HARGA benur -- bibit udang yang hampir-hampir tak kasatmata -- jangan dikira tak bisa berenang lebih cepat dibandingkan kenaikan harga dolar. Sebelumnya, benur berumur sehari eks penangkaran (hatchery) hanya Rp 1 seekor, tapi kini petani harus menebus bayi udang yang telah melewati masa larva 10 hari itu dengan harga Rp 1,60. Jadi, benur berusia 20 hari (PL 20) harganya kini Rp 32. Di Jawa Timur benur alam seumur itu harganya malah bisa Rp 62 seekor. Tentu saja, naiknya harga benur di tengah kerasnya permintaan di musim tanam sekarang ini, mulai September hingga November, menjengkelkan Kamaludin Bachir, Direktur Utama PT Sawojajar, yang belum lama ini memanen udang windu dari tambaknya seluas 13 ha di Brebes, Jawa Tengah. Pengusaha muda yang terbilang berhasil di bisnis real estate ini, tampaknya, tak ingin usahanya menangguk dolar dari tubuh si bongkok itu terganjal hanya gara-gara harga si benur kena selesma. Karena alasan itu, "Tahun depan kami akan membuka pembenihan benur sendiri," katanya, seperti mengancam para pamasok benur. Sebab, katanya, di Taiwan harga benur kurang dari setengah rupiah per umur sehari. Tidak semua petani udang, memang, kantungnya setebal Kamaludin. Orang seperti Ahmad Mudzakir, yang sudah merasakan nikmatnya panen udang dari tambak seluas 1.120 m2 di bulan Agustus lalu, misalnya, tak bertekad masuk ke hulu meski harga benur berusia 18 hari yang dibelinya sudah Rp 27 seekor. "Saya akan terus mengembangkan usaha ini," katanya, membulatkan tekadnya. Karena, sesudah dihitung-hitung, dia masih akan bisa memperoleh hasil bersih Rp 2 juta dari tambaknya yang sudah dua kali luas semula -- empat bulan sehabis penebaran. "Hasil itu amat menggiurkan," katanya. Memang menggiurkan. Maka, tak heran bila kemudian banyak petani tambak bandeng -- sesudah melihat panen Sawojajar beralih membudidayakan udang windu (black tiger prawn). Luas lahan tambak udang di Kelurahan Sawojajar, Brebes, itu kini sudah meliputi 40 ha. Bertambahnya lahan penambakan udang itu, tentu, akan menaikkan permintaan akan benur. Tapi apakah benur harganya naik sampai 60% ? Kamaludin, si pembeli, bilang begitu. Tapi, "Ah tidak benar," sanggah Dr. Boedi Mranata, Direktur Teknik PT Fega Marikultura Jakarta. Menurut dia, di musim tanam, mulai September sampai Februari, perusahaannya lazim menjual benur Rp 1,13 per PL -- sesudah mendapat potongan. Sebaliknya, di musim sepi, sesudah tanam raya itu, harga bisa jatuh tinggal Rp 0,5 per PL. Karena permintaan turun, bukan tak mungkin jutaan benur yang ada dalam persediaan jadi mati, dan terbuang. "Pernah saya makan peyek benur termewah seharga Rp 20 juta," seloroh Boedi. Jatuh-bangunnya harga benur dibenarkan Moh. Umar Masykuri, Sekjen Asosiasi Pengusaha Pembibitan Udang (APPU). Menurut dia, di musim tanam raya seperti sekarang, masuk akal harga benur PL 20 di tingkat petani bisa mencapai Rp 50 sampai Rp 60 per ekor -- sekalipun harganya dari pembenihan hanya Rp 28-Rp 30. Sedangkan pembenihan milik Masykuri, Fajar Jaya Wiraswasta di Jepara, melepas benur seumur itu dengan Rp 26. Pokoknya, "Harga benur ini berkembang sesuai dengan permintaan," katanya. Sesungguhnya, bukan hanya tingkat permintaan saja yang mempengaruhi demam harga benur, hingga harganya di tingkat konsumen produsen bisa dua kali lipat. Soal panjangnya rantai pemasaran dan tingginya ongkos angkutan udara juga ikut mempengaruhi gejolak harga itu. Untuk mengangkut barang hidup, perusahaan penerbangan seperti Garuda lazimnya mengenakan biaya tambahan cukup tinggi. Akibatnya, ongkos angkut benur berusia 20 hari dari Jakarta ke Ujungpandang jatuhnya bisa Rp 7, sedang benur 30 hari bisa mencapai Rp 14,25 per ekor. "Nah, kalau lagi sepi, harga benur PL 30 sekitar Rp 15, tapi ongkos angkutnya Rp 14,25," kata Boedi Mranata dari Fega. Jadi, jangan heran bila benur eks pembenihan itu bisa sangat mahal harganya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini