebisnis memang belum tertandingi. Itu sebabnya para taipan dan tamu undangan lainnya rela antre satu jam untuk bisa bersalaman dengan Om Liem sebelum meninggalkan pesta yang berakhir pukul 11 malam itu. Liem menjabat erat satu per satu tamunya dengan ramah. Sesekali Liem tertegun jika lupa siapa orang yang ia hadapi. Anthoni Salim, anaknya, lalu membisikkan nama tamu yang tak diingat ayahnya.
Liem tampak menikmati pesta itu. Meski kini bermukim di Singapura—rumahnya di Jakarta dibakar massa pada 1998—ia tak pernah kehilangan pengaruh. Tamu membludak. Orang-orang penting tak melupakannya. Tiga putri Soeharto, menjelang pesta usai, mendatangi Liem dengan khidmat. Mereka menatap, menjabat tangan lelaki tua itu, lalu tersenyum mesra. Liem membalas jabatan itu. Ia tersenyum, memandang ketiganya satu per satu—seperti mengingat sebuah masa keemasan yang baru beberapa tahun silam ia tinggalkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo