DI balik melejitnya pertumbuhan transaksi Bursa Efek Jakarta dalam dua tahun terakhir ini, masih diperlukan berbagai upaya untuk menyehatkan mekanismenya. Untuk itu, diperlukan peningkatan kualitas transparansinya dan tindakan untuk mencegah manipulasi kekuatan pasar. Bahwa transaksi di Bursa Efek Jakarta sampai mencatat ledakan-ledakan, jelas itu merupakan hasil kombinasi antara berbagai deregulasi dalam industri keuangan, kebijaksanaan makro, dan usaha promosi oleh Ketua Bapepam Marzuki Usman. Padahal, selama periode sepuluh tahun pertama setelah dibuka kembali pada Agustus 1977, bursa efek menunjukkan perkem- bangan yang lambat . Pada akhir 1987, baru ada 24 perusahaan yang menjual saham dan tiga BUMN yang menjual obligasi. Kini jumlah emiten saham sudah di atas 80, sedangkan emiten obligasi sudah ada 21. Seiring dengan itu, nilai emisi saham di Bursa Efek Jakarta sudah lebih dari Rp 10 trilyun, obligasi di atas Rp 1,5 trilyun, dan sekuritas kredit sebesar Rp 3 milyar. Jenis pemilikan dan kegiatan usaha emiten efek-efek atupun motivasi mereka untuk go public juga telah berubah. Di masa lalu, sebagian besar emiten adalah perusahaan asing. Motivasi mereka menjual saham adalah untuk sekadar memenuhi ketentuan Indonesianisasi sambil memanfaatkan fasilitas fiskal, yang diberikan oleh pemerintah selama periode 1979-83, sebagai insentif untuk go public. Kini jumlah perusahaan swasta nasional yang menjadi emiten saham sudah lebih besar dari jumlah perusahaan asing. Perusahaan swasta nasional dan koperasi pun sudah menjadi emiten obligasi. Sedangkan motivasi utama perusahaan swasta nasional untuk go public adalah untuk memobilisasi dana murah. Dalam situasi seperti itu, transparansi bursa memerlukan keterbukaan (full disclosure) dari pihak perusahaan yang akan ataupun yang telah go public. Proses masuk bursa itu sendiri sudah mensyaratkan agar perusahaan sepenuhnya mengungkapkan diri. Namun, kualitas serta kebenaran informasi yang diungkapkannya masih perlu terus disempurnakan, baik dari segi hukum, kelayakan usaha serta kebenaran nilai, maupun kebenaran laporan akuntansi perusahaan. Pasar yang kurang transparan dan distortif memungkinkan terjadinya while collar crime yang merugikan investor. Tugas untuk memelihara transparansi pasar seperti itu terletak pada Bapepam dan pada lembaga penunjang Bursa Efek Jakarta. Lembaga-lembaga penunjang itu termasuk para akuntan, konsultan, ahli hukum, serta perusahaan penilai. Khusus untuk bank, penilaian terhadap kesehatan perusahaan dilakukan secara rutin oleh bank sentral. Kualitas full disclosure itu perlu lebih ditingkatkan, apalagi bila diingat adanya kasus yang mencerminkan bahwa pengungkapan profil perusahaan tak dilakukan sebagaimana layaknya. Kasus emisi obligasi Bank Bukopin pada awal 1989, misalnya. Ternyata keadaan bank itu sangat berbeda dengan yang digambarkan dalam prospektusnya sewaktu akan go public pada 31 Maret 1989. Adanya "pemolesan" prospektus Bank Bukopin tercermin dalam kesulitan likuiditas dan solvabilitasnya, baik pada saat-saat sebelum maupun setelah go public. Pemeriksaan rutin yang dilakukan oleh Bank Indonesia kemudi- an menunjukkan, Bank Bukopin memang tergolong sebagai bank yang kurang sehat pada waktu itu. Karena penurunan tingkat kesehatannya, Bank Bukopin tidak dapat membuka kantor cabang baru, apalagi meningkatkan statusnya sebagai bank devisa. Padahal, bank-bank swasta lain, yang memiliki jumlah aktiva lebih kecil dari Bank Bukopin, dengan mudah melejit setelah Pakto 1988. Di negara-negara yang sudah mengenal tertib hukum, praktek "pemolesan" prospektus seperti yang dilakukan oleh direksi lama Bank Bukopin termasuk dalam kategori white collar crime yang serius. Tapi di sini belum terdengar adanya tindakan terhadap emiten, akuntan, dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam kasus seperti itu. Tindakan yang ada baru berupa penggantian direksi Bank Bukopin sebelum akhir masa jabatannya. Dan para mantan anggota direksi itu kemudian malah diberi posisi penting dalam jajaran aparat pemerintah. Jika distorsi seperti di atas tidak segera dikoreksi, maka bursa efek dapat berkembang menjadi ajang penipuan yang lebih berbahaya daripada arena perjudian. Dalam keadaan seperti itu, kepercayaan masyarakat kepada bursa bisa rusak. Pada gilirannya, bahkan dapat mengganggu stabilitas ekonomi, dan memungkinkan terjadinya pelarian modal ke luar negeri. Memang, manipulasi kekuatan pasar bisa saja terjadi di bursa saham. Tugas untuk mencegah terjadinya manipulasi ini terletak di tangan Bapepam dan PT Danareksa. Peranan sebagai "pengaman" bursa dilakukan oleh PT Danareksa, baik melalui fungsinya sebagai penjamin emisi (underwriter) maupun melalui kegiatannya dalam jual beli saham serta mengkonversikan saham ke dalam sertifikat. Dalam kapasitas itu, selain untuk memelihara persaingan yang sehat di bursa saham, PT Danareksa juga berfungsi untuk meratakan pemilikan saham. Fungsi pemerataan itu dilakukannya dengan mengubah saham perusahaan yang dibelinya ke dalam bentuk sertifikat saham dalam nominasi kecil, sehingga dapat dijangkau oleh investor kecil. Dalam kaitannya dengan kegiatan terakhir ini, PT Danareksa sekaligus bertindak sebagai wali amanat (trustee) dari penjamin, yang melindungi hak para investor kecil itu. Kebolehan yang ada pada PT Danareksa itu juga bisa sangat bermanfaat untuk menyalurkan 25 persen saham perusahaan besar kepada koperasi, seperti yang dianjurkan oleh Presiden Soeharto. Tapi bagaimana caranya? Dengan mengubah saham dalam nominasi kecil, harga saham akan lebih dapat dijangkau oleh koperasi kecil. Bila ini sudah dilaksanakan, maka bisa lebih banyak koperasi yang dapat diikutsertakan untuk memiliki saham perusahaan swasta. Untuk mereka, PT Danareksa bisa bertindak sekaligus sebagai wali amanat. Agar PT Danareksa dapat menjalankan fungsi itu dengan baik, maka modalnya perlu diperkukuh. Dalam hal ini, perusahaan besar dapat dimintai kontribusinya, apakah dengan membeli saham dan obligasi Danareksa ataupun dengan memberikan pinjaman murah. Alternatif lain adalah dengan mendirikan lembaga keuangan baru yang juga berfungsi seperti PT Danareksa. Lembaga keuangan itu dapat dibentuk sebagai perusahaan patungan milik ketiga pelaku ekonom: BUMN atau BUMD, perusahaan swasta, dan koperasi. Adapun teknis penentuan harga sertifikat saham -agar dapat dijangkau oleh koperasi -- cara-cara alokasi dan transfernya dapat diatur oleh PT Danareksa ataupun lembaga keuangan yang akan didirikan itu. Dengan demikian, koperasi bisa terlindung, dan ide pemerataan itu bisa lebih cepat direalisasikan. Mudah-mudahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini