Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengipas alumina

Proyek pengolahan alumina di pulau bintan, riau yang ditunda 1983 akan dilanjuntukan kembali pembangunannya. proyek pengolahan bauksit berkadar rendah menjadi alumina, bahan baku aluminium.

30 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Riset dan Teknologi B.J. Habibie makin sibuk saja. Selain harus menangani pelbagai proyek raksasa di darat, laut, dan udara, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi itu kini dapat tugas tambahan: menghidupkan lagi beberapa proyek tundaan. Salah satu di antaranya proyek pengolahan alumina di Pulau Bintan, Riau. "Pak Harto yang meminta saya dan staf BPPT mencarikan jalan keluar untuk menghidupkan kembali proyek itu," kata Menteri Habibie pada Syatrya Utama dari TEMPO, Rabu pekan lalu. Proyek alumina Bintan adalah proyek pengolahan bauksit berkadar rendah menjadi alumina, bahan baku aluminium. Proyek yang dirancang sejak 1970 dan bakal menelan investasi sekitar US$ 600 juta itu nyatanya hanya sampai tahap engineering, sampai akhirnya tahun 1983 diputuskan ditunda bersama sejumlah proyek pemakan devisa. Jika segalanya lancar, pada tahun ini, proyek itu sudah bisa menghasilkan 600.000 ton alumina setahun - 450.000 ton di antaranya untuk Inalum, Asahan. Tapi, karena harga minyak terjungkal dari US$ 34 jadi US$ 29 sebarel hingga menekan neraca pembayaran, Mei 1983, Proyek Alumina bersama puluhan proyek lain digunting. Sekitar US$ 10 milyar devisa bisa dihemat dari tindakan itu. Dan siapa sangka, harga alumunium yang empat tahun lalu masih US$ 220 kini tinggal US$ 120 ton saja. Orang akhirnya harus mengakui tindakan para teknokrat itu benar adanya. Coba kalau proyek raksasa itu dulu dikebut, kepala Menko Ekuin Ali Wardhana, yang sudah pusing memikirkan utang yen Inalum, niscaya bakal bertambah pening melihat harga jual bahan baku alumunium itu berada di bawah harga pokoknya. Tapi mengapa alumina Bintan dikipas-kipas lagi? "Kita sedang mencari suatu cara pembiayaan yang tidak membebani negara untuk menghidupkan lagi proyek itu," kata Menteri Pertambangan & Energi Subroto pada Agus Sigit dari TEMPO. Dia membantah proyek itu diambil alih BPPT. "Yan mengurus proyek itu tidak hanya BPPT. Kami juga. Habibie berusaha mencari penyedia dana, karena kebetulan dia banyak hubungan dengan pusat keuangan," ujarnya. Agak mengherankan memang. Suatu saat ada teknokrat meneriakkan beratnya beban neraca pembayaran -- hingga untuk menyehatkannya pemerintah sampai pinjam Bank Dunia US$ 300 juta dan dari IMI US$ 600 juta - di seberang sana ada pejabat lain begitu semangat membicarakan proyek pemakan devisa itu. Menteri Habibie, misalnya, menilai pemerintah akan rugi jika menghentikan proyek itu di tengah jalan. "Sekitar US$ 95 juta (USS 75 juta di antaranya untuk biaya engineering) dana sudah tertanam di proyek itu. Dan seluruhnya akan jadi kapital mati, jika proyek itu tak diteruskan," katanya. Padahal, soalnya cuma, "Bagaimana menjalankan proyek itu tanpa membebani pemerintah, katanya. Habibie, seperti diketahui, kini dikenal sebagai salah seorang menteri yang bersemangat memperkenalkan cara baru dalam pembiayaan - model BOT (bangun, operasikan, dan transfer) tanpa memakan devisa. Yang kini ditawarkan pada beberapa perusahaan asing, di antaranya Mitsubishi, adalah pusat listrik tenaga nuklir (PLTN) Gunung Mulia, Jawa Tengah. Cara pembiayaan model ijon itu belum dimulai. Tapi, sudah jelas, menurut Habibie, cara pembiayaan seperti itu tak akan diterapkan pada proyek alumina. "Karena kita sudah sempat menanam modal sebesar US$ 95 juta," katanya. Maka, "Kita akan mencari tambahan modal dari luar saja." Dan, menurut Habibie, ada sejumlah calon yang berminat. Siapa namanya, tak disebut. Tapi kalau ada calon bersedia masuk ke Bintan, investor ini terbilang jagoan, karena mau mempertaruhkan modalnya di saat harga alumunium kini sedang lembek Apalagi Inalum, calon pembeli utamanya, kini lagi menghadapi kesulitan likuiditas, gara-gara alumuniumnya susah dijual. M.S.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus