GHEA Sukasah ternyata bukan cuma jeli merancang busana wanita yang lagi in. Ia kini juga harus jeli menyusun argumentasi untuk menghadapi lawannya. Sebagai perancang busana wanita terkemuka, beberapa pekan ini Ghea sibuk mencari bukti atas tuduhan pembajakan atau penjiplakan motif dan desain pakaian yang dirancangnya, di antaranya batik jumputan. Kisahnya dimulai sejak 1984. Ghea berhasil mengangkat pamor jumputan, suatu motif pewarnaan kembang-kembang kain batik dengan cara dijumput atau diikat. Batik jenis ini semula berasal dari Keraton Yogyakarta. Lewat modifikasi warna dan bentuk, ia merancang motif jumputan itu sesuai dengan selera busana masa kini. Ghea mengembangkannya lewat Ghea Fashion Studio di Jakarta. Sejak dilempar ke pasaran, batik jumputan, dengan sentuhan tangan Ghea tentunya, segera memikat hati masyarakat, termasuk wanita kelas atas. Karena batik ciptaannya laku keras, belakangan banyak perusahaan batik ikut-ikutan memproduksi kain dan pakaian dengan motif serupa alias menjiplak rancangannya. Ghea mencoba menghindari penjiplakan itu dengan moti lain yang lebih kontemporer. Ternyata, motif yang baru diciptakan ini pun dengan cepat ditiru. Itu yang membuat kesal Ghea, 33 tahun. Motif rancangannya yang dibajak antara lain: Pelangi Pastel I, II, III, Kerang, Sasirangan, sampai karyanya yang terbaru, yaitu Tikar. Penjiplakan itu, menurut Ghea, bukan hanya merusakkan citranya. Penjiplakan ciptaannya dan kemudian produksi di pabrik juga mengguncang bisnisnya. Di toko-toko, pakaian jadi buatan Ghea dijual sekitar Rp 65.000. Sedangkan harga tiruan cuma Rp 41.000. Kegusaran Ghea rupanya sampai juga ke meja Menteri Kehakiman Ismail Saleh awal bulan ini. Bahkan pada pertemuan kedua, 10 September, di kantor Menteri juga, Ghea dihadapkan dengan Batik Danar Hadi (DH) Solo, yang disebut-sebut mass media ikut menjiplak rancangannya. Dalam pertemuan segi tiga itu, persoalan dianggap selesai. Menkeh juga minta agar perusahaan batik menghormati etika bisnis, tidak sembarangan mengambil ciptaan orang lain. Ketika itu, konon, Ismail mengatakan, seni batik tradisional -- seperti jumputan, Sidomukti, Parangrusak -- tidak perlu dilindungi karena sudah menjadi milik umum (public domain). Yang perlu dilindungi hanya batik dengan motif kontemporer. Tentu saja Ghea tak puas jika ciptaannya digolongkan public domain. "Kalau motif rancangan saya dianggap sudah menjadi milik umum, it's not fair," ujar Ghea, pemegang piala Aparel untuk perancang terbaik 1987. Sebab itu pula, melalui Pengacara Nyonya Citrawati Hatman, Ghea mendaftarkan 13 motif rancangannya sebagai seni lukis di Direktorat Paten dan Hak Cipta. Langkah selanjutnya, dalam waktu dekat ini Ghea akan memperkarakan para pembajak. Tapi, "Bisa juga mereka harus membayar royalti lewat perjanjian dengan Ghea, jika ingin memperbanyak motif rancangannya itu," kata Nyonya Citrawati. Beberapa perusahaan batik tentu saja membantah tuduhan telah menjiplak motif rancangan Ghea. Sebagai misal Pimpinan Danar Hadi Solo, H. Santosa. "Tidak benar kami menjiplak motif rancangan Ghea. Kami masih mampu berkreasi, reputasi kami juga sudah terbukti di pasaran luas," ujar Santosa, yang didampingi istrinya, Nyonya Danarsih, kepada TEMPO. Santosa mengakui, beberapa waktu lalu pernah menerima surat dari Ghea, yang menudingnya melakukan persaingan curang. Padahal, "Kami cuma membantu memasarkan produksi perusahaan lain yang berskala kecil," katanya. Waktu itu, DH menerima pakaian jadi motif Ghea dari pabrik tekstil Texmaco Pekalongan. H. Ghofar, si pembawa barang, menyebutkan bahwa batik itu sudah enam bulan menumpuk di gudangnya dan belum diambil Ghea. Batik dengan motif Parang Bawang dan Sidoluhur sebanyak 28 rol, berharga Rp 2,1 juta, dititipkan Gofar untuk dijual di toko-toko DH. Memang benar, ciptaan Ghea itu segera terkuras habis. Kemudian datang lagi surat protes Ghea kedua, mengenai motif jumputan. Tapi menurut Santosa, DH hanya melakukan modifikasi motif yang sudah menjadi milik nasional, antara lain jumputan. Hal sama, katanya, juga dilakukan oleh Ghea, yaitu mengadopsi yang sudah ada. DH sendiri, menurut penjelasan pemiliknya, Santosa, Senin pekan ini di Jakarta, bukan cuma mengelak tuduhan. Ia bahkan berani menunjuk hidung siapa sebenarnya yang seharusnya dituduh Ghea menjiplak. Nyonya Santosa, yang mendampingi suaminya, menyebut tiga perusahaan yang meniru ciptaan Ghea, yaitu Batik Kasmaji (motif kerang), Ratu Dunia (motif tikar), dan Alitex Solo (jumputan pastel). Karena itu, seperti diingatkan Menkeh ketika mendamaikan Ghea dan DH, hendaknya para pencipta batik mendaftarkannya ke Direktorat Paten dan Hak Cipta. Dalam hal modifikasi, jika ciptaan baru itu melebihi 80% perbedaannya dengan motif tradisional, maka penciptanya berhak mendapatkan hak cipta. Apakah itu motif yang dicipta atau modifikasi, menurut ahli hukum hak cipta, J.C.T. Simorangkir, tentunya punya hak intelektual, khususnya hak cipta. "Kalau ada orang lain yang meniru desain dan motif itu, meskipun ukurannya berbeda, orang itu bisa dituntut," kata Simorangkir. Namun, menurut Kepala Biro Hukum dan Perundangan-undangan Departemen Perindustrian, Nyonya Ita Gambiro, motif rancangan Ghea itu merupakan suatu desain produk industri. Ini disamakan seperti paten, merk dagang, dan model serba guna, tercakup dalam industrial property rights. Tapi Ghea, menurut Nyonya Ita, belum bisa menuntut para pembajak itu. Sebab, "Peraturan pemerintah yang mengatur lebih jelas soal batasan dan pembajakan desain hingga kini sedang disusun," ujar Wakil Ketua Komisi UNCTAD ini. Dengan adanya saling tuduh itu, agaknya ada petunjuk bahwa UU Hak Cipta yang berusia setahun itu belum mampu menjadi alat anti pembajakan hak cipta. Mungkin karena masalahnya semakin kompleks. Happy S. (Jakarta) dan Kastoyo Ramelan (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini