Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menjaga momentum atau memacu

Sidang iggi berlangsung di den haag. indonesia diwakili radius prawiro dkk. saleh afiff optimistis anggota iggi akan memenuhi permintaan indonesia. tema sidang : "menghapuskan kemiskinan".

16 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KESIBUKAN meningkat luar biasa di Hotel Sofitel, Den Haag, Negeri Belanda. Terletak di jantung kota, sejak akhir pekan silam sampai awal pekan ini, hotel berkamar 144, plus 20 kamar suite itu, terisi penuh. Penghuninya adalah para peserta sidang IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia), yakni tamu-tamu penting dari 14 negara beserta 4 organisasi dunia, termasuk di dalamnya delegasi RI yang dipimpin Menko Ekuin Radius Prawiro. Bersama Radius, ikut memperkuat delegasi RI yakni Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Saleh Afiff, Gubernur BI Adrianus Mooy, dan penasihat pemerintah Widjojo Nitisastro. Mereka memperjuangkan nasib sejumlah proyek pembangunan di Indonesia, yang seperti tahun-tahun silam dibahas di tempat yang sama: Gedung Kementerian Kerja Sama Luar Negeri Belanda. Pada saat sidang komisi-komisi khusus antara delegasi Indonesia dan Bank Dunia berlangsung Senin sore, tersiar kabar akan ada demonstrasi. Ternyata jalan raya sepi-sepi saja alias tanpa demonstrasi. Cuma ada belasan pemuda Indonesia, antara lain wakil dari Front Demokrasi Indonesia di Luar Negeri dan The Indonesian Human Right Campaign, yang pada pukul 15.15 mendatangi Ketua IGGI yang juga Menteri Kerja Sama Pembangunan Belanda, Jan Pieter Pronk di kantornya. Sementara itu, di luar dugaan, pers Belanda tidak melansir berita buruk tentang Indonesia. Media cetak yang biasanya memberitakan dan mengulas perihal Indonesia secara tendensius itu, Senin pekan ini, rata-rata memuat pidato J.P. Pronk. Semua itu seolah-olah merupakan pertanda baik. Artinya, ada kemungkinan, seluruh permintaan bantuan dari pihak Indonesia kepada konsorsium IGGI akan terpenuhi. Daftar proyek pembangunan yang tercatat di Buku Biru Pemerintah RI tidak mustahil disambut hangat oleh para negara donor. Juru bicara Kementerian Kerja Sama Luar Negeri Rob Vermaas mengatakan, IGGI merupakan lembaga istimewa. Semua yang diminta Indonesia selalu dipenuhi 100%. Kata Vermaas, sekadar perbandingan, "Para donor untuk negeri berkembang lainnya, seperti India, Pakistan, dan Sri Lanka, lazimnya mengabulkan 70-80%." Ini diungkapkan Vermaas dalam satu wawancara dengan Max Wangkar dari TEMPO, Jumat pekan silam. Pronk sendiri sudah mengisyaratkan, antara lain melalui wawancaranya dengan kantor berita Antara, bahwa pinjaman yang diberikan tahun ini tidak akan kurang dari yang direkomendasikan oleh Bank Dunia. Dan rekomendasi itu menyebut angka US$ 4,5 milyar. Pronk, yang dalam kunjungan ke Indonesia April lalu bersikap agak lugas, pekan ini justru menampilkan sikap sebagai tuan rumah yang menyenangkan. Ia bahkan mengimbau negara donor agar memberikan akses pasar yang lebih besar bagi produk-produk Indonesia. Sejauh yang menyangkut special assistance loan alias pinjaman khusus yang bisa segera dirupiahkan, tak ada komentar dari Pronk. Di Jakarta, Kamis pekan lalu, Menteri Negara/Ketua Bappenas Saleh Afiff juga hampir tak mau bicara soal pinjaman khusus yang berbunga lunak itu. Sehabis menemui Presiden Soeharto di Bina Graha, Kamis pekan lalu, Saleh Afiff menyatakan optimismenya bahwa negara donor anggota IGGI akan memenuhi permintaan Indonesia US$ 4,5 milyar. Tapi ia tidak yakin, apakah permintaan US$ 1,2 milyar untuk special assistance loan juga akan dipenuhi. Senin pekan ini, tak seorang pun anggota delegasi mau bicara tentang pinjaman khusus, maklum hal itu baru akan dibahas Selasa keesokan harinya. Tidak kurang pentingnya adalah tema pokok sidang IGGI tahun ini, yakni "menghapus kemiskinan". Jika sidang memang menganggap penting rekomendasi Bank Dunia, maka pada tema pokok itulah titik temunya, sehingga konsorsium negara donor tersebut tidak berkeberatan meluluskan seluruh permintaan RI. Ini pun didukung oleh laporan Bank Dunia, yang menilai bahwa pembangunan Indonesia selama dasawarsa lalu telah berhasil mengurangi jumlah warganya yang miskin. Di situ disebutkan, penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan berkurang dari 22% pada 1984 menjadi sekitar 17% pada 1987. Pronk mengatakan, "Dalam 30 tahun terakhir ini, Indonesia telah berhasil mencabut akar-akar kemiskinan. Paling berhasil dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara." Suara tersebut penting untuk menisbikan kritik yang dilancarkan INGI (International NGO Forum on Indonesia), yang menyelenggarakan konperensi 9 sarnpai 11 April silam di Bonn, Jerman Barat. Dalam makalah yang disebarkan kepada wartawan dan hendak pula disampaikan kepada Pronk, INGI mengkritik pembangunan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan, tapi mengorbankan segi-segi lingkungan dan hak asasi manusia. Dikemukakan dua contoh, yakni soal pemaksaan terhadap petani untuk menjual hasil produksinya ke KUD, atau petani disuruh menanam tebu, tanpa boleh memilih. Menghadapi kritik tersebut, Radius Prawiro dengan tenang menjawab bahwa kesimpulan INGI di Bonn terlalu dini. "Mereka bertemu di Bonn, April. Sementara itu bulan berikutnya, keluar hasil penelitian Bank Dunia, yang menyimpulkan bahwa di Indonesia telah terjadi penurunan jumlah kemiskinan," katanya. Dalam laporan Bank Dunia juga disebutkan, sejumlah anggaran yang dibelokkan untuk proyek-proyek yang menguntungkan kaum miskin ternyata dianggap berhasil. Ketika menghadapi periode sulit akibat harga minyak jatuh, Indonesia dinilai sanggup melaksanakan penyesuaian strategi sehingga mampu mendorong pertumbuhan. Salah satu dampaknya ialah, bisa memperbaiki taraf hidup atau meningkatkan penghasilan kelompok miskin. "Cara Pemerintah menghadapi gejolak 1980-an, melalui kebijaksanaan yang komprehensif dan cepat tanggap, dipadu de- ngan respons para negara donor dan kesempatan menuju ke pasar uang internasional, telah menjadi faktor penting untuk menurunkan jumlah kemiskinan," demikian bunyi laporan Bank Dunia tersebut. Dan kondisi itu akan berlanjut terus. Tentu dengan catatan, kalau bantuan dan pinjaman lunak tetap bisa diperaleh. Apalagi menghadapi 1990-an ini, dengan ang- katan kerja sampai sembilan juta untuk periode lima tahun ke depan, dana IGGI sungguh merupakan faktor yang tidak boleh diganggu. Bahasa politiknya: supaya bisa menjaga momentum pembangunan, agar bisa menciptakan lapangan pekerjaan lebih banyak. Dan kesempatan belajar, melalui pelbagai fasilitas pendidikan, sudah tentu perlu ditingkatkan jumlahnya. Bu- kankah untuk bisa memecahkan masalah kemiskinan, yang paling mendasar harus disediakan pendidikan dan lapangan kerja? Tapi kata Pronk, untuk tetap melangsungkan pembangunan, DSR (Debt Service Ratio -- perbandingan antara jumlah dana untuk membayar cicilan utang dan bunga dengan hasil ekspor) harus diturunkan. Idealnya di bawah 30% atau lebih rendah lagi. Dalam wawancara dengan TEMPO pada saat berkunjung ke Indonesia April lalu, Ketua IGGI yang tetap hendak meng- ibarkan panji-panji Partai Buruh itu mendesak agar RI tidak main-main soal DSR. Katanya, "Boleh saja Pemerintah RI me- milih meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara pesat, tapi itu juga berarti utang akan lebih banyak." Pronk lebih mementingkan pemerataan melalui investasi padat karya, bukan padat modal. Menjelang sidang IGGI Senin ini, ia kembali mengingatkan. "Jika pertumbuhan terus dipacu dengan merangsang swastanisasi, akan ada ketidakmerataan di tahun-tahun mendatang. Ini penting bagi IGGI untuk membicarakannya dalam sidang sekarang." Seluruh delegasi, IGGI plus Bank Dunia, IMF, ADB, UNDP, dan 20 orang anggota delegasi dari Indonesia, rasanya tidak ada yang keberatan untuk membicarakan hal itu. Soal kemiskinan memang menjadi perhatian bersama, untuk ditanggulangi secara bersama pula. Mohamad Cholid, Max Wangkar (Den Haag)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus