RESESI konon sudah mulai pulih di negara-negara industri. Apalagi, minyak bumi, yang banyak berperan memutar roda-roda industri di sana, sudah cukup murah. Kemungkinan masa minyak murah ini masih akan berlanjut tahun depan. Akibatnya, jelas pendapatan pemerintah dari situ untuk dimanfaatkan bagi pembangunan belum bisa ditingkatkan, bahkan kemungkinan diciutkan. Tabungan devisa Indonesia dari minyak pun demikian. Lebih runyam, kejatuhan harga minyak itu belum bisa diimbangi oleh peningkatan ekspor barang-barang hasil tradisional. Di pihak Indonesia sebagai pengekspor, tidak mudah meningkatkan produksi barang-barang ekspor tradisional karena membutuhkan raktu dan modal. Sebaliknya, negara-negara industri, yang kini bisa menghemat devisa dengan mengimpor minyak murah itu, tidak berniat meningkatkan permintaan hasil-hasil nonminyak dari Indonesia. Masalahnya, mereka juga telah berhasil mengurangi pemakaian bahan baku industri. Sebagian karena adanya penemuan teknologi serta efisiensi yang telah dikembangkan di sana. Pemakaian tembaga, misalnya, sudah berkurang banyak. Industri kabel, yang dulunya banyak menyerap tembaga, kini mulai beralih memakai kaca. Kabel kaca serat, ternyata, lebih irit biaya produksinya tapi kemampuannya lebih tangguh. Untuk kabel telepon, misalnya, kabel kaca selat ukuran sehelai rambut mampu menyalurkan lebih dari 3.800 percakapan telepon dan hanya membutuhkan 70 kg kaca per km. Sedang kan kabel tembaga sebesar ular berdiameter 6 cm hanya bisa menyalurkan 1.200 percakapan telepon, tembaga yang dibutuhkan kurang lebih 22 ton per km. Pemakaian timah pun begitu. Dalam industri elektronik, misalnya, berkat perobotan di Jepang, pemakaian timah untuk solder jadi semakin tipis. Di kalangan industri pengemasan (kaleng), timah kini mulai tergeser oleh plastik. Hal-hal seperti itu berlaku pula pada pemakaian barang tambang lainnya, seperti nikel dan aluminium. Hasil-hasil tradisional dari perkebunan pun cukup menyedihkan. Negara-negara industri bukan hanya mengurangi impor, bahkan mengekang produksi hasil pertanian, seperti karet dan kopi, lewat perjanjian internasional seperti INRA (International Natural Rubber Agreement) dan ICO (International Coffce Organiation). Semua hal tersebut jelas merupakan tantangan Indonesia dalam meningkatkan ekspor komoditi nonmigas. Untuk bisa mendapatkan devisa lebih banyak, ekspor ditingkatkan dalam jumlah. Langkah ini, ternyata, dinilai Bank Dunia sebagai suatu "kekeliruan". Karena apa? Kenyataannya, negara-negara industri semakin bisa menghemat devisa, sedangkan negara-negara berkembang semakin kecil meraih devisa. Harga barang galian seperti timah dan aluminium, dalam dua tahun terakhir, telah jatuh masing-masing 45% dan 9%. Sedangkan hasil perkebunan seperti minyak sawit, karet, dan teh, masing-masing telah merosot 66%, 45%, dan 17%. (Lihat diagram harga komoditi internasional). Penyusutan daya beli itu lebih terasa bagi masyarakat, bila harus membeli barang impor itu dihitung dengan rupiah, yang telah didevaluasi September lalu. Seandainya PT Timah mau membeli sebuah mobil Honda Accord untuk seorang pejabatnya, tahun 1984 mungkin cukup dengan menjual 2,6 ton timah. Tapi kini, dengan harga timah sekitar US$ 6.400 (sekitar Rp 10,6 juta) per ton, PT Timah harus menjual sekitar 3,9 ton timah untuk bisa membeli Honda Accord yang kini berharga sekitar Rp 42 juta. Petani karet sekarang harus menjual sekitar 30.000 kg karet untuk membeli Toyota Kijang yang kini berharga sekitar Rp 12 juta, sedangkan dua tahun silam petani cukup mengumpulkan 10.000-15.000 kg getah karet. Kendati keadaan tampaknya sebegitu suram dan dinilai sebagai langkah yang salah oleh Bank Dunia, paling tidak itulah pilihan bagi perusahaan-perusahaan penghasil barang tradisional untuk memperpanjang umur. PT Timah, misalnya. Akibat ambruknya bursa timah di London disusul jatuhnya harga timah di pasaran dunia, PT Timah meningkatkan ekspor timah dari sekitar 1.500 ton per bulan menjadi sekitar 2.100 sampai 2.300 ton per bulan sejak April 1986. Tahun silam ekspor timah Indonesia tercatat hanya 21.900 ton, tapi tahun ini, menurut juru bicara PT Timah, ditargetkan mencapai 27.000 ton. Apa yang dilakukan PT Timah, sebenarnya, sudah dilakukan PT Freeport International Indonesia, yang menambang tembaga di Irian Jaya. Harga tembaga tahun 1980 masih sekitar US$ 1 telah jatuh menjadi sekitar US$ 0,65 per kg, sejak 1984. Kejatuhan harga itu mendorong Freeport meningkatkan produksi dari 7. 500 ton menjadi 13.500 ton konsentrat per hari. Dengan cara itu, ongkos produksi, yang semula sekitar US$ 0,70, bisa tertolong. Konsentrat yang diekspor seluruhnya ke Jepang itu tahun 1983 hanya meraih US$ 81 juta. Tahun 1984 dan 1985 bisa menghasilkan US$ 134 juta dan tahun silam US$ 126 juta, sedangkan semester I tahun ini sudah menghasilkan sekitar US$ 80 juta. Ekspor hasil perkebunan tradisional seperti karet, rampaknya, sulit ditingkatkan. Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo), menurut direktur eksekutifnya, Harry Tanugraha, sebenarnya telah meminta pemerintah Indonesia keluar saja dari INRO. Sebab, negara-negara industri di INRO yang menekan harga karet alam, untuk melindungi karet sintetis produksi mereka. Hal itu tampak sejak 1980, sehingga harga karet merosot terus. Lemahnya harga itu telah melesukan petani pengumpul getah karet dan menyulitkan perusahaan-perusahaan pengolahan. Terang saja, keadaan itu menyulitkan usaha memperbesar ekspor karet. Tahun 1984, ekspor karet bisa mencapai 1,1 juta ton dengan nilai US$ 958 juta, tapi tahun ini Gapkindo memperkirakan hanya bisa mengekspor 900.000 ton dengan nilai US$ 675 juta. Tidak semua komoditi tradisional telah mengalami kesuraman. Kopi, misalnya, tahun 1986 ini telah mencatat rekor nilai US$ 965 juta dari volume 321.000 ton, padahal tahun silam ekspor kopi sekitar 300.000 ton baru meraih nilai US$ 400 juta. Hal seperti itu pun dialami lada. Akibat menurunnya produksi lada Brasil, harga lada di pasar dunia meroket jadi sekitar US$ 1,20 per pon. Sebenarnya hal itu karena kelesuan harga lada 1981-1983, yang cuma sekita US$ 0.50 per pon. Selain contoh-contoh tersebut, ada lagi komoditi lain produksi Indonesia yang kini menguasai pangsa pasar dunia secara lumayan. Menurut catatan Bank Dunia, minimal ada 33 komodit (lihat Indeks Harga 33 Komoditi) nonmigas hasil Indonesia termasuk komoditi baru seperti udang dan tekstil, cukup mendapatkan pangsa lumayan. Tapi, sayangnya, peningkatan itu sebagian besar hanya sekadar untuk mempertahankan pangsa pasar. Belum bisa menutup kejatuhan nilai ekspor minyak dan gas bumi. Tahun 1987 memang merupakan tahun yang masih suram. Kecuali kalau harga minyak bisa menanjak sampai 18 dolar seperti harapan OPEC, atau sekitar 17 dolar per barel rata-rata seperti dikemukakan para juru ramal Bank Dunia. M.W. Laporan Budi Kusumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini