Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menghadapi masa sulit 1987 mengerem defisit di tahun sulit

Devisa ri terkuras gara-gara harga minyak jatuh. internasionalisasi dapat membantu para pengusaha. indonesia menggenjot ekspor nonmigas meski harganya murah. bi menambah utang. angka dsr merisaukan.(eb)

20 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI hari-hari akhir menjelang tutup tahun, Menteri Keuangan Radius Prawiro biasanya memberi gambaran mengenai volume RAPBN untuk tahun anggaran mendatang. Secara garis besar akan disebutnya apakah nilainya akan turun, tetap, atau naik dibandingkan tahun anggaran berjalan. Tapi, ketika pekan lalu berbicara di DPR, Menteri Radius ternyata hanya mengeluarkan sejumlah pantun dari catatan di mapnya. "Buah kedondong rasanya masam/Jangan dimakan waktu siang/Gambaran RAPBN kita masih suram/Marilah kita tetap kencangkan ikat pinggang," katanya. Pantun itu rasanya memang pas untuk menggambarkan kekecutan dan sekaligus ketidakpastian perekonomian tahun mendatang. Sebab, tidak seperti masa setahun atau dua tahun lalu, orang kini makin sulit memegang buntut harga minyak. Bayangkan, harga minyak yang di akhir 1985 masih US$ 25 per barel, di hari-hari berikutnya bisa jadi bulan-bulanan para pedagang -- hingga pernah hanya berharga US$ 9,83 di bulan Agustus lalu. Ketika sidang para menteri perminyakan OPEC di Jenewa pekan ini menunjukkan niat untuk mengurangi kuota produksi 17 juta barel sehari -- harga minyak itu kelihatan mulai beringsut meninggalkan dasar sumur. Minyak untuk penyerahan Januari mendatang harganya tercatat sudah US$ 16 lebih sedikit. Tapi Menteri Radius, yang menyusun APBN dan Neraca Pembayaran 1986-1987 dengan asumsi harga minyak US$ 25, tetap belum bisa makan kedondong siang hari. Ada gangguan lain dari luar, yang pukulannya terasa sama sakitnya dengan robohnya harga minyak, yaitu rontoknya harga dolar yang diduga masih akan berlanjut hingga 1987. Gara-gara dolar merosot 30% melawan yen, angsuran utang pemerintah mendadak jadi menggelembung (lihat Menunggu Siasat Baru BI). Uang yang diperoleh dari menjual migas dan pelbagai komoditi primer juga terasa kecil nilainya karena kebanyakan bahan penolong dan bahan baku itu dibeli dari Jepang dengan yen. Jadi, bagaimana RAPBN dan Neraca Pembayaran 1987-1988 harus disusun? Berapa harga minyak dan kurs rupiah yang akan dipakai untuk penyusunannya? "Kami akan membuat anggaran yang lebih realistis," kata Menteri Radius. "Anggaran yang sekarang ini tidak realistis, karena harga minyak kini US$ 12 atau US$ 10, bukan US$ 25 per barel seperti yang diduga." Realistis di situ bisa berarti anggaran atang nilainya akan sama dengan rjalan yang kini Rp 21,4 trilyun, karena prospek penerimaan migas masih belum pasti. Tapi bisa juga berarti bakal sedikit naik untuk menyesuaikan diri dengan laju kenaikan inflasi akibat devaluasi 12 September minyak? Tentu tak dipakai angka US$ 25. Bank Dunia meramalkan harga minyak tahun depan akan bergerak ke angka US$ 17, dan setahun kemudian naik lagi jadi US$ 19,5 per barel -- dengan kenaikan produksi dari 1,52 juta ke 1,58 juta barel sehari. Kalau sidang OPEC di Jenewa pekan ini sepakat mengurangi kuota produksi 13 anggotanya yang 17 juta barel, angka produksi ramalan Bank Dunia itu agaknya sulit dicapai. Indonesia, seperti diketahui, mendapat kuota 1,333 juta barel sehari berikut kondensat. Dengan situasi serba masam seperti itu, agak berat rasanya bila sasaran pajak migas untuk tahun 1987-1988 akan dibuat jauh di atas angka tahun anggaran berjalan yang Rp 9,7 trilyun -- meskipun sudah ditolong dengan devaluasi. Dari pajak nonmigas mungkin akan ada kenaikan sedikit, karena masih banyak dari wajib pajak yang kena menang resesi. Singkat cerita, ruang gerak RAPBN 1987-1988 nanti masih akan terasa sangat ketat. Untuk melonggarkannya, pemerintah sudah berjanji tak akan melakukan pembiayaan defisit dengan meminjam uang ke Bank Indonesia, karena dikhawatirkan ahan mencambuk neraca pembayaran sekaligus meledakkan inflasi. Jalan keluar seperti itu juga tak disarankan Bank Dunia. Lembaga keuangan ini malah menganjurkan agar pemerintah berusaha mengali pembiayaan di luar APBN -- dengan mencari pinjaman di dalam negeri, atau meminta badan usaha milik negara membiayai dirinya dengan hasil labanya sendiri. Sedang proyek-proyek yang akan banyak memakan barang Impor, seperti Pusat Aromatik dan Olefin, dianjurkannya dibiayai dengan penyertaan modal dari luar negeri, atau dengan cara nonrecourse financing -- pembayaran kembali biaya valuta asingnya dilakukan sepenuhnya dari hasil bersih ekspornya. Dua proyek yang sudah disebut akan dibiayai dengan cara pembiayaan seperti itu adalah pembangunan kilang LPG (liquefied petroleum gas) di Arun (sekitar US$ 470 juta) dan kilang LPG di Bontang (sekitar US$ 196 juta). Pembiayaan dengan cara seperti ini bisa disebut menguntungkan, karena semua risiko dan kewajiban membayar biaya valuta asing sepenuhnya dipikul operator kilang bersangkutan. Dengan demikian tak membebani neraca pembayaran. Jeleknya tentu ada. Operator kilang yang semuanya adalah perusahaan Jepang, calon pembeli LPG, mungkin akan sedikit sekali menggunakan barang dan jasa produksi lokal. Pipa dan pelat baja bisa jadi akan diimpor semuanya dari Jepang. Bahkan pekerjaan konstruksinya sekalipun, mungkin, akan mereka borong sekaligus. Cara lain yang diusahakan pemerintah adalah memperbesar komponen pembiayaan bantuan lunak, yang dananya dicampur rupiah APBN. Untuk menaikkan nilai tambah pada penjualan barang dan jasa lokal, sebagian dari pembiayaan valuta asing itu diminta agar boleh ditransfer dalam bentuk rupiah lewat Bank Indonesia. Pada tingkat pertama penarikan bantuan itu akan merupakan penambahan devisa, sesudah nanti dicairkan dalam bentuk rupiah akan terasa sebagai ekspansi anggaran belanja negara. Pihak OECF (Overseas Economic Cooperative Fund) di Jepang, yang selama ini dikenal banyak memberikan bantuan lunak misalnya, ternyata malah mengaku belum menerima permintaan semacam itu. Kalau kemudian ada permintaan menaikkan bantuan, "Saya harap pemerintah Jepang akan mengabulkan permintaan itu," kata Hiroshi Yamada, wakil OECF di Jakarta. Yang terjadi, kabarnya, malah sebaliknya: Entah karena apa Jepang tak menyetujui pembiayaan model itu. Bila semua usaha mendapatkan tambahan pembiayaan dengan pintu-pintu baru itu tertutup, alamat kurang baik bagi banyak sektor usaha yang bisnisnya banyak tergantung kantung APBN. Sektor jasa konstruksi, misalnya, akan makin tak berkutik sesudah dua tahun terakhir jumlah proyek yang mereka tangani makin susut. Dari 1.700-an perusahaan konstruksi kelas A (yang boleh mengerjakan proyek di atas Rp 500 juta), yang aktif paling tinggal 500-an saja. "Masa jaya sektor konstruksi sudah lewat," kata Erwin Pardede, Sekjen Gabungan Pelaksana Konstruksi Indonesia, yang juga Direktur Utama PT Lanes, kepada wartawan TEMPO Suhardjo Hs. "Bagi mereka yang tak mampu lagi seyogyanya mengalihkan usahanya, mumpung modal masih ada." Makin sempitnya ruang gerak mereka itu sesungguhnya bukan hanya lantaran jumlah proyek menyusut, melainkan juga karena model pembiayaannya berubah. Sebuah proyek jembatan bernilai Rp 200 juta, misalnya, dulu bisa dikerjakan kontraktor golongan menengah ke bawah karena pembiayaannya sepenuhnya dipikul APBN dan APBD. Tapi, karena rupiah APBN pusat tidak cukup, sebagian dari pembiayaan itu lalu harus dipikul bantuan asing hingga membuka kemungkinan kontraktor besar dan asing masuk ke situ. Maka, kalau untuk tahun anggaran mendatang pemerintah semakin banyak meminta lembaga multilateral dan bilateral ikut memikul sebagian dari pembiayaan rupiah itu, jelas bukan kabar gembira bagi si kecil. Asas pemerataan seperti diatur dengan pelbagai Inpres itu, agaknya, harus dilupakan sejenak agar momentum pembangunan dan pertumbuhan ekonomi bisa tetap dijaga. Jadi, sektor konstruksi tidak bisa diharapkan akan menambah banyak kesempatan kerja -- yang terjadi mungkin bisa sebaliknya. Padahal, di masa harga minyak sedang mendaki mendekati angka US$ 34 per barel, di tahun 1982, sektor industri konstruksi ini cukup banyak menyerap tenaga kerja. Lebih dari dua juta dari 57 juta orang yang bekerja ketika itu diserap di sektor jasa ini. Waktu itu, memang, banyak proyek besar seperti perluasan kilang minyak Cilacap dan Balikpapan dan pengilangan gas alam cair Arun dan Bontang, sedang ramai-ramainya digarap. Dua tahun sebelumnya, ketika harga minyak masih US$ 26, mereka yang bekerja di sektor ini tercatat baru 1,6 juta orang. Bila kesempatan kerja di sektor itu menciut, kebanyakan dari para pekerja tadi biasanya kembali terserap ke sektor pertanian sebagian lagi diduga akan masuk ke sektor perdagangan besar dan eceran. Tapi tidak selamanya perpindahan tenaga kerja itu mulus, dan bisa diserap sektor lain. Tentu soal menciptakan lapangan kerja itu tidak harus selalu karena pemerintah mengadakan proyek-proyek. Naiknya permintaan akan barang yang dihasilkan sektor industri pengelolahan misalnya, sebenarnya bisa juga secara tak langsung ikut menciptakan lapangan kerja. Pekerja di sebuah pabrik, mungkin, akan ditambah bila kapasitas pabrik naik beberapa kali hingga perlu bekerja sampai tiga regu. Perusahaan yang bisa mengakumulasikan modal dari keuntungannya juga akan menciptakan lapangan kerja, jika uang yang diperolehnya tadi digunakan untuk membuka usaha baru. Dari mana agregat permintaan akan datang ? Salah satu di antaranya adalah dari besarnya jumlah rupiah yang keluar dari APBN. Tapi usaha menaikkan agregat permintaan itu tidak dikehendaki Bank Dunia. Guna menjaga agar defisit transaksi berjalan pada neraca pembayaran bisa dikelola dengan baik, pemerintah dianjurkannya, "Mengerem kenaikan agregat permintaan itu." Bila permintaan konsumen akan barang direm, permintaan industri substitusi impor akan bahan baku dan penolong impor otomatis akan tertekan. Devisa memang bisa dihemat. Tapi, akibat pengendalian itu, diakui Bank Dunia, akan memukul usaha penciptaan lapangan kerja dan perbaikan gaji buruh untuk masa satu atau dua tahun mendarang. Tapi hanya dengan cara itu, transaksi berjalan pada neraca pembayaran untuk tahun 1987-1988 dan 1988-1989 diharapkan bisa dikelola dengan baik pada tingkat defisit US$ 2,5 milyar dan US$ 1,7 milyar. Untuk jangka pendek, memang kebijaksanaan itu akan mengerem impor barang, dan sekaligus diharapkan bisa memperbaiki efisiensi industri dalam negeri. Menurut Bank Dunia, langkah pengendalian itu perlu dilakukan karena situasi ekonomi dunia masih penuh ketidakpastian. Tingkat pengorbanan itu sendiri, tentu, akan banyak ditentukan oleh faktor harga minyak. Jadi, bila harga minyak untuk tahun 1986 ternyata US$ 2 lebih rendah dari dugaan US$ 13,5, impor barang harus dikurangi sampai US$ 700 juta. Pemerintah rupanya bersedia menjawab anjuran itu dengan tindakan tak populer sekalipun untuk mendahulukan kepentingan makro. Yang kemudian dilakukan memang selaras dengan anjuran itu: Devaluasi rupiah 45%. Dengan tindakan moneter itu otomatis permintaan akan impor bahan baku dan barang modal tertekan. Sebaliknya, dengan devaluasi barang-barang yang dihasilkan untuk tujuan ekspor bisa tercambuk naik. Ekspor tekstil dan produk-produknya yang Juli lalu sudah US$ 514 juta, atau hampir sama dengan hasil seluruh tahun 1985, ditargetkan akan mencapai US$ 900 juta. Eropa, menurut Musa, Ketua Harian Asosiasi Pertekstilan Indonesia, muncul sebagai pasar kuat. Volume perdagangan Jerman Barat, misalnya, tahun ini diduga akan mencapai US$ 150 milyar. "Dunia secara berangsur kelihatan seperti pulih kembali sehabis digasak resesi," katanya kepada wartawan TEMPO Ahmed Soeriawidjaja. Yang masih merisaukan adalah pasar dalam negeri. "Daya beli di pasar lokal itu akan banyak ditentukan oleh volume APBN, naikkah gaji pegawai negeri nantinya?" tanyanya. Tekstil dan produk-produknya adalah barang ekspor hasil industri pengolahan yang harganya relatif baik. Beda nasibnya dengan komoditi perkebunan seperti minyak kelapa sawit, atau bahan tambang macam timah yang harganya cenderung turun dan sialnya, tingkat konsumsinya di luar negeri juga makin ciut. Karena sebagian besar ekspor Indonesia adalah hasil perkebunan, pertanian, dan bahan tambang, tak heran bila nilainya jarang membuat kejutan kenaikannya. Menurut perkiraan Willem A. van den Wall Bake, wakil presiden perwakilan Morgan Guaranty Trust, ekspor komoditi perkebunan dan pertanian itu hanya akan naik dalam volume. Meskipun harganya jatuh, "Indonesia toh akan bisa menaikkan pangsa pasarnya, karena harganya akan bersaing," katanya. Tapi Bank Dunia rupanya lebih suka membuat proyeksi tinggi, dengan memperkirakan nilai ekspor komoditi pertanian dan perkebunan itu rata-rata naik sekitar 5% setiap tahun untuk masa tiga tahun mendatang. Secara keseluruhan, lembaga ini menduga hasil seluruh ekspor migas dan nonmigas sesudah tertekan di tahun 1986-1987 dengan hanya mengantungi dolar US$ 14,2 juta akan pulih kembali di tahun anggaran berikutnya. Untuk tahun anggaran 1987-1988 dan 1988-1989, masing-masing diproyeksikan bakal mengumpulkan devisa US$ 16,9 juta dan US$ 19,9 juta. Tapi hasil devisa sebesar itu jadi kecil artinya karena sekitar 27% barang impor kita dibeli dari Jepang, dan 30% lainnya dibeli dari pelbagai negara yang mata uangnya cenderung menguat melawan dolar. Jika hasil ekspor tadi dideflasikan dengan indeks harga impor dengan tahun dasar 1983, kapasitas Indonesia dalam mengimpor barang untuk tahun 1985-1986 dan 1986-1987, masing-masing, minus 10,3% dan 27,5%. Baru untuk dua tahun anggaran berikutnya, menurut Bank Dunia, kapasitas itu akan naik kembali (lihat Grafik 1). Dalam skala mikro pengaruh dari tindakan itu sudah terasa. PT Saro Godung, importir bahan kimia penyamakan kulit, peralatan kedokteran, dan bahan baku obat-obatan, mengaku terpukul cukup telak. Untuk mempertahankan efisiensi, importir itu lebih suka mengurangi volume kerja. Apa lagi kalau bukan mengurangi 70 karyawannya. Korban dari sektor usaha, yang selama ini dikenal banyak memakan bahan penolong atau bahan baku impor, tampaknya bakal bergelimpangan. Masa yang paling pahit bagi sektor ini memang bakal tiba. "Saya kira sekarang ini terlalu banyak suara pesimistis," kata Dr. Tawang Alun, staf pengajar FE UI. "Padahal, apa yang digambarkan itu belum tentu akan terjadi." Sikap pesimistis berlebihan itu sendiri tentu tidak baik. Sebab, kata Tawang Alun, sikap itu justru akan mendorong munculnya pelarian modal ke luar negeri. Dia menyebut sikap pengusaha dan masyarakat yang terlalu berlebihan menghargai dolar bisa menyebabkan nilai rupiah jadi turun. "Sekarang ini inflasi 'kan rendah, jadi penurunan rupiah seharusnya tidak lebih cepat dari laju inflasi," katanya. Juga tentu bagaimana sikap pemerintah dalam melanjutkan beleid sebelumnya. Contohnya Pasar Modal yang setelah deregulasi Perbankan Juni 1983 dan UU Pajak Penghasilan 1984 seperti dibuang bagai anak tiri. Beleid pemerintah yang mengenakan pajak terhadap dividen perusahaan yang sudah go public, dan membebaskan bunga deposito dari pajak, dianggap merupakan salah satu faktor yang menyebabkan indeks harga saham (IHS) 24 perusahaan terus bergerak meluncur turun. Sebelum devaluasi lalu, IHS di sana tercatat hanya 61,3%. Angka itu beringsut naik ke 68% setelah Ditjen Pajak menyatakan kekayaan perusahaan bisa direvaluasi untuk menolong likuiditas perusahaan dari kesulitan devaluasi. Yang dibutuhkan untuk menghidupkan pasar modal adalah agar pemerintah membolehkan aliran modal dari dana pensiun luar negeri membeli saham di sini. "Investasi langsung membeli saham PMA di sini sudah diperbolehkan, mengapa untuk pasar modal tidak?" kata Prof. Barli Halim Ketua Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam). Globalisasi atau internasionalisasi Pasar Modal Indonesia itu diperkirakannya akan menolong banyak perusahaan memperoleh sumber dana murah, bila dibandingkan dengan suku bunga bank di dalam negeri yang 18%-24%. "Dana-dana pensiun itu lebih suka membeli saham perusahaan yang titik berat pemasarannya di dalam negara bersangkutan," kata Barli. "Ini salah satu keunggulan pasar modal kita. Soal sumber dana murah ini memang menjadi salah satu kendala bagi banyak perusahaan swasta untuk mengembangkan diri. Kalau globalisasi bisa diwujudkan, bukan tak mungkin harga kredit dari bank akan ikut tertekan. Bank akhirnya melakukan efisiensi, mengurangi tingkat laba. Di tahun sulit 1987 mendatang sebuah terobosan tampaknya memang diperlukan lagi. Formula bagaimana yang akan dilahirkan para teknokrat kita, para bidan ekonomi Indonesia itulah yang tentu lebih tahu. Yang pasti, orang di luaran tak mengharapkan formula baru itu akan berupa devaluasi lagi. Masih banyak cara lain bisa ditempuh yang paling tidak, membuat Menteri Radius tak perlu makan kedondong di siang bolong. Eddy Herwanto Laporan Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus