SIAPA bilang masa lalu hanya cocok untuk museum? PT Marvia Graha Motor (MGM) justru menghidupkan desain mobil dari setengah abad silam dan menggarapnya jadi bisnis baru. Mirip seperti desainer mode, misalnya, yang mengaktualkan kembali rok mini. Dan bisnis baru itu mencapai puncaknya dua pekan lalu, ketika 10 unit mobil "antik" dilempar ke Australia, Siprus, dan Qatar. Masih sedikit memang. Tapi inilah pengembangan usaha yang bisa menemukan celah-celah untuk bernapas di saat kondisi ekonomi agak sesak. Seakan untuk memantapkan penampilannya yang antik, MGM memilih kata classic sebagai merk. Yang mirip dengan Jaguar keluaran tahun 1933, misalnya, muncul dengan nama Marvia Classic. Dan ada juga Hotrod Classic dan Cobra Classic, yang di Amerika populer sebagai mobil kuno. Tentu, kalau diteliti satu per satu dengan cermat si antik kita ini tidaklah sepenuhnya sama dengan kendaraan mewah zaman dulu. Tapi perkara mirip, ya, memang sangat mirip. "Kami sedang berusaha mencari bentuk khas, dengan merekayasa sendiri," kata Soebronto Laras, Direktur Utama MGM. Ia, yang juga Dirut Grup Indo Mobil (perakit Suzuki, Volvo, Hino, dan Mazda), khusus mendirikan MGM untuk merintis industri kit car (mobil unik), yang belum ada di Indonesia. Menurut Soebronto, kendaraan roda empat yang lebih banyak dirakit dengan menggunakan tenaga manusia itu di AS banyak peminatnya, terutama kalangan muda. "Mereka suka yang bergaya antik tapi murah," ujarnya. Diduga, dari Negeri Paman Sam itu, kesenangan pada desain antik akan menular ke Indonesia. Atau paling tidak, si antik bisa dikonsumsi oleh turis maupun orang asing yang tinggal di sini. Asumsi itu ternyata ada benarnya. Sejak merakit setahun yang lalu, sedikitnya sudah 100 unit mobil antik buatan MGM yang terjual. Selain oleh orang asing, Marvia Classic juga dibeli penggemar mobil antik. Dari yang terjual, sebagian besar sekarang digunakan di Bali untuk disewakan pada turis. Harganya? Menggunakan mesin Suzuki Carry 1.000 CC, tarif si antik hanya Rp 15 sampai Rp 17 juta untuk setiap unit. Itu harga dalam negeri, dalam keadaan kosong. Berarti lebih mahal Rp 5 juta dibanding harga minibus yang bermesin sama. "Betul lebih mahal, tapi 'kan aksesorinya juga lebih banyak Marvia," ucap Soebronto. Sedangkan untuk ekspor, dihargai 9 ribu dolar atau sekitar Rp 15,3 juta per unit. Harga yang sangat bersaing, memang. Bandingkan dengan produk sejenis yang diproduksi oleh industri kit car di AS atau di Australia. Konon, di sana harganya sekitar 20 ribu dolar per unit. Tak heran bila permintaan dari luar negeri mengalir. Seorang importir Australia, misalnya, telah memesan 50 unit per bulan. Sayang, jalan ke pasar masih belum mulus. Pasalnya, sampai berita ini diturunkan, sertifikat laik darat mobil-mobil unik ini sedang diurus Departemen Perhubungan. "Kalau sertifikat bagi produk MGM telah selesai, insya Allah, ekspor kami akan berjalan lancar," ucap Soebronto. Maklumlah, walaupun investasi yang ditanamkan hanya Rp 1 milyar, selama dua tahun, MGM merugi sekitar Rp 1 milyar lebih. Kata Soebronto, antara lain karena membayar upah karyawan yang mencapai 100 orang. Padahal, dengan karyawan sebanyak itu, MGM hanya mampu berproduksi 30 unit per bulan. "Ini memang perusahaan yang padat karya," ujarnya. Hanya saja, kalau tingkat produksi bisa dipertahankan dengan 30 unit per bulan, MGM diperkirakan tak 'kan merugi terus. Alasannya: orang Indonesia juga mulai gandrung mobil "antik". Tampaknya, Soebronto yakin, mobil yang dirakit dengan menggunakan bahan fibreglass dan diembel-embeli dengan dua pasang trompet plus sepasang "lampu delman" ini bisa laku. Juga di pasar dalam negeri. Budi kusumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini