PERUSAHAAN Amerika, Cotton Incorporated, ternyata bukan hanya penjual kapas. Rabu lalu, seorang manajer perusahaan itu, Nona Deborah Hancock, 27 tahun, muncul di Esquire Room Hotel Mandarin, Jakarta. Fashion Marketing Manager dari Cotton Incorporated itu, tak canggung-canggung, beraksi memperagakan berbagai ide busana untuk pasar AS di musim panas 1991. Ide yang disuguhkan itu diolah berdasarkan hasil penelitian Cotton Inc. dari berbagai prakiraan trend di musim-musim mendatang. Biayanya tentu saja mahal. Tak mengherankan jika puluhan undangan yang disebarkan Cotton Incorporated kepada Sekbertal (Asosiasi Sektoral Kebersamaan Industri Pemintalan) mendapat tanggapan besar. "Undangan disampaikan kepada 60 perusahaan, setiap perusahaan dibatasi 1 orang. Semua datang," kata Ketua Sekbertal H. Aminuddin. Menurut Aminuddin, undangan tak dikenai pungutan apa-apa. Semua biaya ditanggung Cotton Inc., perusahaan yang setiap tahun mengekspor 8 juta bal (satu bal sama dengan 200 kg) kapas. Dari setiap bal yang diekspor, perusahaan itu menyisihkan US$ 1 untuk R&D (riset dan pengembangan produk). Riset itu antara lain mengenai prakiraan kecenderungan (trend) serta produk-produk tekstil dan garmen dari berbagai negara. Sewaktu berada di Jakarta, Deborah juga telah membeli satu kopor produksi pakaian Indonesia, yang diduga bakal menjadi bahan penelitian. Setiap tahun Cotton Inc. dua kali mengadakan penjualan ide fashion untuk musim-musim yang akan datang. Ide yang kali ini disuguhkannya untuk Indonesia berjudul Laut-Matahari, terarah pada lima fokus: sub-marine, craft craze, techno soft, American Dandy, dan Sea-Sun Accents. Konsep-konsep dalam setiap kategori, warna, serat, cetakan, pola, dan desain ditonjolkan. Fokus pertama yang dibidik adalah trend sub-marine. Trend ini diilustrasikan melalui desain dan warna-warna di bawah air. Cetakan dan pola menggambarkan ikan dan kehidupan laut. Bahan kain yang cocok, seperti denim, ditenun dengan benang yang cerah. Fokus kedua menyoroti craft craze, yakni hasil kerajinan yang diperkirakan bakal membuat konsumen tergila-gila. Ini merupakan refleksi pengaruh benda-benda hasil kerajinan tangan. Misalnya quilt, patchwork (tambalan), bordiran, dan aplikasi akan berpengaruh dalam pencetakan dan pola. Fokus ketiga menyoroti pakaian wanita. Pada musim panas 1991, kaum wanita AS diperkirakan akan menggemari techno soft. Mode ini tersusun dalam bentuk-bentuk yang lunak dan detail-detail yang feminin. Gayanya dibangun dengan selendang, dasi, atau sebangsa tirai yang dibelitkan ke badan. Fokus keempat yang disoroti Deborah adalah American Dandy. Ini adalah suatu peningkatan pada warna klasik AS: merah, putih, dan biru. Dalam kategori ini, diperkirakan bakal ditonjolkan garis-garis dan cetakan skala kecil. Puncak sorotannya adalah Sea-Sun, yakni mode yang bakal digemari remaja Amerika. Sea-Sun memberi tekanan pada perbedaan kehangatan dan bayangan keteduhan, seperti pada air laut yang disinari matahari. Kelompok ini menggambarkan warna-warni yang netral. Setelah menyaksikan peragaan Deborah, para pengusaha tekstil telah mempunyai gambaran tentang selera konsumen AS di masa datang. Tak berarti dengan sendirinya setiap industri tekstil Indonesia akan mampu menghasilkan produk itu. Ada pakaian yang antara lain membutuhkan kain yang mudah dikeriputkan, atau setipis kertas. Belum semua pabrik di Indonesia mempunyai teknologi setinggi itu. Jelas, perlu restrukturisasi pabrik. Restrukturisasi, menurut Aminuddin, bukan sekadar membeli pabrik-pabrik bekas dari Taiwan atau Korea Selatan, tapi pabrik-pabrik yang modern. Dengan kata lain, industri tekstil Indonesia juga harus mengikuti trend mode internasional. Soalnya, apakah mereka sudah cukup bermodal. MW
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini