Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH seperempat jam Hendri berdiri mematung di halte Kuningan Madya, Jakarta Selatan. Namun, kendaraan busway yang dinantinya tak kunjung tiba. Sepuluh menit kemudian, barulah bus biru berlogo burung garuda itu muncul. Ia bergegas masuk ke dalam bus menuju kawasan Ragunan. ”Lebih baik menunggu daripada kena macet di jalan,” kata pegawai swasta yang berkantor di Menara Imperium Kuningan itu, Kamis pekan lalu.
Empat koridor baru busway telah diluncurkan Pemerintah DKI Jakarta pada 27 Januari lalu. Tapi sampai kini layanan belum lancar. Tumpukan penumpang di halte menanti kedatangan bus Transjakarta ini menjadi pemandangan biasa. Semula warga Ibu Kota berharap bakal bisa segera menikmati sarana angkutan di jalur khusus ini. Kenyataannya, masih jauh panggang dari api.
Budi, warga Pondok Rangon, Jakarta Timur, pernah jengkel bukan kepalang. Dua hari sesudah jalur baru ini diresmikan, ia mencoba naik busway dari Kampung Melayu. Tapi, setelah setengah jam menunggu di halte, bus yang dinanti belum juga tiba. Tak kuasa menahan jengkel, ia langsung bergegas meninggalkan halte, meski tiket sudah di tangan. Ia memutuskan pindah haluan ke angkutan umum lain.
Apa sesungguhnya penyebab kelangkaan armada bus di trayek koridor empat hingga tujuh itu? Jawaban terang tak pernah didapat. Baru dua pekan lalu, kabar angin pun lamat-lamat berembus dari Pelabuhan Tanjung Priok. Terbetik kabar bahwa puluhan bus Transjakarta yang didatangkan dari Korea Selatan nyangkut dalam pemeriksaan aparat Bea dan Cukai. Persoalan pajaklah yang menjadi pengganjalnya.
Akibatnya, hingga akhir pekan lalu, dari 112 bus yang mulai didatangkan sejak Oktober 2006, 24 unit masih tertahan di sana. Bus itu diimpor oleh Perum Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD), sebagai bagian dari konsorsium PT Jakarta Trans Metropolitan, bersama dengan PT Mayasari Bakti, PT Steady Safe, dan PT Bianglala.
Konsorsium lain yang juga bertanggung jawab atas pengadaan armada angkut ini adalah PT Jakarta Mega Trans, yang terdiri dari PT Mayasari Bakti, PPD, PT Steady Safe, dan PT Pahala Kencana. Adapun jatah pengadaan bus tiap perusahaan berbeda-beda. Mayasari mempunyai tanggungan 37 unit, Steady 32 unit, PPD 24 unit, Pahala 9 unit, dan Bianglala 10 unit.
Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Udar Pristono mengakui, gara-gara persoalan ini, rencana pengadaan busway terhambat. Padahal semula ia yakin saat empat koridor baru diluncurkan, separuh armada yang dibutuhkan bisa terpenuhi. Kini armada yang ada masih jauh dari cukup. Dari kebutuhan 112 bus, kenyataannya baru ada 10 bus di setiap jalur. Itu pun setengahnya meminjam dari tiga koridor lama.
Kekisruhan ini sejatinya berpangkal pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61 Tahun 2006. Aturan yang dikeluarkan pada 24 Juli 2006 ini menata soal impor angkutan komersial yang mendapat keringanan bea masuk. Di situ disebutkan impor sasis bus berkapasitas angkut 16 orang atau lebih—dengan mesin terpasang—untuk pembuatan 3.000 unit bus angkutan umum, diberikan keringanan. Tarif akhir bea masuknya hanya dipatok 5 persen.
Persoalannya, seperti dituturkan Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Anwar Suprijadi, kajian yang dilakukan aparatnya menemukan 24 unit sasis bus dengan mesin terpasang yang diimpor tadi tidak sesuai dengan spesifikasi Peraturan Menteri. Dengan begitu, tarif akhir bea masuknya tetap 40 persen, plus terkena pajak pertambahan nilai 10 persen, serta pajak penjualan barang mewah.
Atas dasar itulah, Direktorat Bea dan Cukai meyakini barang impor tadi tidak termasuk dalam peraturan yang ditandatangani Menteri Sri Mulyani itu. Akibatnya, ya itu tadi, 24 bus sejak Desember 2006 hingga akhir pekan lalu masih tertahan di pelabuhan. Kejadian serupa sebelumnya juga menimpa perusahaan anggota konsorsium lainnya, saat mendatangkan bus buatan Hyundai dan Daewoo tersebut. Namun, setelah lewat ”negosiasi” alot, 88 unit bus akhirnya secara bertahap berhasil keluar dari pelabuhan.
Direktur Operasi dan Teknik Jakarta Trans, I Gusti Ngurah Oka, mempertanyakan kebijakan Direktorat Bea dan Cukai. ”Sewaktu koridor dua dan tiga (pengadaan bus) lancar, tapi sekarang kok dipermasalahkan,” katanya dengan nada tinggi. Hal senada diungkapkan Komisaris Jakarta Trans, Kusnan, yang mewakili PPD. Apabila bea masuk 40 persen plus pajak dikenakan, biaya investasinya membengkak. Dana pengadaan bus Rp 1,5 miliar per unit pun jelas tidak mencukupi.
Untuk menyelesaikan silang-sengkarut inilah, pada awal Januari lalu sesungguhnya telah digelar sebuah pertemuan di Departemen Keuangan. Hadir di sana pejabat dari Direktorat Perhubungan Darat, Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Konsorsium, Direktorat Bea dan Cukai, Badan Kebijakan Fiskal, dan Biro Hukum Departemen Keuangan. Pembahasan berjalan cukup alot. Hasilnya, akan dilakukan perbaikan peraturan menteri.
Langkah formal sudah ditempuh. Departemen Perhubungan telah mengajukan surat permohonan perbaikan atas Peraturan Menteri Keuangan itu. Menurut Udar Pristono, surat ditandatangani Dirjen Perhubungan Darat Iskandar Abu Bakar, dan telah dilayangkan pada 24 Januari lalu.
Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa bus berbahan gas, seperti busway, dimasukkan ke peraturan yang menata soal dispensasi tersebut. Toh sampai pekan kemarin nasib hasil revisi belum juga diketahui. Badan Kebijakan Fiskal masih membahasnya. ”Masih diproses, tinggal ke Biro Hukum dan ke Bu Menteri,” kata Joko, staf Badan Kebijakan Fiskal.
Karena penyempurnaan aturan belum berjalan, Anwar menyatakan tak mau gegabah bertindak. Dia berkukuh keputusan pemberian keringanan bea masuk impor baru akan diambil setelah peraturan disahkan. ”Kami masih menunggu perbaikan,” ujarnya. Dengan kata lain, bus yang tertahan pun belum bisa dikeluarkan dari Tanjung Priok.
Akibatnya, pengadaan bus Tranjakarta bakal terhambat. Meski begitu, Pristono tetap yakin target pengadaan 112 bus sudah akan terlaksana pada pekan ketiga bulan depan. Ini didasarkan pada kesiapan bus yang sudah dikaroseri. Pekan depan bahkan sudah genap 45 bus yang akan beroperasi.
Oka turut membenarkan. Satu kendaraan jika dikaroseri makan waktu sekitar 35 hari. Separuh lebih dari 88 unit sudah dalam tahap penyelesaian akhir. Sisanya akan selesai dalam waktu dua atau tiga minggu.
Jika memang begitu, Hendri dan Budi tampaknya boleh sedikit bernapas lega. Apalagi pada Juni mendatang akan dioperasikan juga bus gandeng di koridor lima jurusan Kampung Melayu-Ancol. Bus itu didatangkan dari Cina dalam keadaan utuh. Dengan tambahan armada itu, nanti bus akan datang lebih cepat. ”Setiap tiga sampai lima menit,” kata Pristono menjanjikan.
Muchamad Nafi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo