PERUSAHAAN bir Anker, PT Delta Djakarta, yang rugi hampir Rp 1,5 milyar tahun silam, tampaknya sudah mulai angkat jangkar lagi. Sebab, menurut Ketua Bapepam (Badan Pengelola Pasar Modal) Barli Halim, yang berbicara di DPR Sabtu lalu, 5% saham Delta akan segera dijual lagi kepada masyarakat. Belum jelas apakah sudah ada lembaga keuangan yang bersedia menjadi penjamin emisi saham yang diperkirakan bernilai sekitar Rp 600 juta itu. Saham yang akan dilepas itu merupakan seperenam saham yang dibeli dengan harga Rp 3,7 milyar oleh PT Mantrust, Juli lalu. Perusahaan yang telah memasyarakat itu semula 50% milik perusahaan Belanda, 35% milik Pemda DKI dan 15% milik masyarakat. Namun, masuknya Mantrust telah menciutkan saham masyarakat menjadi tinggal 10%. Padahal, menurut ketentuan Menteri Keuangan, saham perusahaan yang go public harus memberikan minimal 15% saham kepada masyarakat. Menjelang emisi baru, tampaknya, manajemen Delta berusaha memperbaiki perusahaan. Menurut direktur utamanya, Harsono E. Soleh, usaha ke arah itu sudah mulai berhasil. Volume penjualan produk Delta, katanya kepada TEMPO, sejak Januari sampai Oktober lalu mencapai 200.000 hl, meningkat 8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pabrik berkapasitas produksi 800.000 hl bir itu tahun silam hanya mampu menjual 244.000 hl. Tapi Presiden Komisaris Asmawi Manaf menyatakan, dengan memakai distributor baru, Delta akan mampu memasarkan 400.000-500.000 hl per tahun. Pemasaran bir cap Jangkar kini diserahkan 100% kepada PT Borsumij Wehry Indonesia (BWI), anak perusahaan PT Mantrust. BWI memiliki 30 cabang di hampir semua provinsi, armada angkutannya juga besar, sehingga pemasaran lebih lancar. Menurut Asmawi, risiko penjualan ditanggung BWI. Agen tunggal itu harus menyetor paling lama 45 hari -- itu pun memakai garansi bank. Sebelum penunjukan BWI, dulu pemasaran lewat banyak distributor, yang ternyata merugikan. Setoran dari mereka paling cepat 60 hari. Malah ada agen yang menunggak sampai setahun. Piutang pada agen lama yang terjadi di masa direksi lama, masih kata Asmawi, mencapai Rp 2,8 milyar. Tapi BWI telah mengganti Rp 2 milyar, selebihnya dianggap kerugian oleh direksi Delta. Tapi utang PT Delta sendiri, yang mencapai Rp 14 milyar tahun silam, sejauh ini belum jelas posisinya. Menurut Harsono, memang ada utang valuta asing, tetapi sudah ditutup dengan swap, sehingga luput dari pengaruh devaluasi. "Meskipun demikian, devaluasi menyebabkan Delta rugi sekitar Rp 300 juta dari valuta asing," kata Harsono, tanpa menjelaskan lebih lanjut. Hanya, katanya, kerugian sebesar itu "tidak besar" -- seakan-akan diisyaratkan Delta sudah akan untung. Kendati keadaan perusahaan itu sudah membaik, baru-baru ini pabrik hampir saja terganggu berputar. Akhir Oktober lalu sejumlah karyawan Delta mau melancarkan aksi mogok. Mereka sempat menghentikan mesin-mesin pabrik, tapi aksi itu bisa segera diredam direksi. Setelah diusut, menurut Haryono, ternyata kebanyakan buruh tidak sadar telah diperalat oleh beberapa orang. Para dalang, antara lain, disebutnya Y.M. Yunus (bekas pengurus Korpri Delta), Moelyadi (staf direksi), dan Amran Madjid (quality control manager), yang dicopot 13 Oktober lalu karena dituduh memasukkan tulisan bersifat provokatif di sebuah koran Jakarta beberapa hari berturut-turut. Mereka, setelah gagal mogok, pergi ke DPR mengadu bahwa pemegang saham asing dari Belandalah yang merugikan PT Delta Djakarta sejak perusahaan itu berstatus go public, 1983. Belum jelas apakah penyimpangan pengelolaan Delta termasuk penggelapan pajak yang mereka adukan masih akan berbuntut jelek lagi bagi Anker Bir. Max Wangkar Laporan Moebanoe (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini