Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Halo, ada uang tunai

Sejumlah bank sibuk meminjam rupiah. bunga pinjaman overnite naik selama tiga hari. sementara banyak yang memborong dolar. akibat ada isu devaluasi diiringi harga bbm naik, dan beberapa aspek lainnya.

16 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"KERUSUHAN" yang melanda bank swasta, ternyata, tidak ber- langsung lama. Tepatnya, tiga hari saja -- sejak Sabtu 2 Juni hingga Selasa pagi, 5 Juni 1990. Setelah itu, bunga pinjaman semalam (overnite) kembali normal, seiring dengan menghilangnya motivasi memborong dolar. Kendati demikian, orang tetap bertanya-tanya mengapa suku bunga overnite menggila, dari rata-rata 16,39% pada hari Jumat (1 Juni) menjadi 35% paad Senin sore pekan lalu. Memang, sangat aneh kalau tiba-tiba saja banyak bank yang kekurangan likuiditas. Padahal, beberapi bulan terakhir, bank-bank dikabar kan overliquid. Tapi, yang lebih aneh ialah adanya "tangan sakti", yang berhasil meredam kegilaan suku bunga overnite itu, dan menjinakkannya sampai normal kembali. Banyak hal, agaknya, yang menyulut "kerusuhan" antarbank ini. Pada mulanya adalah Paket Oktobe 1988 (Pakto), demikian menurut Okkie Monterie, Direktur Treasury Bank Internasional Indonesia. Sejak itu, bermunculan bank-bank baru. Tapi bank lama yang sudah mapan juga tak mau ketinggalan. Mereka mendirikan puluhan, bahkan sampai seratus, cabang baru dalam waktu yang relatif singkat. Tak terelakkan lagi, likuiditas beberapa bank lalu menyusut. Tapi disamping ekspansi yang jor-joran itu masih ada beberapa faktor lain. "Kita harus melihat secara keseluruhan," kata Okkie. Dia benar. Menjelang bunga overnite meningkat, yang terlihat mencolok adalah gejolak memborong dolar. Mengapa? Bermula dari demam pasar modal Go public telah menyebabkan banyak perusahaan dibanjiri likuiditas berisiko rendah. Wajar bila segelintir perusahaan besar lalu mendolarkan rupiahnya untuk membayar utang valuta asing mereka. Di sini, Okki menyebut dua nama: Astra dan Inco. Langkah keduanya disimak baik-baik oleh para nasabah bank. Mereka menduga, pasti ada apa-apa di balik main borong dolar itu. Lalu mereka memperkirakan devaluasi akan terjadi dalam waktu dekat. Itu mendorong individu-individu pemilik uang untuk ikut-ikutan mendolarkan rupiah. Akibatnya, rupiah di bank-bank swasta pun menyusut deras. "Mereka benar-benar tidak rasional," kata Okkie. Alasannya, penguatan nilai dolar bukanlah, indikasi akan terjadinya devaluasi Awal tahun ini, kurs dolar AS sekitar Rp 1.800, dan kini -- sesudah lima bulan -- sedikit meningkat sekitar Rp 1.840. Naik sekitar 2,2%. Selain itu, dalam era deregulasi seperti sekarang, Pemerintah tidak mungkin melakukan devaluasi. Tapi, ya, "Orang hanya melihat indikasi walaupun cuma seperak dua perak, dolar naik terus," ujar Okkie lagi. Dalam menganalisa arus tabrak dolar itu, Anwar Nasution mengemukakan penjelasan yang agak berbeda. Pakar pengamat masalah perbankan ini mengaitkannya dengan kunjungan Menteri Kerja Sama Pembangunan Belanda Jan P. Pronk dan PM Jepang Toshiki Kaifu, dua tokoh yang banyak hubungannya dengan pinjaman luar negeri buat Indonesia. Ternyata, ketika mereka datang, "Tidak menjanjikan apa pun," kata Anwar. Orang pun berpikir, pinjaman luar negeri akan berkurang. Dan itu ditingkahi dengan harga minyak yang cenderung menurun. Lagi pula, inflasi yang terjadi selalu leblh tinggi dari perkiraan. Tahun lalu, diperkirakan hanya 5%, nyatanya laju inflasi mencapai 7%. Dan isu devaluasi akhirnya menjadi santer ketika banyak orang memborong mobil, yang disusul kenaikan harga BBM. Sayang, para spekulan dolar lupa bahwa Pemerintah tidak lagi mampu melakukan devaluasi. Soalnya, kata Anwar, utang luar negeri kita sudah cukup besar. Nah, kalau rupiah didevaluasi lagi, bisa-bisa seluruh anggaran dipergunakan untuk membayar utang. "Makanya, saya tidak melihat ada kemungkinan devaluasi. Sebab, peluang untuk itu kecil sekali," tuturnya. Suara senada dikemukakan oleh T.A. Soetanto, Direktur Pemasaran Bank Pacific. Katanya, main borong dolar itu hanya dilakukan oleh orangorang berduit. Sangat lain kalau dibandingkan masamasa sebelum devaluasi 1986. Waktu itu, para bankir juga ikut menghimpun dolar. "Sekarang tidak, karena kami yakin inflasi tidak akan tinggi, sesuai dengan komitmen Pemerintah," ucap Soetanto. Tapi apa komentar pihak Bank Indonesia? Pemerintah tampaknya tidak tertarik untuk mengulas gejolak bunga overnite dari sudut isu devaluasi. Menurut Gubernur BI, Adrianus Mooy, naiknya suku bunga antarbank sematamata karena tidak siapnya bank-bank tersebut dalam melunasi kredit likuiditas Bank Indonesia. Dalam posisi sulit, tidak sedikit bankir swasta yang mengandalkan pinjaman antarbank. "Padahal, sudah sejak jauh-jauh hari Pemerintah mengingatkan, agar mereka tidak bergantung pada pinjaman antar-bank," kata Mooy. Lantas apa yang dilakukan BI? Mooy mengakui, BI tidak melakukan apa-apa. Juga tidak intervensi ke pasar uang. Namun, beberapa bankir menyebutkan bahwa bunga bisa turun karena sejumlah bank besar menjual devisa mereka ke bank sentral. Maka, arus rupiah pun kembali lancar. Terlepas dari sebab-musabab naiknya bunga call money -- yang kini sudah normal ke angka 12% - 13% -- ternyata saat itu tidak semua bank haus rupiah. Bahkan ada beberapa bank yang dengan lincah berhasil memanfaatkan situasi rawan itu. Okkie Montterie menuturkan, banyak bank yang waktu itu menarik pinjaman dari luar negeri, dan segera merupiahkannya. Uang itulah yang diputarkan di kalangan bank dengan bunga tinggi. BII, misalnya, sempat menyalurkan tak kurang dari Rp 100 milyar. Begitupun Panin Bank. Menurut Mu'min Ali Gunawan, Wakil Presdir Panin, pekan lalu itu pihaknya juga mengucurkan rupiah sekitar Rp 100 milyar untuk delapan bank. "Yaa. . . kami sebagai sesama bank, saling bantulah." Hebatnya lagi, tidak sedikit bank yang melakukan negosiasi untuk jangka satu bulan, dengan bunga sekitar 24%. Jadi, bukan lagi pinjaman semalam dua malam. "Dari situ saja bisa dibayangkan betapa besarnya keuntungan yang diperoleh bank supplier," kata Soetanto. Budi Kusumah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus