PENDATANG baru sudah tampil di saat pendatang lama masih jadi pusat perhatian orang. Itulah Borsumij. Belum lama ini, bisnis eceran digoyang oleh munculnya 25 minimarket bernama Tri M di beberapa pelosok Jakarta. Kini, muncul toko-toko baru yang serupa, dengan nama Tri-Ka. Yang membuat pengusaha eceran terperangah adalah toko-toko ini pun ternyata dikelola oleh induk yang sama, yakni PT Borsumij Wehry Indonesia (BWI). Hanya bedanya, Tri M dikelola oleh PT Trims Mustika Citra (TMC), sedangkan Tri-Ka diurus oleh PT Tri-Ka Pelangi (TKP), yang bekerja sama dengan Departemen Koperasi. Dengan sendirinya Tri-Ka (saat ini baru ada enam, empat di antaranya di Jakarta) dibangun dekat dan bahkan merupakan bagian dari gedung koperasi. Sebab dengan koperasi-koperasi itulah, BWI kali ini bekerja sama. Aturan mainnya tak jauh berbeda dengan Tri M. Koperasi yang melakukan kerja sama diharuskan membayar lisensi Tri-Ka Rp 2,5 juta untuk masa lima tahun (lebih murah ketimbang nama Tri M yang Rp 7,5 juta). Begitu pula barang-barang yang dijajakan, sekitar 2.500 macam, semuanya diatur oleh TKP. Hanya pengelolaan Tri-Ka hampir seluruhnya ditangani oleh tiap anggota koperasi. Dan semua keuntungan mutlak menjadi hak koperasi yang bersangkutan. Kecuali kalau manajemennya ditangani oleh orang-orang TKP -- karena koperasi belum sanggup. Maka, keuntungan pun dibagi sebagai berikut: koperasi akan memperoleh bagian laba 25% pada tahun pertama, 35% tahun kedua, 50% tahun ketiga, dan laba penuh pada tahun kelima, saat manajemen sudah dilepaskan oleh TKP. Jika dalam waktu lima tahun itu terjadi kerugian, maka semuanya menjadi tanggungan TKP. Begitu pula dalam hal investasi, tak beda dengan Tri M. Koperasi diharuskan menyediakan toko yang sudah siap, artinya, ruangannya harus sudah dilengkapi dengan AC, rak, cash register, dan lain-lain. Pokoknya lengkap. Sedangkan TKP akan menyuplai dagangan yang berupa makanan dan minuman, plus kebutuhan sehari-hari lamnya, senilai minimal Rp 30 juta. Hasilnya, Tri-Ka di kawasan Menteng Atas, Jakarta Selatan, misalnya, setiap hari beromset Rp 600 ribu. Artinya, ini sudah mendekati sasahn dari Departemen Koperasi, yang mendambakan bentuk koperasi mandiri. Bukankah Dirjen Bina Usaha Koperasi, Subiakto, menyatakan, "Koperasi harus bisa menyediakan barang bagi anggota maupun masyarakat dengan harga yang kompetitif." Jadi, tidak seperti yang terjadi selama ini, banyak koperasi yang tidak mampu menyelenggarakan usaha toko secara profesional. Lantas kenapa kerja sama dengan BWI? Menurut dia, Borsumij merupakan grosir yang punya pengalaman dalam hal manajemen eceran. Sehingga, pihak Depkop, yang memegang 40% saham TKP, bersemangat untuk membangun Tri-Ka di 1.500 koperasi yang berlindung di bawahnya. Kalau melihat perkembangan BWI, pernyataan itu tidaklah berlebihan. Didirikan pada tahun 1972, BWI semula hanya merupakan distributor dari Mantrust, sebuah perusahaan yang memproduksi makanan dan minuman kaleng. Untuk lebih memantapkan pemasaran, Mantrust melibatkan Borsumij Wehry Belanda, yang mempunyai jaringan di pasar internasional. Hasilnya menggembirakan. BWI kini tak hanya menjelajahi pasar Eropa Barat, AS dan Jepang dengan produk makanan dan minuman tok. Tapi juga garmen, sepatu, dan paku. Begitu pula impornya tidak terbatas pada bahan baku yang dibutuhkan oleh Mantrust, tapi termasuk cash register, sampai alat pemadam kebakaran. Omsetnya kini telah mencapai Rp 300 milyar setahun. Selain menjajakan produksi sendiri, BWI juga memasarkan makanan dan minuman yang diproduksi oleh 22 produsen di luar Mantrust. Sementara itu, kepada Borsumij Belanda, BWI hanya membayar royalti. "Tapi peran Borsumij Holland kini tak banyak lagi, sebab semuanya sudah kami tangani sendiri. Kecuali untuk pasar ekspor, kami masih menggunakan jaringan mereka," kata A. Sukandar, Direktur Pemasaran BWI, yang juga menjadi Dirut TKP dan TMC. BK
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini