Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TRUK boks jumbo perlahan merapat ke area parkir pasar Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Rabu pekan lalu. Massa pun langsung menyemut di pintu belakang boks yang berselimutkan spanduk putih bertulisan ”Operasi Pasar Beras Bulog 2007”.
Asmin, 50 tahun, turut bergegas menghampiri truk. Dua lembar uang seratus ribu rupiah diacungkannya tinggi-tinggi. ”Yang karungan, Pak,” teriaknya lantang. Tapi jawaban yang datang sungguh mengecewakan. ”Yang karungan belakangan,” kata seorang petugas di atas truk. ”Sekarang yang lima kiloan dulu.” Apa boleh buat, Asmin pun terpaksa keluar dari kerumunan sembari ngedumel.
Sudah tiga pekan bapak lima anak itu rajin antre berebut beras murah yang dijual pemerintah. Harganya memang miring: Rp 3.700 per kilogram. Sedangkan di pasar, harga beras dengan kualitas yang sama bisa Rp 5.000 per kilogram.
Selama beberapa pekan terakhir, harga beras memang mencekik leher. Harga beras jenis IR-64, yang kualitasnya tergolong paling rendah, di pasar bahkan sempat melambung hingga Rp 5.500-7.000 per kilogram. Padahal lazimnya hanya mencapai Rp 4.000 per kilogram.
Untuk meredam gejolak harga itu, pemerintah mengguyur pasar dengan beras murah. Sebanyak 20 ribu ton beras dialokasikan untuk operasi pasar selama Februari. Gebrakan ini lumayan membawa hasil. Harga beras di berbagai daerah berangsur turun sekitar 24 persen.
Di tengah kondisi harga beras yang menggila seperti ini, bisa dipahami kalau Asmin sangat berharap mendapat jatah pembelian beras murah. Tapi tunggu dulu. Ia rela mati-matian antre ternyata bukan untuk membawa beras pulang ke rumah, melainkan buat disetor ke pedagang beras, atau terkadang ke pemilik warung tegal, yang telah mengordernya.
Begitulah, joki seperti Asmin ternyata bebas berkeliaran di tengah operasi pasar beras pemerintah. Dari sekarung beras 20 kilogram hasil sekali antre, imbalan yang didapatnya sekitar Rp 5.000. Si pedagang akan menjual kembali beras itu dengan harga yang lebih mahal.
Di awal operasi pasar, permulaan Februari lalu, Asmin sempat kebanjiran order. Dalam sehari, ia bisa ikut antre 20-22 kali. Tinggal kalikan saja, berapa duit yang bisa dikantonginya. Bisa dua kali lipat lebih tinggi dibanding penghasilan dari profesi sehari-harinya sebagai kuli angkut, yang paling banter Rp 50 ribu sehari. ”Kalau lagi apes, paling dapat Rp 20 ribu,” tuturnya.
Maraknya bisnis joki beras tak hanya terjadi di Jakarta. Di Cirebon, misalnya, Kurdi, 31 tahun, dan kawan-kawannya malah punya cara lebih canggih. Pagi-pagi, pria yang sehari-hari bekerja sebagai tukang becak itu sudah nongkrong di pasar Gunung Sari. Begitu truk pembawa beras Bulog tiba, ia langsung menyerbu.
Berbekal Rp 74 ribu, sekarung beras ukuran 20 kilogram bisa dibopong ke becaknya yang diparkir tak jauh dari pasar. Lalu ia kembali ke kerumunan. Kali ini, sebuah topi lusuh menutupi sebagian kepalanya. ”Biar nggak ketahuan ngantre lagi,” tuturnya.
Selang beberapa menit, satu karung beras bisa dipanggulnya lagi. Becak pun langsung dikayuhnya menuju toko beras—masih di sekitar pasar Gunung Sari. ”Lumayan, pagi-pagi sudah dapat Rp 10 ribu.” Padahal, kalau mengayuh becak, ”Duit segitu baru dapat seharian,” ujarnya.
Dari hasil keringat para joki ini, yang paling diuntungkan sesungguhnya para pedagang. Seperti diakui seorang pedagang yang tak mau disebut namanya, ia pernah berhasil membeli 100 karung beras ukuran 20 kilogram pada masa awal operasi pasar.
Meski begitu, ”masa-masa indah” itu ternyata tak berlangsung lama. Setelah menuai kritik pedas, Bulog dalam beberapa hari terakhir ini membatasi pembelian beras. Setiap orang hanya boleh antre satu kali. Sebagai penanda, mereka yang sudah kebagian jatah mendapat stempel di tangannya.
Asmin memang tak lantas menyerah. Ia sempat berusaha mengakali dengan mencuci bersih tangannya sehabis antre. Masalahnya, pemerintah belakangan memperbanyak petugas pengawas. Orang yang berkali-kali antre menjadi mudah dikenali. ”Kalau ketahuan, bisa diomelin,” kata Asmin. Barang yang sudah dibeli pun harus dikembalikan.
Retno Sulistyowati, Ivansyah (Cirebon)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo