Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bermuara di Satu Tangan

Raksasa retail dunia berebut pasar kelas menengah-atas Indonesia. Setelah Debenhams, Seibu dan Harvey Nichols menyusul. Semua di tangan Sjamsul Nursalim?

26 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surga itu diciptakan di Sogo, lengkap dengan segala pemikat yang menggelitik saraf tukang belanja di seantero Ibu Kota. Harga-harga dilorot sampai 70 persen, di antaranya busana-busana rancangan para desainer ternama. Program berjudul Thank You Sale digelar selama 10 hari hingga Rabu pekan ini. Segera saja, pusat perbelanjaan mewah di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, itu banjir pengunjung. Seorang pelayan gerai dengan giat membujuk wartawan majalah ini agar membuka dompet dan turut memborong obrolan—mumpung lagi closing sale, katanya.

Tapi, mohon maaf. Cek dulu isi dompet sebelum giat memborong, karena semua produk dalam program jual murah itu adalah barang mewah semata. Hujan diskon ini ibarat semacam ”pesta perpisahan” antara Sogo dan Plaza Indonesia. Per 1 Maret nanti, jaringan toko asal Jepang yang sudah 10 tahun menempati areal lebih dari 14 ribu meter persegi di Plaza Indonesia tak akan lagi beroperasi di sana.

Sebagai gantinya, Sogo bakal membuka gerai baru di Casablanca, Jakarta Selatan, dengan total arena 20 ribu meter persegi. Lewat ”tukar guling” itu, pendapatan PT Mitra Adi Perkasa yang selama ini menaungi bendera bisnis Sogo di Indonesia tak akan banyak tergerus.

Mitra yang berdiri pada 1995 merupakan perusahaan milik Boyke Gozali, keponakan Itjih Nursalim, istri taipan Sjamsul Nursalim. Berdasarkan data Bursa Efek Jakarta dan Pusat Data Bisnis Indonesia, perusahaan ini pernah dikuasai penuh oleh Sjamsul dan Itjih lewat PT Panen Lestari Internusa. Kini dipimpin oleh mantan Duta Besar Indonesia untuk Singapura, Letnan Jenderal (Purn.) H.B.L. Mantiri, perusahaan ini mengantongi sekitar 50 lisensi merek internasional. Juga, mengelola sekitar 500 gerai di seluruh Indonesia.

Mitra juga merupakan rekanan lokal dari sejumlah jaringan toko dunia seperti Sogo, Debenhams, Starbucks Coffee, Golf House, The Athlete’s Foot, Reebok, Sports Station, Marks & Spencer, Spice Garden, Books Kinokuniya, dan Strandbags. Khusus untuk divisi department store, termasuk Sogo, kontribusinya terhadap total pendapatan Mitra mencapai 46 persen.

Menurut Ratih. D. Gianda, Kepala Hubungan Investor Mitra, penutupan Sogo merupakan hasil kesepakatan bersama pihaknya dengan Plaza Indonesia. Hal ini terkait dengan rencana ganti wajah Plaza Indonesia, yang nantinya akan menonjolkan butik-butik kelas atas.

Dengan konsep baru yang bakal dilansir pada akhir 2007, kata Direktur Operasional Plaza Indonesia, Mohammad Sjohirin, Plaza Indonesia tidak lagi mengandalkan penyewa utama untuk menarik pengunjung. Setiap butik akan memiliki keistimewaan sendiri-sendiri. ”Sehingga semua toko akan membawa pengunjung,” katanya.

Pihak Mitra sendiri memandang keputusan ini bukan soal serius buatnya. Malah sejumlah langkah ekspansi siap digeber di tahun ini. ”Kehilangan pendapatan itu akan tertutup oleh perolehan dari gerai-gerai baru,” kata Ratih. Sekitar 70 gerai baru bakal dibangunnya.

Melengkapi ambisi besar itu, Mitra akan memboyong dua toko fashion papan atas berjaringan dunia pada tahun ini, yaitu Seibu Department Store dan Harvey Nichols Department Store. Keduanya bakal terpacak megah di pusat belanja terbesar dan termewah Ibu Kota, Grand Indonesia, yang kini sedang dibangun Grup Djarum.

Di negeri asalnya, Jepang, Seibu merupakan pusat perbelanjaan terbesar ketiga setelah Takashimaya dan Mitsukoshi. Rencananya, Seibu bakal menempati areal seluas 33 ribu meter persegi di bekas gedung Hotel Indonesia. Ini berarti sekitar 22 persen dari total luas Grand Indonesia yang mencapai 150 ribu hektare. Dengan lahan sewa seluas itu, Seibu Grand Indonesia akan menjadi pusat perbelanjaan terbesar di bawah naungan Mitra, sekaligus menjadi Seibu terbesar di Nusantara.

Berapa besar dana investasi yang telah dihabiskan Mitra untuk meminang Seibu, Ratih tak mau berkomentar. Yang terang, kata dia, Mitra tak mau mengulang kegagalan Seibu di pusat perbelanjaan Pasaraya, Jakarta Selatan, yang tutup pada 2005. ”Fokus kami sekarang untuk Seibu,” ujarnya. Mitra juga bakal menghadirkan Harvey Nichols, pertokoan mewah asal Inggris yang berdiri pada 1813, di kompleks Grand Indonesia pada akhir 2007.

Luas areal yang ditempati Harvey memang tak sebesar Seibu, dan target pasarnya berbeda. Kalau Seibu membidik pasar kelompok masyarakat kelas B alias kelompok masyarakat kelas menengah-atas, maka Harvey mengarah khusus pada konsumen kelas teratas. ”Harvey Nichols menembak masyarakat kelas A,” ujar seorang eksekutif perusahaan konsultan properti.

Jika semua rencana itu terealisasi, boleh jadi pasar retail busana kelas menengah-atas Indonesia berada dalam genggaman Mitra Adiperkasa. Apalagi, sebelumnya Mitra juga telah menggaet department store kenamaan asal Inggris lainnya, Debenhams, yang telah tersebar di 13 negara. Menyewa areal lima lantai seluas 20 ribu meter persegi di Senayan City, itulah Debenhams yang terbesar di Indonesia, bahkan terbesar kedua di dunia setelah London. ”Posisi Debenhams kami tempatkan di atas Sogo, tapi di bawah Seibu,” kata Ratih.

Begitulah, serbuan raksasa retail dunia ke Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini bak gelombang bah. Siapa sangka, Indonesia yang baru porak-poranda diterjang krisis, diam-diam, malah dilirik para peretail dunia.

Menurut Direktur Ritel dan Pengembangan Bisnis AC Nielsen, Yongky Suryo Susilo, jumlah penduduk Indonesia yang besar dan terus tumbuh, serta pertumbuhan ekonomi yang kian tinggi, bak magnet raksasa yang menjanjikan keuntungan berlimpah buat mereka. Perlu dicatat, kata Yongki, para pemain asing itu tahu persis bahwa masyarakat Indonesia doyan betul membelanjakan duitnya.

Lihat saja hasil survei AC Nielsen. Sebanyak 93 persen orang Indonesia lebih suka berbelanja untuk mengisi waktu senggang. ”Bagi mereka, shopping adalah rekreasi,” ujarnya. Nah, dengan masuknya para peretail asing itu ke Indonesia, kata Ketua Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia, Handaka Sentosa, diharapkan masyarakat Indonesia tak perlu lagi terbang ke luar negeri hanya untuk berburu barang-barang mewah dengan merek terkenal.

Lagi pula, kebutuhan akan produk-produk kelas dunia ini semakin besar karena kini kian banyak ekspatriat bekerja di sini dan makin banyak pelajar Indonesia yang pernah tinggal di luar negeri. Mereka kebingungan saat mau mencari produk yang biasa ditemuinya saat tinggal di luar negeri. ”Peluang itulah yang kemudian ditangkap oleh banyak peretail asing,” kata Handaka.

Di luar mereka, ceruk rezeki di pasar ini pun tampaknya kian lebar, khususnya bila melihat makin gandrungnya masyarakat kalangan menengah-atas di Indonesia pada produk-produk mewah bermerek internasional.

Menurut analis senior dari Caldwell Banker Property, Mia Dianasari, ada kecenderungan masyarakat di kelas ini lebih suka menghabiskan uangnya di pertokoan serba ada maupun di toko-toko khusus yang mengusung merek premium. Itu sebabnya, para peretail asing pun berebut masuk ke Indonesia. Dan, semuanya ternyata bermuara di satu tangan: Mitra Adi Perkasa.

D.A. Candraningrum

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus