SETELAH Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia, giliran Dana Moneter Internasional (IMF) memuji manajemen ekonomi kita. Dalam dokumennya, yang beredar secara terbatas menjelang sidang IGGI sekarang, IMF menyimpulkan: ekonomi Indonesia menguat. Itu ditunjukkannya dengan menaksir laju pertumbuhan ekonomi kita pada 1989 yang 7,3%. Cuma beda 0,1% dari perkiraan Bank Dunia (7,4%). Tapi ADB hanya berani menaksir 6,5%. Ekonom terkemuka Iwan Jaya Azis beranggapan bahwa sejak 1987 rasanya makin sulit menghitung GDP kita. Apalagi ketika Biro Pusat Statistik merevisi data berdasarkan survei ekonomi yang terakhir. Ia menyebut, kalau nilai tambah bruto sektor industri manufaktur yang sangat berubah, maka praktis dilakukan penyesuaian penghitungan untuk 1986-1989. Iwan sendiri memperkirakan laju pertumbuhan itu sebesar 6,97%. Namun, menurut Iwan, yang lebih penting adalah memperkirakan kecenderungannya pada tahun-tahun mendatang. "Saya duga trend laju pertumbuhan kita akan mengecil," kata Direktur Pusat Antar Universitas Studi Ekonomi UI ini, seraya memencet-mencet kalkulator. Kalau tahun 1989 angkanya 6,97%, maka tahun 1990 terus turun menjadi 6,2%, 1991 malah 6,1%. "Tapi puncaknya memang pada 1989," tambahnya. Mengapa turun? Jawabnya, seperti kata Iwan, laju pertumbuhan sektor pertanian yang disebutkan IMF 4% (1989) bakal sulit dicapai. Bahkan, katanya, tahun 1990 ini saja akan lebih kecil dibandingkan dengan 1989. Sedangkan bantuan luar negeri terutama special assistance loan yang bisa cepat dirupiahkan -- akan makin sulit diperoleh. Konsekuensinya, kata Iwan, disbursement (pencairan-bantuan proyek), tak lagi semudah tahun sebelumnya, karena bantuan proyek baru bisa dicairkan kalau ada rupiahnya. Sementara itu, dalam dua tahun terakhir ini pemerintah selalu meminta pihak asing, termasuk IGGI, agar bisa memanfaatkan bantuan khusus yang bisa dirupiahkan itu. Di sisi lain, beberapa pengamat ekonomi menilai kapasitas produksi mendekati penuh. Terutama di sektor ekspor. IMF tampaknya lebih mengutamakan stabilitas nilai tukar dan cadangan devisa ketimbang struktur produksi ekonomi itu sendiri. Masalah sentral yang dilihat oleh IMF adalah: Bagaimana penampilan APBN, moneter, serta bagaimana hubungan keluarnya dalam Neraca Pembayaran nilai tukar, dan sistem perdagangan. Laporan IMF dipandang amat berguna karena menyajikan secara rinci bagaimana neraca pembayaran minyak, ekspor, impor, jasa-jasa, hingga neraca modal di bidang mi- nyak. Pendeknya, lalu lintas moneternya lebih tergambar. Atau, seperti kata ekonom Sjahrir, dokumen IMF ini "punya rincian Neraca Pembayaran yang cukup deskriptif". Toh banyak yang klop antara kedua lembaga berwibawa itu. Misalnya dalam menilai transaksi berjalan (current account) untuk 1989-1990, baik IMF maupun Bank Dunia menunjuk pada angka defisit US$ 1,7 milyar. "Jumlah di bawah dua milyar dolar masih aman," kata Sjahrir. Tentang nilai total ekspor Indonesia dalam tahun anggaran yang sama, keduanya juga sepakat pada angka US$ 23,4 milyar. Beda perhitungan tampak pada proyeksi impor nonmigas yang, menurut IMF, mencapai US$ 11,2 milyar. Tapi, menurut Bank Dunia, adalah US$ 16,4 milyar. Dalam catatan IMF, ekspor migas Indonesia naik dari US$ 7,6 milyar (1988) menjadi 9,2 milyar pada 1989. Sedangkan ekspor nonmigas bertambah 17%, dari US$ 12,2 milyar pada 1988-1989 menjadi US$ 14,2 milyar dalam tahun fiskal berikutnya. Bagaimana ikhwal posisi utang Indonesia? Menurut buku IMF, utang luar negeri RI pada 1989-1990, turun sedikit dari tahun sebelumnya: dari US$ 52,56 milyar (1988) menjadi 50,5 milyar (1989). Dan debt-service-ratio -- selisih antara cicilan utang dan bunga terhadap ekspor -- menyusut dari 36,8% (1988) menjadi 31,8% (1989). Dengan kata lain, Indonesia masih sanggup memikul utang-utang baru. Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini