Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menguliti eksportir kulit

Pajak ekspor kulit setengah & hampir jadi dinaikkan. disambut baik oleh pengusaha industri hilir, selama ini mereka kekurangan bahan. para eksportir selaku penyumbang devisa terbanyak mengeluh.

22 Oktober 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI bukanlah pameran perkulitan yang pertama. Tahun lalu, di Arena Pekan Raya Jakarta, telah diselenggarakan pameran serupa dengan suasana yang kurang lebih sama. Ada mesin-mesin dari Taiwan dan Hungaria, ada kulit yang sudah disamak dan diwarnai, dan juga berbagai sepatu, tas, jaket, bahkan perhiasan mutakhir yang dibuat dari kulit. Pokoknya, serba semarak dan menggoda. Hanya orang-orang tertentu yang mengetahui bahwa pameran kali ini punya konteks berbeda. Terbersit kesan, pameran sekaligus dimaksudkan sebagai jawaban terhadap SK Menteri Keuangan Nomor 729/KMK.00/ 1988, yang telah menaikkan pajak ekspor kulit setengah jadi (KSJ) dan kulit crust (kulit hampir jadi). Mesin-mesin canggih pengolah kulit itu seakan menyindir: "Buatlah produk kulit jadi, kalau tak mau kena pajak ekspor yang tinggi." Memang, naiknya pajak ini mengejutkan para eksportir. Kulit setengah jadi, misalnya, naik dari 30% menjadi 50%. Sedangkan pajak ekspor crust naik 10 kali lipat, dari 5% menjadi 50% juga. Padahal, kedua kulit jenis itulah yang se!ama ini paling banyak menyumbang devisa. Dari data ekspor komoditi kulit tahun lalu, telah dijaring 66,7 juta dolar AS. Dan sekitar 82% atau 54,7 juta dolar merupakan hasil penjualan crust dan KSJ. Yang tersenyum tentu saja industri hilir: Selama ini mereka berteriak kekurangan bahan baku. Salim Purnomo, Ketua Federasi Perkulitan Indonesia yang juga pemilik PT Bromo Sakti, mengatakan, "Karena terlalu banyak kulit yang dieskpor, kami selalu kekurangan kulit mentah." Salim Purnomo benar. Dari 51 pabrik yang telah melakukan investasi sebanyak 146 juta dolar, sampai sekarang baru berproduksi 45% saja, dari kapasitas yang tersedia. Padahal, kalau dihitung-hitung, ekspor produk kulit jadi memiliki nilai tambah sampai 300%. Bandingkan harga satu feet (30 x 30 cm) kulit sapi, misalnya, di pasar ekspor hanya dihargai Rp 3.000. Tapi kalau dibuat sebuah kopor -- yang hanya membutuhkan beberapa feet -- harganya bisa mencapai Rp 60 ribu. "Jadi, selama ini yang menikmati nilai tambah, itu para importir asing," ujar Salim. Dengan alasan itu, ia mengusulkan agar ekspor kulit dilarang saja. Lain hilir, lain pula eksportir. SK Menkeu sangat memukul mereka. I Made Marga, Manajer PT Rajawali Nusindo Surabaya (RNS), menganggap bahwa SK ini turun terlampau dini. Soalnya, kebijaksanaan ekspor crust baru ditetapkan pada Oktober 1986. Dan untuk memenuhi peraturan tersebut, perusahaan seperti RNS harus melakukan investasi Rp 1 milyar. Singkatnya, perusahaan yang setiap bulannya mengekspor crust senilai Rp 500 juta ini belum mencapai titik impas. Memang RNS juga memiliki pabrik yang membuat barang jadi berupa sarung tangan. Tapi, dengan munculnya SK ini, industri crustnya, yang mempekerjakan sekitar 100 karyawan, terpaksa menganggur. Niat untuk beralih ke produksi barang jadi memang ada. Hanya, selain membutuhkan waktu, diperlukan investasi yang tidak kecil, sekitar Rp 1,7 milyar. Pendapat serupa dikemukakan oleh Uki Kustaman Basarah, Direktur PT Upprindo Utama, produsen crust dari Bandung. Menurut dia, munculnya pembatasan ekspor crust telah memperlambat aliran dolar yang mengalir ke kantung Upprindo. Selama bulan Juni, Juli, dan Agustus, Upprindo mampu meraih nilai ekspor rata-rata 530 ribu dolar per bulan atau sekitar Rp 901 juta. Tapi untuk bulan September, angka itu melorot jadi 320 ribu dolar. Bagaimana dengan pasar lokal? Inilah persoalannya. "Daya serap pasar lokal sangat lemah," kata Uki. Sebagai contoh setiap bulan Upprindo memproduksi crust sebanyak 400 ribu feet, tapi hanya bisa diserap 20% oleh pasar dalam negeri. Diakuinya, SK Menkeu telah menaikkan permintaan industri hilir, tapi tidak banyak, paling hanya 5%. Kalau dilihat lebih dalam, jelas bukan cuma soal daya serap lokal yang mendorong pengusaha untuk melakukan ekspor. Ada juga faktor-faktor lain. Jika dibandingkan, harga lokal dan harga ekspor tidak banyak berbeda. Kadang-kadang harga ekspor justru lebih rendah. Crust kulit kambing, misalnya, yang harga lokalnya Rp 3.500 per feet, di pasar ekspor hanya 1,78 dolar, atau sekitar Rp 3.026. Lantas mengapa ekspor? Jefferson Dau, Ketua Asosiasi Eksportir Perkulitan Indonesia, mengemukakan bahwa pengusaha mengekspor karena pembayarannya lancar. Begitu kulit dikirim, uang pun langsung di tangan. "Tidak seperti menjual di dalam negeri, yang rata-rata minta kredit paling sedikit tiga bulan. Itu pun masih suka molor," ujarnya. Dia pun benar juga. Selain itu, para pengusaha juga bisa menikrnati fasilitas kredit ekspor yang hanya berbunga 9% setahun. Tapi dengan pemberlakuan peraturan pajak yang baru, eksportir tak lagi bisa memandang negara-negara Eropa Barat, Taiwan, Hong Kong, dan yang lainnya sebagai pasar yang jinak. "Sebab, dengan bea ekspor 50%, jelas kami tak mungkin bersaing lagi," ujar Dau. Tak heran bila industri hulu banyak yang menjerit. Bea ekspor dinaikkan tapi industri hilir tidak siap menampung produk kulit mentah. Akibatnya menyedihkan. Menurut Persatuan Pedagang Peternak Hewan Nasional, di gudang mereka kini banyak kulit mentah yang terancam busuk. Budi Kusumah, laporan biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus