MINYAK adalah darah bagi ekonomi Indonesia. Sumbangannya terhadap penerimaan dalam negeri, pukul rata, lebih dari 60% pada tiap tahun anggaran. Menciutnya penerimaan minyak karena harganya turun, bukan tak mungkin, akan mendorong pemerintah melakukan kebijaksanaan moneter untuk mengamankan APBN. Karena itu, banyak orang segera berjaga-jaga ketika, pekan lalu, OPEC terdengar menurunkan harga semua jenis minyak ringan anggotanya sebesar US$ 1 per barel. Mulai 1 Februari itu, minyak Minas Indonesia jadi US$ 28,53 per barel. Akibatnya dalam jangka pendek, penerimaan pajak perseroan minyak jelas bakal turun. Juga dari gas alam, karena harganya dikaitkan dengan harga minyak. Kalau penerimaan berkurang, akankah pemerintah melakukan tindakan devaluasi guna memperoleh pajak migas dalam rupiah seperti direncanakan APBN 1985 - 1986? Dugaan itu muncul, karena pada bulan Maret 1983 pemerintah pernah mendevaluasikan rupiah, menyusul turunnya harga patokan minyak OPEC dari US$ 34 jadi US$ 29 sebulan sebelumnya. Tapi Menko Ekuin dan Pengawasan Pembangunan Ali Wardhana segera muncul memberi penjelasan. Katanya, penurunan itu ternyata sangat terbatas pengaruhnya: hanya mengurangi pajak migas sebesar Rp 325 milyar, dan menciutkan penerimaan devisa sekitar US$ 300 juta, selama satu tahun anggaran. Karena pengaruhnya terbatas, pemerintah tak berniat mengubah sasaran penerimaan RAPBN 1985 - 1986. Tindakan devaluasi sekalipun juga tak akan dilakukan, mengingat cadangan devisa yang dikuasai pemerintah dan swasta cukup kuat: sekitar US$ 10 milyar. Menko Ali Wardhana, ketika itu, tak menyinggung sama sekali rencana realisasi penerimaan pajak migas APBN 1984-1985 sebesar Rp 10,37 trilyun. Sasaran sebesar itu mulai menjadi tanda tanya sesudah, sejak November tahun lalu, kuota produksi minyak Indonesia dikurangi 111 ribu barel per hari. Menurut perhitungan pemerintah, pengurangan produksi itu akan menyebabkan penerimaan pajak minyak berkurang Rp 178 milyar, dan bakal menciutkan pendapatan devisa US$ 196 juta. Hilangnya pajak dan devisa sebesar ini diharapkan akan segera bisa ditutup kembali, manakala permintaan minyak mulai menanjak dimusim dingin Januari lalu. Tapi, yang terjadi, konsumen ternyata kelihatan tetap kukuh dalam hawa dingin menggigit. Di Jepang sendiri, pasar minyak Indonesia makin kecil peranannya sebagai sumber pembangkit tenaga listrik - didesak minyak eks RRC dan gas alam dari sini (lihat: Cerita dari Sebuah Pasar). Perkembangan itu, tentu saja, cukup mendebarkan - meskipun penerimaan pajak migas 1984-1985 sudah mencapai Rp 7,8 trilyun (75% dari sasaran), sampai November lalu. Jadi, bisakah sasaran Rp 10,37 trilyun ditembak tanpa melakukan devaluasi? Seorang pengamat ekonomi punya keyakinan bahwa target itu bisa dicapai, dengan tetap mengandalkan pada ekspor minyak mentah 511 ribu barel, 120 ribu barel kondensat, dan lebih dari 700 juta ton LNG. Sikap percaya diri pemerintah itu, yang hingga kini menganggap tak perlu mendevaluasikan rupiah, cukup melegakan kalangan pengusaha. Menurut Edwarsyah, eksportir udang di Sumatera Utara, devaluasi yang hanya untuk menutupi kekurangan penerimaan pemerintah itu nantinya malah, "Hanya akan menaikkan harga di dalam negeri." Kata dia, benar devaluasi Maret 1983 bisa menaikkan volume ekspor udangnya sampai 30%, tapi karena harganya lemah sehingga nilai ekspor itu hanya naik 15%. Karena itu Edwarsyah beranggapan, devaluasi tak bisa digunakan untuk meningkatkan pendapatan riil eksportir. Kalangan industri substitusi impor, yang harus membayar semua utang dolarnya, Juga mengemukakan pendapat senada. Kata Yamien Tahir, wakil presiden direktur PT National Gobel, devaluasi hanya akan menambah beban pengusaha. Sebab, demikian pemimpin perusahaan penghasil barang elektronik National itu, kini pengusaha hanya dapat sedikit rupiah akibat kelesuan pasar. Kalangan industri automotif juga bisa sedikit menarik napas longgar. Naiknya nilai impor komponen akibat menguatnya dolar, hingga kini, tak bisa dikompensasikan dengan menaikkan harga mobil, mengingat pasar masih lesu. Karena devaluasi tak dilakukan, perakit Honda di sini masih berharap bisa mempertahankan volume penjualan mobilnya tahun ini, sama dengan tahun lalu: sekitar 700 unit setiap bulan. Kecepatan pemerintah memberikan penjelasan mengenai kebijaksanaan moneter itu juga menyebabkan sektor industri jasa keuangan bisa berangin-angin menyongsong tahun anggaran baru. Kata Mu'min Ali, executive vice president Panin Bank, sikap pemerintah itu mampu membikin masyarakat pemilik rupiah jadi tenang. Kalau sudah nervous, karena lama menunggu penielasan pemerintah, masyarakat bisa tidak percaya pada rupiah. Bukan tak mungkin, penubrukan dolar secara besar-besaran, seperti terjadi menjelang devaluasi Maret 1983, akan terjadi lagi. Syukur, usaha spekulatif itu tak terjadi lagi. Kebijaksanaan moneter tetap tak berubah karena, rupanya, pemerintah cukup tahan menerima pukulan penurunan harga minyak itu. Bahkan menurut Ekonom Hadi Soesastro, anggaran belanja pemerintah masih mampu menahan akibat penurunan harga minyak, sampai US$ 2 per barel sekalipun. Pendapat serupa juga dikemukakan Harvey Goldstein, presiden American Chamber (Amcham) Indonesia. "Menurut saya, perekonomian Indonesia masih sanggup memikul pukulan yang lebih besar dari itu," katanya. "Banyak yang bilang sampai harga minyak turun jadi US$ 25 per barel - tapi saya tak pasti." Goldstein tak memberi penjelasan lebih terinci. Menurut Iwan Jaya Azis, ekonomi dari UI, pemerintah memang masih akan mampu menahan akibat penurunan harga minyak itu, karena inflasi tahun ini diduga akan relatif rendah (single digit). Kemungkinan itu jadi terbuka, mengingat bahwa volume dolar hasil penerimaan pajak migas yang ditukarkan ke rupiah relatif tidak terlalu besar dibandingkan penerimaan rupiah dari sektor pajak, hingga tak banyak menambah uang beredar. Alhasil, "Kurs rupiah tidak akan anjlok terlalu besar, hingga saya kira tak perlu devaluasi," katanya. Tapi seorang pengamat ekonomi beranggapan bahwa mustahil pemerintah tidak akan melakukan tindakan penyesuaian. Kata dia, asumsi kehilangan penerimaan pajak migas dan devisa masing-masing sebesar Rp 325 milyar dan US$ 300 juta didasarkan pada harga dan volume ekspor minyak Indonesia tidak berubah. Tapi siapa sangka, menjelang musim panas Agustus nanti, harga minyak tidak mendapat tekanan lagi. Seorang importir minyak di Jepang meramalkan bahwa sekitar April-Juni, minyak OPEC turun lagi. Karena alasan itu, ekonom tadi beranggapan bahwa pemerintah, tampaknya, harus mengambil salah satu dari dua pilihan tidak populer: devaluasi atau penundaan cicilan utang. Devaluasi perlu dilakukan, karena pemerintah dianggapnya menilai rupiah terlalu kuat sepanjang tahun anggaran 1985-1986 nanti. Anggapan ini mungkin betul. Kata sebuah sumber, kurs yang dipakai pemerintah untuk mengkonversikan penerimaan kotor pajak minyak sebesar US$ 14,22 milyar adalah kurang dari Rp 1.100 per dolar. Kurs berani itu, boleh jadi, tak akan goyang seandainya realisasi ekspor minyak mentah sepanjang tahun anggaran tetap 511 ribu barel sehari seperti direncanakan. Kata sebuah sumber, kurs itu mungkin bisa dipertahankan, jika penurunan harga minyak tadi bisa dikompensasikan dengan naiknya penerimaan bersih pajak minyak. Dan ini banyak tergantung dari besar kecilnya biaya untuk menyedot minyak. Celakanya, biaya ini ternyata cukup besar: diperkirakan bergerak antara US$ 2,24 dan US$ 15,90 untuk setiap penyedotan minyak mentah satu barel. Sumur-sumur minyak di luar milik PT Caltex, pada umumnya, menelan biaya cukup besar. "Maklum, sumurnya kecil-kecil, hingga banyak memakan biaya," 'kata sumber itu. Untuk menekan biaya itu, pemerintah rupanya tak segan-segan melakukan pemeriksaan laporan keuangan para kontraktor minyak asing. Hasilnya cukup lumayan: untuk tahun anggaran 1984-1985, pemerintah mengoreksi pengeluaran para kontraktor itu sebesar US$ 93,1 juta (sampai Desember 1984). Tahun anggaran lalu, koreksi itu meliputi US$ 99 juta. Sejauh ini, hasil pemeriksaan di kontraktor minyak asing itu tidak menunjukkan adanya bukti-bukti manipulasi. "Yang ada cuma masalah perbedaan interpretasi peraturan," ujar Gandhi, ketua Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Mungkin saja usaha itu bisa menaikkan bagian penerimaan bersih pajak minyak. Seandainya tetap macet, berkurangnya penerimaan paJak minyak itu akan dikompensasikan dengan penarikan kredit yang sudah disetujui. Tapi, kata seorang ekonom, penarikan kredit dari badan-badan multilateral, biasanya, menuntut persyaratan cukup berat dari negara penerima. Di situ, misalnya, diminta proposal dari proyek yang akan disuntik dengan bantuan tadi. Juga akan ditanya bagaimana institusi pengelola dananya. Pengalaman menunjukkan, karena aparat birokrasinya lemah, penarikan kredit tidak bisa dilakukan dalam semalam. Bagaimana usaha mengurangi tekanan penerimaan itu? Ekonom Hartojo Wignjowijoto menganJurkan agar pemerintah mengurangi pengeluaran pembangunan desa, kota, dan daerah. Itu bisa dilakukan, jika pemerintah pusat bersedia memberi otonomi lebih luas pada pemerintah daerah untuk menggali dana dari sumber setempat. Dengan cara demikian, nantinya, pemberian bantuan pusat yang kecil diduganya akan mampu mendorong pengeluaran pemda lebih besar. "Juga merangsang pemda membuat program yang cocok dengan kebutuhan daerahnya," katanya. Iwan Jaya Aziz juga mengemukakar pendapat serupa. Katanya, pengeluaran pembangunan untuk desa, kota, dan daerah sebesar Rp 810 milyar dan Rp 86 milyar pada tahun anggaran 1984-1985 dan 1985-1986 jelas merupakan faktor penekan cukup berat terhadap APBN Bagi daerah sendiri, besarnya bantuan pemerintah pusat itu - rata-rata 75% dari penerimaan APBD mereka - menyebabkan pemda tidak terangsang mencari sumber dana setempat. Iwan beranggapan, kalau toh pusat mau memberi bantuan, "Seharusnya didasarkan pada kemampuan daerah itu, bukan didasarkan pada besarnya penduduk seperti selama ini." Kedua ekonom ini tampaknya percaya, Jlka pemberian otonomi itu bisa dikelola dengan baik, kekhawatiran bahwa desentralisasi akan melecut munculnya semangat regionalisme bisa sirna. Dengan menggali sumber dana dalam negeri, keduanya berkeyakinan, pemerintah bakal bisa lolos dari gejolak harga minyak setiap saat. Pajak, misalnya, bisa ditingkatkan penerimaannya dengan memperluas subyek dan obyek kena pajak. Kebutuhan untuk melakukan tindakan penyesuaian memang mendesak dilakukan pemerintah, bila pengaruh penurunan harga minyak itu dalam jangka pendek terasa menekan APBN. Sebaliknya bagi sektor kegiatan ekonomi mikro. Meskipun pengaruhnya belum segera terasa, penurunan harga minyak itu telah mendorong sejumlah pengusaha membuat perkiraan agak suram. Sudradjat D.P., direktur pelaksana PT Djajanti Djaja, misalnya, menduga bahwa Aljazair akan segera mengurangi pembelian kayu lapis perusahaannya, karena penurunan harga itu akan menyebabkan penerimaan devisanya berkurang. Padahal, Aljazair, yang tahun lalu membeli kayu lapis Djajanti US$ 35 juta, adalah pasar yang diandalkan. Eksportir karet alam juga sudah merasakan ancaman akibat penurunan harga minyak itu. Menurut Harry Tanugraha, direktur pelaksana Gabungan Pengusaha Karet Indonesia, turunnya harga minyak akan memberi angin kepada karet sintetis yang bahan bakunya berasal dari minyak bumi. Sialnya lagi, di saat karet sintetis bakal dapat angin, biaya mengolah karet alam Indonesia makin naik karena harga BBM bakal naik akibat dikenai pajak. Saat ini, karet alam Indonesia jenis SIR 20, yang setiap kilo harganya 75 sen dolar, mendapat saingan karet sintetis SBR, yang harganya 77 sampai 80 sen dolar. Ancang-ancang serupa itu juga bakal diambil para pabrikan substitusi impor. Mereka memperkirakan biaya dana akan makin mahal akibat dolar makin kuat nilainya. Wim Kalona, pengusaha yang memimpin puluhan industri farmasi, misalnya, sedang mengambil ancang-ancang untuk membuat persediaan bahan baku lebih banyak hingga di atas kebutuhan normal tigabulan. Kata dia, PT Darya Varia Laboratoria, perusahaan farmasi yang dipimpinnya, setiap bulan mengimpor bahan baku tak kurang dari US$ 300 ribu. Tapi usaha membuat stok berlebih itu dianggap Yamien Tahir, wakil presiden direktur PT National Gobel malah akan makan banyak biaya. Maklum, tatkala penjualan sedang lesu, biaya dana untuk membuat stok berlebih itu tinggi bunganya. Menurut dia, dalam situasi seperti sekarang ini, pengusaha sebaiknya mengusahakan persediaan yang masuk akal. Berdasarkan alasan itulah, "Hingga kini Gobel mempertahankan persediaan suku cadang dan barang jadi untuk jangka 2 1/2 bulan saja," katanya. Kebijaksanaan perusahaan memang bisa berbeda-beda dalam menghadapi penurunan harga minyak yang, mungkin, akan mempengaruhi suku bunga dan nilai dolar. Yang sudah pasti, menurut Mu'min Ali dari Panin Bank, suku bunga pinjaman tidak mungkin turun. Sampai April nanti, katanya, tingkat suku bunga masih tetap tinggi. Dan nilai dolar - dia hanya berani meramal sampai satu bulan mendatang - masih akan tetap kuat. "Saya tak berani membuat perkiraan jangka panjang, sebab sering tidak sesuai dengan kenyataan," katanya. Sikap seperti ini belakangan jadi pegangan banyak pengusaha, terutama sesudah harga minyak dan dolar yang kait-berkait itu berubah dengan cepatnya. Tindakan penyesuaian akan cepatdilakukan pengusaha yang mempunyai skala usaha kecil. Tapi bagi sebuah pemerintah, yang mengelola dana trilyunan, tindakan penyesuaian jelas tak bisa dilakukan buru-buru, mengingat akibatnya akan mempengaruhi banyak sektor kehidupan. Karena itu, biasanya, pemerintah membuat perkiraan sedikit konservatif - terutama dalam menduga prospek harga minyak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini